Indomie dan Tangan-Tangan Amerika yang Menciptakan Generasi Micin

Orang Indonesia mungkin sepakat bau tanah yang menguar di kala hujan paling cocok kalau bercampur dengan bau kuah mie instan. Siapa yang tidak merasa tenteram menyeruput mie instan rasa ayam sambil menyaksikan hujan yang turun di luar jendela? Mie instan selalu membuat segalanya lebih baik. Indonesia’s own chicken soup for the soul.

Dari semua merek, Indomie dari Indofood masih menjadi yang terdepan dan menjadi sinonim dari ‘mie instan’ di Indonesia. Indomie sampai punya cult following dan kerap dijadikan inspirasi dalam budaya pop.

Namun, bagaimana negeri yang didominasi masyarakat pemakan nasi dan singkong jadi cinta mati pada produk gandum berbentuk mie? Ternyata, kecanduan kita akan mie instan ada hubungannya dengan politik AS dan oligarki Orde Baru! 

Propaganda Pangan dalam Semangkuk Mie Instan

Pada 1954, Amerika Serikat meluncurkan kebijakan pangan berupa ekspor hasil tani yang akhirnya mempengaruhi konsumsi gandum dunia, termasuk Indonesia. Dengan Public Law 480, pemerintah AS mengatur pengiriman surplus komoditas ke negara-negara yang ‘bersahabat’ dengan Amerika, baik dengan syarat konsesi atau hibah. Saking besarnya nilai hibah, di akhir 1950an sampai awal 1960an nilai PL 480 mencapai sepertiga total ekspor hasil tani AS. Kebetulan di dekade itu, AS memiliki surplus gandum sehingga kucuran hibah makanan di bawah PL 480 kebanyakan berupa gandum atau tepung gandum.

Indonesia adalah salah satu penerima ‘manfaat’ dalam skema ini. Sebagai negara baru yang tidak membudidayakan gandum, Indonesia menjadi salah satu penerima hibah gandum Amerika dalam jumlah besar. Hal ini menjadi titik balik bagi Indonesia untuk mulai memproduksi makanan olahan dari gandum dalam jumlah besar untuk masyarakat luas.

Untuk mengolah gandum tersebut, Presiden Suharto menginstruksikan taipan Sudono Salim membuka pabrik gandum untuk memproduksi tepung, yang akan menjadi cikal bakal dari monopoli produksi gandum selama beberapa dekade di bawah perusahaan Bogasari. Bisnis ini kemudian diikuti dengan kemunculan Indofood, produsen Indomie yang juga berada di bawah konglomerasi Grup Salim. 

Indofood kemudian meluncurkan Indomie pada 1972 dengan varian pertama: Indomie Kuah Rasa Kaldu Ayam. Merk ini kemudian makin populer ketika pada 1982 muncul magnum opus berupa Indomie Goreng: mie kenyal dengan perpaduan cita rasa rasa manis, gurih, dan pedas, hasil perpaduan kecap manis dan saus sambal dengan kaldu bubuk yang mengandung banyak sekali monosodium glutamat (MSG), serta ditaburi bawang merah goreng yang renyah. Indomie Goreng, awalnya dikembangkan dari resep Bakmi Jawa Goreng, menjadi varian yang paling populer di Indonesia dan paling laris di dunia. 

Popularitas Indomie kemudian ditiru produsen lain. Pesaing Indofood, Wings Food, menciptakan Mie Sedaap yang cepat menjadi pesaing Indomie di rak-rak minimarket. Indofood juga menciptakan merek Supermie dan Sarimi yang menyasar konsumen kelas bawah.

Popularitas mie instan di seluruh Nusantara juga turut naik sebagai makanan darurat yang praktis untuk menjadi bantuan bencana dan penanganan kelaparan. Mie instan, seperti halnya makanan bayi dan roti-rotian yang disuntik berbagai vitamin dan mineral, sangat mudah didistribusikan ke daerah-daerah pelosok karena sangat murah, awet, dan mudah diangkut. Sayangnya, karena enak dan bikin kenyang, orang yang suka makan Indomie cenderung tidak makan makanan lain dengan gizi lebih banyak, sehingga mereka bisa terancam kekurangan nutrisi penting yang seharusnya bisa didapatkan lewat asupan makanan seimbang.

