Perkenalan saya dengan moda transportasi umum yang punya kepanjangan angkutan kota ini bermula sejak era 80-an akhir di Kota Kembang. Waktu itu saya masih duduk di bangku taman kanak-kanak berjarak sekitar 1,5 km dari rumah. Mungkin saya salah satu pemegang rekor balita yang harus pindah TK yang tadinya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik becak dalam komplek karena guru di sekolah lama tidak sanggup menangani anak yang “luar biasa”.
Tentu waktu itu saya belum naik angkot sendiri. Setiap pulang sekolah almarhum ibu saya selalu menjemput naik angkot jurusan Bandung-Soreang. Berangkatnya? Diantar bapak sebelum bekerja. Tapi entah kenapa ada rasa yang sulit diungkap ketika naik angkot (waktu itu), ketimbang diantar dengan mobil pribadi.
Momen bepergian naik angkot ini ternyata berumur panjang, dari balita sampai lewat remaja. Maklum saja, saya bukan orang yang suka berkendara pribadi. Angkot dan Bandung adalah dua dari banyak hal yang selalu jadi alasan diri untuk membekukan gunungan momen.
Hitung-hitungan bukan hal yang menarik untuk saya. Jadi ongkos angkot dengan jarak secuprit waktu itu tidak membekas di ingatan. Tapi kemungkinan besar dengan komparasi uang Rp. 100,- masih mendapat gorengan tiga sampai empat buah di tahun 90-an awal, besar kemungkinan tarif angkot waktu itu adalah Rp. 50 untuk jarak dekat.
Rasanya aturan dasar tarif angkot waktu itu jauh dari kegaduhan era internet. Selain itu, untuk jurusan lain juga rasanya bedanya sangat tipis atau bahkan bisa dibilang sama. Pokoknya modal Rp. 100 harusnya sudah lebih dari cukup untuk sekadar antar jemput saya.
Kalau angkot punya kenek, harga tarif angkot juga bisa berpotensi berbeda. Beberapa sopir di Bandung cukup dibilang “Caket, A!” (dekat-red) ketika ditagih ongkos lebih. Beda kalau angkot sudah ada keneknya, biasanya lebih banyak drama entah tarifnya beda, atau kembalian yang ditahan dan enggak jarang kelupaan.
Soal tarif ini terkadang dimanfaatkan juga oleh “pengiklan”. Biasanya di pintu untuk penumpang belakang ada tumpukan stiker (entah tempat kursus atau layanan lain) dengan tulisan tarif angkotnya. Kalau sekarang sudah dimonetisasi oleh layanan iklan berjalan.
Kalau judul tulisan ini terinspirasi dari album Morfem yang rilis satu dekade lalu, untuk sub judul ini saya teringat potongan lirik lagu Pemuda Harapan Bangsa di album Persib Viking Compilation Vol.1 yang berjudul “Maung Lautan Api”.
Tentu tidak ada penumpang “umum” yang turun dari angkot di Bandung dengan bilang begini. Seperti di lanjutan liriknya “Payun néng, payuun! Ah, kau ini néng atau ncép?” Payun dalam Bahasa Sunda artinya depanan. Ini juga yang seolah menjadi ciri khas Bandung dan angkot-angkotnya, euweuh rémna (remnya enggak ada-red). Tapi kalau “Kiri” sih sudah sangat umum untuk minta angkot berhenti.
Lucunya, sekitar tahun 90-an sampai menjelang tahun 2000, sempat ada angkot-angkot di Bandung yang menggunakan bel di area kursi penumpang belakang sebagai tanda berhenti. Saya yang masih berseragam putih-merah sampai putih-biru waktu itu sempat bertanya-tanya apakah bel itu benar-benar berfungsi menginformasikan ke supir untuk berhenti (yang ternyata sempat benar-red), tapi seringnya sih jadi pajangan saja.
Rasanya belum lengkap kalau bicara angkot dan Bandung tanpa cerita percintaan. Rasanya cuma kota dengan plat D yang membuat anak muda ibukota rela parkir di sekitaran Dago (entah di Dago Plaza, atau era sebelumnya Gelael dan Aquarius Dago-red) dan melanjutkan jalan-jalannya dengan angkot.
