Hiburan di Pulau Pembuangan

Hiburan di Pulau Pembuangan

TLDR:
Para tapol membuat alat musik sendiri agar tetap waras di Pulau Buru
Pramoedya Ananta Toer diperbolehkan untuk menulis lagi setelah diketahui sebagai penulis bertaraf internasional. 
Para tapol Buru merasa jadi orang bebas tiap jam kegiatan olahraga.

Nyawa tahanan politik di Pulau Buru ada di ujung tenggorokan, mereka bisa mampus kapan saja. Meski hidup dalam penderitaan, mereka mencari cara untuk mendapatkan kesenangan dengan melakukan kegiatan kesenian atau agenda menjaga kebugaran.

Sketsa gedung kesenian di Unit XIV Tempat Pemanfaatan Pulau Buru. (Mars Noersmono. 2017. Bertahan Hidup Di Pulau Buru)
Setelah berbulan-bulan dengan tekun mengerjakannya, seorang pemuda Tionghoa asal Bandung, Komar berhasil menciptakan gitar pertama di Unit XVI Tempat Pemanfaatan (Tefaat) Pulau Buru. Gitar itu tidak akan selesai tanpa bantuan hitungan matematis Kamal Uddin yang seorang dosen Institut Teknologi Bandung lulusan Stuttgart, Jerman Barat. Seketika, gitar itu jadi semacam oase di tengah gurun yang memberikan warna baru pada suasana ketegangan tempat pembuangan itu. 
Djoko Sri Moeljono, sarjana metalurgi dari Moskow, dalam Pembuangan Pulau Buru: Dari Barter ke Hukum Pasar, mengaku sering menghibur Komandan Pleton Pengawal (Dan Tonwal) yang sering datang ke baraknya pada malam hari dengan gitar buatan Komar.
“Walaupun letih sehabis kerja, ajakan serdadu Tonwal ini aku layani juga dengan harapan adanya gitar sebiji ini kami bisa menghibur secara kecil-kecilan yang akan ada pengaruhnya dalam sikap dan tindak-tanduk para serdadu,” tulisnya. 
Seperti wabah, barak lain segera mencontoh, seratus persen buatan tangan tanpa ada bantuan mesin apa pun. Leher gitarnya dibuat dari kayu Pohon Laban yang kuat dan tahan lama, sedangkan dawainya entah terbuat dari apa. 
Anggota Lekra cum sastrawan Pramoedya Ananata Toer melalui Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II dalam surat yang ditulis untuk anaknya, Yana, menceritakan bahwa di Pulau Buru para tapol membuat alat musik sendiri, seperti biola, gitar, cello, dan drum.  
Selain membuat, beberapa tapol juga membawa alat musiknya sendiri. Djoko misalnya, membawa harmonika merk Hohner Chromonica yang ia beli di Bandung. Selain itu, tukang sol sepatu asal Rangkasbitung, Ujang Epi, juga membawa kecapi. 
Djoko menceritakan, di Unit XVI, kegiatan berkesenian diinisiasi oleh Tapol yang berasal dari Jawa Timur. Bekas pemain ludruk ‘marhaen’, Cak Buang dan Cak Tanwil sukses menampilkan ludruk di unit tersebut dengan bantuan Tapol lain. 
Kesenian Jawa Timur yang selalu diiringi dengan Tari Ngremo itu diperankan semuanya oleh pria, laki-laki yang memerankan tokoh perempuan disebut tandak. Untuk menyempurnakan tampilan tandak, para Tapol meminjam pakaian perempuan dan aksesorisnya ke Desa Savanajaya. 
“Kehadiran tandak ini membuat para serdadu Tonwal juga ikut terhibur, mereka juga tidak menduga di antara tapol tidak sedikit yang bisa disulap jadi tandak cantik rupawan,” tuturnya. 
Sama seperti Pramoedya, Djoko adalah seorang tahanan politik (Tapol) rezim Orde Baru. Mereka dipenjara tanpa proses pengadilan di Pulau Buru oleh pemerintah karena dianggap terlibat dalam peristiwa G30S 1965. 