Walau nilai gizinya jauh di bawah makanan empat sehat lima sempurna, mie instan menjadi jalan keluar ketika tidak ada akses lahan untuk bercocok tanam seperti singkong, padi, jagung, atau sayur-sayuran. Bagi mereka yang tidak sedang kepepet masalah agraria, mie instan juga praktis untuk orang kota yang suka dengan semuanya yang mudah, enak, cepat, dan efisien. 

Saat ini, Indomie mendominasi pasar mie instan di Indonesia dan menduduki ranking dua di dunia. Menurut Statista, sekitar 60 persen orang Indonesia makan satu sampai enam bungkus mie instan per minggu di tahun 2020, dengan rata-rata 12,64 milyar porsi yang disajikan di dalam negeri. Indomie menjadi merek yang paling sering disajikan. Peran mie instan sebagai comfort food pun semakin meningkat saat pandemi.

Mie instan, terutamanya Indomie, telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Ketika kamu lagi enggak enak badan, paling enak bukan minum obat tapi makan Indomie dengan kuah panas mengepul, bukan?

Generasi Micin

Belakangan, MSG atau micin dipandang buruk sejak penganut wellness culture menganggapnya sebagai bahan makanan yang tidak sehat. Namun, hal ini malah melahirkan kelompok yang secara ironis menjuluki diri mereka sendiri generasi micin. Indomie, sebagai garda depan makanan bermicin seperti seblak, makaroni pedes, ciki-cikian, dan lain-lain, bahkan dirayakan di luar meja makan dalam panggung budaya pop.

Rich Brian, rapper Indonesia yang berbasis di AS, menampilkan Indomie dalam video musiknya “Love in My Pocket” (2020). Jauh sebelum itu, rapper Inggris Jesse Two Ocean (J2O) bahkan merilis sebuah single dan video musik bertemakan Indomie pada 2011, berjudul—yak betul, “Indomie”. Sedangkan pada 2019, sepasang sepatu Air Jordan 1 Yin Yang custom buatan penggemar dengan palet warna Indomie Goreng menjadi viral di media sosial.

Indomie juga punya penggemarnya di Amerika Utara, Eropa, Afrika, Australia dan berbagai wilayah lainnya. Di Nigeria, Indomie mencaplok 74 persen market share mie instan. Los Angeles Times bahkan pernah menobatkan Indomie sebagai mie instan terenak nomor satu di dunia, mengalahkan produk sejenis asal Korea Selatan, Thailand, dan Jepang. 

Setiap kali Indomie disebutkan oleh media atau tokoh dari negara-negara superpower, orang Indonesia jadi kelewat senang dan bangga. Tiba-tiba, kita jadi punya sentimen nasionalis komunal yang dipelopori oleh sebuah sajian yang kini sudah dianggap menjadi identitas kolektif.

Memasak Indomie sesuai cara saji yang disarankan di bungkusnya memang sangat enak, namun banyak orang dengan kreativitas kuliner berlebih memperlakukan Indomie sebagai kanvas kosong yang siap dioprek menjadi hidangan baru. Indomie bisa dikreasikan dengan berbagai topping seperti telor, kornet, bahkan keju, ditambah kuah susu, atau dimakan dengan nasi buat mereka yang punya perut cadangan. Kreasi seperti omelet mie atau pizza mie juga menunjukkan kelenturan mie instan di dapur. 

Banyak pula masyarakat yang menggantungkan hidup lewat berdagang kreasi Indomie matang di warung-warung kecil yang homey dan hangat, yang disebut burjo, warmindo, atau warkop – setiap daerah punya sebutan lokal sendiri untuk warung-warung dengan spesialisasi menghidangkan Indomie.

Nah, dengan meningkatnya harga BBM dan dompet yang makin babak belur dihajar inflasi, kayaknya kita bakalan makin sering nih makan Indomie.