Magnetnya tentu para kembang sekolah dan pekerja muda yang menyesaki angkot. Sampai era 2000-an, hal yang sangat lumrah ketika angkot Bandung juga bisa “wangi” di jam pulang dan berangkat sekolah, dan tak jarang waktu-waktu lain ketika ada mahasiswi dan karyawati yang menjadikan angkot moda transportasi utamanya.
Tak jarang juga pasangan muda-mudi Bandung yang menjalin kisah kasih di angkot. Beberapa teman saya bahkan malah sampai rela memilih jurusan angkot yang sedikit menjauh dari tujuan demi bisa seangkot dengan gebetan atau pacar.
Sudah begitu, sistem “tujuh lima” yang sering digembar-gemborkan supir dan kernet angkot Bandung jelas membuat penumpang kesempitan ketika duduk. Idealnya, bangku deret panjang berisi enam orang, dan bangku deret yang lebih pendek diisi empat orang.
Tapi untuk yang sedang dimabuk asmara alias bucin, kondisi ini malah menguntungkan. Yah minimal pernah berdempetan tanpa perlu orang lain melihat dengan penuh keanehan. Lha angkotnya juga penuh kan. Mungkin juga temannya Jimi Multhazam yang menginspirasi lagu Matraman milik The Upstairs ini juga pacarnya (waktu itu-red) sedang di dalam angkot.
Meskipun menyimpan banyak cerita menyenangkan dari angkot, jelas banyak sisi gelap moda transportasi umum Bandung yang satu ini. Paling umum adalah kebiasaan ngetém yang bikin penumpangnya makin dekat dengan sang pencipta semesta. Bagaimana tidak, angkot adalah tempat latihan bersabar. Tentu segala puji-pujian untuk masing-masing tuhan kita kerap dikumandangkan.
Pernah saya mengalami hampir satu jam tidak jalan karena angkot tidak kunjung penuh. Ngetém angkot ini juga membuat emosi pengguna jalan lain karena biasanya dalam posisi ngahalangan batur (makan jalan orang-red).
Soal keamanan juga menjadi masalah untuk pengguna angkot Bandung. Saya pernah hampir dipalak jam tangan di angkot dengan modus bertanya jam berapa. Giliran sudah dijawab si penumpang ini bicara dengan enaknya “Wah alus euy, keur aing wéh, nya?” (wah bagus nih, untuk saya aja ya-red).
Pengalaman saya itu terjadi memang sudah lebih dari dua dekade lalu, Tapi cerita penumpang lain juga tidak kalah menegangkannya, bahkan ketika membaca berita pencopetan di angkot Bandung yang baru terjadi di tahun 2023, saya masih dengan mudah membayangkan situasinya.
Tidak kalah tegangnya ketika dengan kelakuan supir angkot yang ajaib. Lupakan sejenak soal ugal-ugalan di jalan. Saat berangkat dalam kegelapan waktu berseragam putih biru, saya biasa naik angkot yang baru berangkat melewati komplek. “Lumayan ngirit tenaga” batin saya. Tapi baru beberapa menit di angkot, terdengar suara duaarrrrr yang ternyata tukang becak dalam komplek mengamuk karena enggak terima periuk nasinya terganggu gara-gara sopir angkot sudah membawa penumpang diluar trayeknya.
Belum lagi soal kenyamanan, kalau di bagian bermesraan di kendaraan, mungkin angkot punya kenangan manis. Tapi apa kabar kalau ternyata kita harus seangkot dengan orang yang bau badan, atau grup orang-orang yang berisik sekali sepanjang perjalanan? Sopir angkot dan kenék bahkan ikut mengompori dengan bilang “Mun mbung ngéléhan mah naék taksi wéh!” yang kalau diartikan menjadi “kalau enggak mau ngalah sih naik taksi saja!”
Ucapan semena-mena sopir angkot ini seolah berbalik ke kondisi mereka sekarang. Tanpa adanya inovasi dan sistem yang sama berpuluh-puluh tahun lamanya akhirnya angkot tergilas juga oleh moda transportasi daring alias taksi daring. Belum lagi moda transportasi umum yang lebih masif seperti Trans Metro Pasundan berpotensi menggerus jumlah penumpang angkot.
Jangan lupa juga soal kemacetan Bandung yang salah satunya diklaim karena angkot-angkot yang susah diatur. Memang kalau sudah begini, paling pas memutar lagu band grindcore asal Kota Kembang, Mesin Tempur “Supir Angkot G*bl********g”.