Pulau Buru adalah tempat pengasingan bagi Tapol golongan B, yang berarti “terlibat secara tidak langsung”. Mereka biasanya adalah anggota Partai Komunis Indonesia dan/atau organisasi di bawahnya. Namun, Mars Noersmono dalam Bertahan Hidup di Pulau Buru bilang bahwa banyak dari tahanan yang bergolongan C atau “layak dianggap terlibat secara langsung maupun tidak langsung” dinaikkan golongannya ke B untuk ditahan di pulau ini. Golongan C umumnya adalah simpatisan komunis. 
Sebagaimana dicatat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Pulau Buru terdiri dari 21 unit tahanan yang dikelompokan berdasarkan gelombang kedatangan. Unit 1-3 dihuni oleh tapol gelombang pertama, unit 4-13 dihuni tapol gelombang kedua, unit 14-18 dihuni tapol gelombang ketiga, dan unit R, S, T yang dibangun belakangan. Tiap unit berisi 500 tapol dengan 10 barak. 

Denah Unit XIV Bantalareja Tempat Pemanfaatan Pulau Buru. (Mars Noersmono. 2017. Bertahan Hidup Di Pulau Buru).

Dukungan Militer
Pada tahun 1973, penulis dan anggota Lekra Hersri Setiawan melalui “Arts and Entertainment in the New Order’s Jails”, Indonesia (59), 1995,  menceritakan, Komandan Inrehab (Instalasi Rehabilitasi) Kolonel Samsi M.S mengelompokkan para tapol berdasarkan keahliannya dan menempatkan kelompok-kelompok profesional ini di barak-barak di samping markas komando (Mako). 
Kelompok-kelompok ahli ini terdiri dari Kelompok Insinyur yang bertugas mencatat administrasi komando, diisi oleh insinyur pertanian dan sipil. Ada juga Kelompok Kru yang bertanggung jawab menjalankan tiga perahu bermotor milik komando. Selain itu, ada juga Kelompok Kesenian Jawa di bawah arahan dalang Tristuti Riachmadi; dan Kelompok Seniman yang beranggotakan Permadi Lyosta dari sanggar Pelukis Rakyat, Sumardjo dari sanggar Seniman Indonesia Mudia, dan Gultom dari sanggar Bumi Tarung. Selain itu, ada juga Kelompok Pengrajin yang bertugas mengukir peralatan yang digunakan dalam pertunjukan gamelan dan wayang. 
Pada masa ini, sastrawan Pramoedya Ananta Toer akhirnya terpisah dari rekan tahanannya. Ia diberikan ruangannya sendiri, pertama-tama di Gedung Kesenian, lalu di tepi Sungai Wai Apo di antara Unit I dan Unit II, kemudian ia ditempatkan di kompleks Mako. Tugas yang diberikan kepadanya adalah menulis. 
Lebih jauh, Djoko menyebut bahwa Kolonel Samsi M.S membentuk band bernama Band-Ko yang dipimpin Subronto K. Atmodjo, penulis lagu Nasakom Bersatu yang lulus dari Sekolah Musik Hanns Eisler di Jerman Timur, bersama aktor sekaligus sutradara Basuki Effendi. Anggota dari band tersebut direkrut dari Tapol yang mereka kenal dekat, misalnya Darjono dan F.X Turjanto dari Unit XVII untuk bermain biola dan gitar. Para personil band ditempatkan di Mako dan ditugaskan berlatih untuk nantinya berkeliling ke setiap unit untuk menghibur tapol dan petugas. 
“Kolonel Samsi M.S memang pintar,” sebut Hersri, “ia mengubah budaya militer di koloni menjadi budaya budak. Meskipun pada praktiknya tampak memberikan lebih banyak kebebasan berekspresi kepada tahanan, pada dasarnya merupakan bentuk eksploitasi yang lebih kejam,” lanjutnya. 
Hersri bertutur bahwa Pulau Buru memberikan kelonggaran untuk melakukan kesenian dibandingkan di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. “Bahkan di beberapa bulan pertama kamu bisa mendengar suara peluit, sitar, biola, dan gitar,” tulisnya.  
