Tak Ada yang Jenius dari Miskinnya Imajinasi Kita soal Autisme

Tak Ada yang Jenius dari Miskinnya Imajinasi Kita soal Autisme
“Anaknya autis? Nanti bakal jenius!”
Pernyataan di atas mungkin tidak asing didengar telinga orang tua yang memiliki anak dengan spektrum autisme (autism spectrum disorder; ASD). Bagi saya sendiri yang merupakan ibu dari anak dengan spektrum autisme, kalimat tersebut telah menyakiti saya dan saya harap anak saya tidak perlu mendengarnya.
Bahkan jika pernyataan tersebut adalah doa, saya tetap tidak nyaman. Bagaimana jika dia tidak jenius seperti bayangan mereka? Apakah artinya kami tidak diberi berkat oleh Tuhan? Doa kami tidak didengar? Maka, simpan kalimat tersebut untuk dirimu saja. Oh ya, dan didik diri masing-masing terlebih dahulu soal apa itu spektrum autisme.
Kata “spektrum” sendiri disematkan karena adanya variasi luas dalam jenis dan tingkat keparahan gejala yang dialami oleh setiap orang dengan kondisi autisme. Saya maupun anak saya tidak bisa menentukan kelak apakah dia akan memenuhi ekspektasi masyarakat soal sosok autis yang jenius. Pun kami juga seharusnya tidak bertanggung jawab untuk mendidik semua orang supaya mereka tidak mengatakan hal yang memuakkan soal autisme. 
Imaji Buah Produk Budaya dan Kekeliruan
Orang-orang memang miskin imajinasi tentang orang-orang ASD. Kemiskinan imajinasi ini semakin diperparah oleh penggambaran karakter autis jenius di media populer. Media pula yang mempopulerkan karakter ASD sebagai orang-orang luar biasa yang punya kemampuan dan kekuatan seperti memiliki perhatian besar pada detail, ingatan yang kuat, juga keterampilan pemecahan masalah yang luar biasa. Kekuatan ini seolah digambarkan sebagai penambal kekurangan-kekurangan mereka, seperti kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya. 
Sialnya, karakter autisme di media populer kerap digambarkan sebagai tokoh yang fungsional atau bahkan lebih dari orang-orang “normal” atau neurotypical. Ambil contoh karakter Raymond dalam Rain Man seorang ASD yang digambarkan sebagai savant yang memiliki memori fotografis. Ada juga Woo Young Woo, pengacara jenius dari Extraordinary Attorney Woo, yang serialnya muncul beberapa saat setelah anak saya mendapatkan diagnosis autisme. Walau serial Extraordinary Attorney Woo menonjolkan relasi antar-tokoh yang hangat, ia tetap saja menggambarkan seorang ASD sebagai individu yang jenius. Penggambaran kesulitannya akibat sifat autismenya dibuat komikal.
Padahal, apa yang dialami oleh individu-individu ASD di dunia nyata adalah kebalikannya. Mereka terpaksa masking alias menyembunyikan sifat-sifat autismenya supaya terlihat fungsional di mata umum. Sahabat terdekat saya yang juga berada di dalam spektrum autisme memiliki tekanan untuk terlihat spesial dan overachieving. Ia juga terpaksa masking selama bertahun-tahun yang akhirnya punya imbas negatif ke kesehatan mentalnya. Apa yang teman saya rasakan sudah diteliti oleh Hull, dkk (2021) yang menunjukkan individu autistik yang terpaksa masking memiliki kemungkinan mengalami gejala gangguan cemas (anxiety) dan depresi yang lebih tinggi. 
Sahabat saya tidak sendirian. Kenyataannya, pada komunitas autisme, saya lebih sering melihat orang-orang yang kesulitan untuk meregulasi dirinya. Sebagai contoh orang dengan spektrum autisme berisiko memiliki gangguan tidur. Pada kasus anak saya, ia tidak memiliki alarm diri untuknya beristirahat, sehingga ia akan terlalu aktif sampai kelelahan setiap harinya. Hal ini berpengaruh kepada produktivitasnya. Dan ini jelas tidak tergambarkan di budaya populer kita karena hal ini tidak menjual.
Komodifikasi Neurodivergent dalam Industri Budaya
Pertama-tama, kita harus melihat industri budaya bukan sebagai industri yang nir-nilai dan nir-kepentingan. Tapi sebagai industri yang punya kekuatan besar untuk mengubah perspektif kita akan banyak hal. Sayang, hal ini tak pernah terjadi karena industri ini melihat ASD sebagai komoditas. Sehingga yang dipilih tentu hal-hal yang menjual, yaitu dengan membuat karakter autisme berada dalam dua ekstrem: pribadi yang konyol yang ada hanya untuk jadi bahan tertawaan atau individu jenius yang punya kemampuan manusia super. Penggambarannya akhirnya terbagi menjadi dua: komikal dan mengundang takjub. 
Produk budaya kita seperti taman hiburan. Tapi sifatnya yang seperti ini pula yang menyembunyikan realita. Menjadi neurodivergent bukan hal yang mengasyikkan di dunia yang penuh diskriminasi ini. Individu neurodivergent kerap mengalami ketimpangan akses. Akibatnya, mereka harus menanggung biaya ekstra dan tersembunyi. Sebagai contoh, tidak bisa menggunakan transportasi umum karena dianggap mengganggu ketertiban atau perlu mengeluarkan sejumlah uang lagi untuk sekolah karena butuh pendamping khusus.
Overused trope anak autis jenius; anak spesial, dan positif palsu terhadapnya, malah menutupi permasalahan yang ada. seakan-akan dengan mengagungkan bahwa orang dengan autisme itu spesial dan genius, permasalahan yang ada untuk isu tersebut selesai. Kehidupan mereka menjadi lebih mudah dan lancar. Penelitian menunjukkan beban diskriminasi dan keteririsan marjinal seorang individu berpengaruh terhadap kesehatan rendahnya kualitas hidup. 
Sulit untuk saya bersimpati dengan karakter-karakter neurodivergent pada produk-produk budaya populer kita. Saya justru lebih merasa nyambung dengan film Amelie yang menunjukkan ciri-ciri autisme sampai ke detil-detil kecilnya—“she cultivates a taste for small pleasure”“—terlebih ketika dia memasukkan jari jemarinya ke setumpuk biji-bijian untuk merasakan teksturnya. Hanya itu, tanpa perlu trope individu autis jenius dengan segala kemampuan supernya. Namun tak mengherankan bagaimana keterasingan itu terjadi, ketika mereka yang terlibat di dalamnya pun, selama ini terpisah dari kehidupan individu neurodivergent. 
Kapan-kapan mari kita hitung berapa banyak karakter autis yang diperankan oleh orang dengan spektrum autisme, juga berapa penulis autis yang terlibat dalam pembuatan naskah dengan karakter autis? Di mana orang dengan neurotypical berusaha keras untuk menunjukkan sifat-sifat autisme, sedangkan individu dengan autisme justru berusaha menutupinya dengan masking. Lagi-lagi, siapa yang sebenarnya direpresentasikan pada produk-produk budaya populer kita?