Histeria #RIPTwitter Mirip Histeria Akibat Hama Jamur

Sejak Elon Musk mengakuisisi Twitter, linimasa saya terus-terusan dibanjiri oleh komplain dan paranoia orang-orang tentang masa depan platform tersebut. Awalnya ketakutan ini terlihat wajar–bagaimana tidak, pada hari pertama akuisisi, Musk langsung memecat dewan direksi Twitter. Ketika media mengumumkan pemecatan ini, kondisi Twitter sedikit gonjang-ganjing tapi tetap terpantu aman. 

 

Justru bendera-bendera merah baru terlihat ketika Musk memecat separuh pekerja Twitter. Gelombang pemecatan terus berjalan seiring dengan peraturan dan visi “hardcore” Musk. Cuitan-cuitan kebakaran jenggot semakin banyak–dari ucapan berduka cita, pengumuman akun sosial media mereka yang lain (Mastodon, Instagram, Tumblr…), sampai ke humor ironis soal tingkat produktivitas dunia setelah Twitter mati. Puncaknya, #RIPTwitter menjadi trending topic tanggal 18 November 2022.

 

Namun, yang paling menarik perhatian saya adalah cuitan-cuitan yang menyindir kelompok-kelompok tadi sebagai kelompok kelewat histeris. Bahkan sampai ada yang menyamakan mereka dengan penderita sindrom mania dansa (dancing mania) di Abad Pertengahan Eropa. Ya… benar sih. Kurang histeris apa segerombol manusia yang panik di platform yang rumornya akan mati di tanggal sekian, padahal kebenarannya belum tentu begitu.

 

Ini menggelitik saya–kenapa dan bagaimana histeria massa bisa terjadi, bahkan di masa internet dimana informasi bisa diakses dengan mudah?

 

Karena Histeris Lebih Seru Kalau Rame-rame

 

Contoh paling beken dari histeria adalah sidang penyihir Salem di Amerika Serikat pada abad ke-17. Saat itu perempuan-perempuan tak berdosa dituduh sebagai penyihir pembawa petaka. Dari 200 orang yang dituduh, 30 terbukti bersalah dan 19 (14 perempuan dan 5 laki-laki) dihukum gantung. 

 

Namun, histeria pertama tercatat di Eropa pada abad pertengahan. Namun ada pula fenomena yang melewati batas tempat dan waktu, yaitu mania dansa (dancing mania) dimana segerombol orang tak bisa berhenti menyanyi dan menari. Lebih parahnya lagi, mereka menulari orang lain dan terus berjalan selama berhari-hari bahkan bulanan. Saking anehnya, ada seorang pendeta yang berujung meninggal karena tak bisa berhenti menari selama berhari-hari.  

 

Timeline Mania Dansa 

Bernbug (1021; gambar orang rame-rame nari di luar gereja), Erfurt (1237; gambar orang-orang rame nari di atas ), Aachen (1274), Strasbourg, Cologne, Flanders, Tongeren, Utrecht (1374), Schaffhausen (1428; pendeta menari sampai meninggal), Strasbourg (1518; perempuan rame-rame nari).

 

Penyebab kenapa sindrom ini bisa terjadi masih menjadi perdebatan. Namun hipotesa terkuat sejauh ini menuding keracunan makanan sebagai penyebabnya. Pasalnya, para korban terlihat halusinasi dan kesurupan (dissociative trance) sehingga kehilangan kontrol. Para korban juga melaporkan pikiran mereka terasa kabur sampai memiliki energi luar biasa untuk mengamuk di pusat kota. 

 

Keracunan makanan yang dimaksud di sini diakibatkan oleh ergot, hama jamur yang kerap tumbuh di tanaman gandum hitam. Gandum hitam merupakan bahan utama roti rye yang menjadi makanan utama masyarakat Eropa zaman dulu. Berhubung quality control petani zaman dulu tak begitu bagus, kasus keracunan ergot lumayan sering terjadi, dengan gejala pusing, kejang-kejang, psikosis, sampai gangrene

 

Namun banyak ahli sejarah meragukan keracunan ergot sebagai penyebab fenomena mania dansa. Para ahli sejarah menunjuk bencana alam dan pandemi sebagai penyebab yang paling mungkin. Trauma, ketakutan, dan kesepian yang amat dalam menjadi pemantik utama orang-orang untuk melakukan hal-hal di luar nalar. Karena sifat trauma dan kesepian bersifat kolektif, maka tak mengherankan apabila perilaku mania ini mudah menyebar.  

 

Melihat fenomena ini, maka masuk akal mengapa banyak orang panik dihadapi oleh kabar Twitter mau tutup. Walaupun efeknya tak segila fenomena mania dansa zaman dulu, kita baru saja mengalami pandemi dan PHK besar-besaran. Selama dua tahun pandemi, media sosial tak hanya menjadi cara untuk terus berhubung dengan teman dan keluarga, tapi juga untuk mencari berita dan hiburan terbaru. Isolasi pandemi juga membuat orang-orang lebih ‘online, semakin menyemen posisi media sosial sebagai kebutuhan yang tak bisa lepas dari realitas sehari-hari.

 

Penggunaan Twitter yang (terlalu) lama serta sentimentalitas dan rasa FOMO yang dilahirkan membuat orang-orang enggan berpisah dengan platform ini. Belum lagi sifat gelembung Twitter membuat orang-orang mudah terkecoh dan mengkopi apa yang orang lain lakukan–persis seperti mania dansa dulu.

 

Walaupun efeknya tak segera terlihat, fenomena #RIPTwitter ini semakin menunjukkan bahwa orang-orang: 1) mudah tertipu; 2) percaya bahwa suatu hal benar karena orang-orang terdekat mereka mengatakan dan melakukan hal yang sama; dan 3) jarang atau bahkan tak pernah melakukan verifikasi sendiri. Tentunya ini berbahaya karena bisa membuat kepanikan tak perlu dan bahkan bisa melahirkan konspirasi-konspirasi baru. 19 November yang digadang-gadang sebagai tanggal Twitter mati rupanya merupakan tanggal dimana akses karyawan ke kantor ditutup sampai hari Senin (21/11).

 

Tapi di sisi lain, fenomena ini tak sepenuhnya buruk. Ia menunjukkan banyak orang cepat tanggap, terlihat dari banyaknya tips cara mengamankan data-data penting dari Twitter. Reaksi domino dimana orang-orang membagikan media sosial mereka lainnya juga menunjukkan bahwa orang-orang ingin terus terkoneksi dengan teman-teman mereka. Meskipun itu berarti mereka harus berpindah ke platform media sosial yang tak seseru Twitter.