Melalui Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Pram bercerita bahwa pengawasan terhadap tapol juga mengendur setelah kunjungan Komandan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Soemitro Sastrodihardjo pada Oktober 1973. Kunjungan antar unit oleh tapol mudah dilakukan. Bahkan Desa Savanjaya terlihat seperti kota kecil pada malam hari karena ramainya tapol dari unit-unit lain berkunjung dan menginap. 
“Pada malam-malam awal November, Wanareja (Unit II) juga kelihatan hidup. Di sana-sini dapat disaksikan latihan-latihan kesenian. Tari Gambyong diadakan di Barak IV, ketoprak latihan dalang di gedung kesenian, bergantian dengan wayang orang,” tulis Pram. Jenderal Soemitro juga yang memperbolehkannya untuk menulis lagi setelah mengetahui bahwa Pram adalah penulis bertaraf internasional. 
Hiburan Di Tengah Parade Kekerasan
Pada 1973 di tempat pembuangan Pulau Buru, akhirnya Pramoedya bisa menonton wayang lagi setelah sekian lama. Ia menonton pertunjukkan wayang semalaman suntuk sampai jam 7 pagi. Wayang kulit itu dibuat oleh para Tapol Tempat Pemanfaatan (Tefaat) Pulau Buru dengan lima belas warna berbeda. 
”Paduan suara dari hanya beberapa baris kata dan lagu, berulang kali dikumandangkan seperti zikir, betul mengayun dan mematikan kesadaran. Dan nyanyi pesinden itu berkelik-kelik seperti memanggil leluhur dan para dewa dari kahyangan untuk jadi saksi suka dan duka manusia tapol RI. Semua memukau, memesonakan, mensihir, mematikan kesadaran, mematikan akal, membebalkan,” kata Pram terkesan. 
Bekas tapol Mars Noersmono, dalam Bertahan Hidup Di Pulau Buru mengatakan bahwa ketika suara musik yang digunakan untuk wayang dan tarian menggetarkan, “hati penghuninya, terutama tapol. Sehingga setiap orang terhenyak hatinya, terdiam dengan denyut nadi yang berdebar. Suasana kekerasan pun hampir terlupakan,” tulisnya. 
Wayang kulit adalah hiburan favorit di pulau pembuangan karena mayoritas tapol bersuku Jawa. Kamal Uddin yang membantu Komar membuat gitar, misalnya, adalah orang Yogyakarta yang tahu banyak soal wayang. Ia sering menonton pertunjukkan yang didalangi Tristuti Riachmadi.
“Setiap kali ada pementasan wayang kulit di mana saja, Pak Kamal akan berusaha minta izin untuk nonton,” ujar Djoko. 
Pada tahun 1974, semua unit, kecuali unit isolasi Jiku Kecil, memiliki gedung kesenian yang lengkap dengan panggung dan tempat duduk bermuatan 500 orang. Gedung itu juga memiliki dua set gamelan Jawa (slendro dan pelog), dan latar belakang untuk pertunjukkan modern maupun tradisional yang dibuat dari karung goni. 
“Semuanya dikerjakan sendiri oleh para Tapol. Kebanyakan (pembangunan gedung) selesai di tahun pertama untuk setiap unit”, tutur Hersri. 
Unit yang dihuni oleh Djoko sendiri baru bisa mengundang Tristuti pada tahun 1977 untuk membawakan lakon Wiroto Parwo. Pertunjukan saat itu berlangsung panjang dan lengkap dari pembukaan, dilanjutkan isi cerita yang diselingi goro-goro, sampai tancep kayon, meskipun tanpa sinden. 
Setiap dua atau tiga minggu, Kelompok Kesenian Jawa diperintahkan untuk berkeliling ke setiap unit untuk menghibur petugas dan tahanan. Tema pertunjukkan telah ditentukan, dan ringkasan lakon wayang yang akan dimainkan mesti terlebih dahulu dilaporkan ke Komando Intelijen. Hal yang sama juga terjadi pada pertunjukkan musik. 
Djoko menceritakan bahwa ada ketentuan untuk tidak membawa lagu-lagu terlarang di unitnya. Salah satu lagu terlarang tersebut adalah “Ke Jakarta Ku Kan Kembali” oleh Koes Plus. “Rambu-rambu ini harus kami jaga, jangan sampai niat hiburan jadi masalah yang membuat runyam”, jelasnya. 
Standar penyensoran ini juga tak jelas. Basuki Effendi, misalnya, pernah ditonjok bak samsak karena menyanyikan lagu “Come Back to Sorrenata” oleh Ernesto De Curtis. Petugas menganggap kata come back dalam lagu itu merujuk pada mengembalikan Partai Komunis Indonesia, mengkambekan PKI. Lalu, Lie Bok Hoo pernah ‘dikipas’ (ditampol kanan-kiri berkali-kali) karena dianggap memberikan sinyal melarikan diri dengan menyanyikan lagu dangdut yang memuat lirik “lari, kudaku, lari”.
Bukan hanya Band-Ko, Djoko juga membuat band bersama bekas wartawan Harian Rakjat Amarzan Ismail Hamid dan Aldoko Sotrisno dari Barak I Unit XVI. Mereka membawakan lagu-lagu nasional maupun Barat. Dia juga melatih anak-anak muda untuk bermain lisan dengan petunjuk lisan tanpa ada buku pegangan.
Bukan hanya musik dan wayang, para Tapol di Pulau Buru juga sering menampilkan tarian dari daerah masing-masing. Djoko bercerita, ia merasa jangkauan keseniannya semakin meluas ketika dipindahkan ke Unit XV, sebab unitnya semacam melting pot untuk seni tari dari berbagai daerah. Sebab di unit itu ada kelompok Genjring Balongan yang dikomandoi Sochib, orang Cirebon eks Unit II, dan Tari Topeng dari Sunda yang memiliki Uddin pendek dari Unit XVI sebagai penarinya. 
Sehat Jasmani Di Pulau Pembuangan
Bukan hanya melalui kesenian, para penghuni pulau pembuangan juga menghibur diri, sambil menyuburkan badan, dengan berolahraga. Djoko bilang, jenis olahraga yang pertama dimainkan adalah sepak bola, karena bisa diikuti banyak orang sekaligus. Sebelum dipindahkan ke Unit XV Indrapura, ia sempat menyelenggarakan pertandingan antar barak, hanya Barak 2 yang tidak berhasil membuat kesebelasan karena kekurangan pemain. Lapangan sepakbola berada di sisi jalan menuju Unit XIV dan Desa Savanajaya, di seberang Wisma.
“Sesekali kami diajak bermain bola oleh petugas, kami harus jaga diri dengan selalu mengalah”, tuturnya. 
Olahraga sepak bola memang bermula dari Unit XVI, namun lebih berkembang di Unit XV karena pertandingan antar-unit. Selain sepakbola, ada juga tenis meja dan bola voli. Pertandingan bola voli antar unit bahkan pernah diselenggarakan. Saat ada pertandingan antar unit, para Tapol mendapatkan izin untuk pergi ke unit lain sebagai pendukung kesebelasan.
Ketika pertandingan berlangsung, para tapol bersorak-sorai kegirangan seolah lupa penderitaan mereka sebagai tapol. Tingkah laku mereka layaknya orang bebas. “Kegiatan olahraga ini hanya menghibur selama beberapa jam, tetapi kami merasa seperti orang bebas”, kata Djoko.
Kegiatan kesenian dan olahraga memang nampaknya menghibur semua penghuni di Pulau Buru. Namun, Noersmono berkata, “sangat disayangkan bahwa usaha membangun cuaca baru pada cakrawala alam lembah Way Apu ini sering tidak mampu menutupi kekerasan yang masih juga terjadi.” 
“Setelah pertandingan selesai dan masing-masing pulang ke barak, kami kembali sadar, kami masih Tapol, entah sampai kapan,” tambah Djoko.