Influencer Capitalism

“Kang, yang dipake Akang ini folk banget, ya!” tentu saya hapal betul sapaan basa-basi serius sebagai pembuka bisnis semacam ini. Pastilah datang dari owner atau marketing brand clothing.

Saya sigap menjawab sambil menahan geli, “Oh! Pastinya folk banget, dong!”

Manajer saya berhenti menyeruput kopi panasnya. Ia mendekatkan wajah, menyipitkan mata, melihat apa yang saya kenakan: kemeja flanel, cardigan, celana jeans belel, sepatu boot, dan garpu yang dibengkokkan menjadi gelang. Bibirnya komat-kamit dan membisik di telinga saya, “Folk dari mana? Dandanan lu Kurt Cobain wannabe. Bangsat!”

Hal tersebut kerap terjadi sepanjang lima tahun lamanya ketika saya masih aktif di Deugalih & Folks. Imaji mengenai fashion penyuka musik folk jelang 2010 dan seterusnya bisa jadi salah satunya datang dari dosa besar saya menjawab manasuka tiap kali punya kesempatan mendapatkan baju, celana, topi, sampai sepatu gratisan untuk manggung dan photo session.

Flashlight kamera jurnalis majalah musik populer mengerdip menyilaukan mata, “Yup, this is folk!” ujarnya mantap. Hasilnya, foto saya yang tersenyum menahan geli sebab ditahbis merepresentasi folk terabadikan sudah di majalahnya.

Apa yang saya dan musikus lain lakukan tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang disebut di era media sosial sekarang ini. Kami adalah brand ambassador, dan juga bisa disebut influencer.

Kami dipercaya oleh kapitalis dan dipercayai konsumen sebagai persona gaya hidup yang mampu memvalidasi apa yang kamu kenakan, dirayakan sebagai identitas kelompok, dan menjadi otentik. Bahkan bisa jadi kami sendiri tidak sungguh-sungguh memiliki tujuan. Barangkali juga, saya ini tak lebih dari seorang penipu ulung.

Di atas adalah gambaran belasan tahun lalu, bahkan hingga saat ini sebagian dari kita mempercayai bahwa influencer begitu lekat dengan produk material yang dikenakan mereka. Apakah cuma itu?

Influencer Capitalism

Kapitalisme influencer (Influencer capitalism) bukanlah sembarang jenis kapitalisme. Ia jelmaan ideologis dari aktivitas seseorang di media sosial yang tak harus menawarkan surplus material. Influencer capitalism mewujud mimpi, fantasi, dan hasrat dari penggunanya untuk berlomba menjadi selebritas yang diakumulasi dari kekayaan berjejaring, uang, mendulang likes, retweet, komentar positif, membuat keramaian, dan seterusnya.

Mirip American Dream, influencer capitalism berlandaskan asumsi bahwa semua orang bisa setara dan berkesempatan meniti karier sebagai jutawan di bawah kapitalisme, bahwa orang bisa mendulang keuntungan dari pro-kontra yang dihasilkan dari tindakannya di media sosial terlepas apapun profesinya. Di dunia seperti inilah orang bisa terlihat memiliki gagasan, berkhotbah tentang pentingnya kepercayaan diri, atau sebaliknya, mengasihani dirinya sendiri.  

Apa yang terjadi sekarang ini mirip game dengan jutaan opsi petualangan visual dan pemikiran. Kamu memegang joystick berbentuk layar di smartphone dan tidak memerlukan waktu khusus seperti bermain video game untuk mengaksesnya. Bahkan kamu bisa menikmati seorang influencer seperti Baim Wong dengan Tiger Wong-nya mengakuisisi Citayam Fashion Week ketika kamu sedang sibuk bekerja atau berdesak-desakkan di gerbong kereta commuter line Jakarta.

Kekuatan influencer capitalism merujuk pada subjek-individu sebagai produk utama yang dapat mengubah nilai yang ia genggam. Ini mengingatkan dosa besar saya sebagai seorang kampungan yang gemar berpakaian ala grunge namun malah diyakini folk banget itu. Masya Allah!

Jika televisi dan korporasi menempatkan program terjadwal sebagai penggaet iklan, donasi, dan penggemar. Tapi bagaimana untuk soal influencer? Influencer tidak mesti hadir untuk mendulang instant-karma berupa iklan dan donasi dari kanal yang digunakan. Ia bahkan dimungkinkan bekerja tak terikat jadwal karena mengejar momentum pasca-keriuhan yang nilainya tak melulu bisa diukur dengan rupiah. 

Influencer bisa mengunggah ulang gagasan, ketidakpercayaan, hingga menetaskan gerakan sosial/politik dari isu seperti Citayam Fashion Week atau saat pejabat negara memajang spanduk berbunyi Kepak Sayap Kebhinnekaan.  

 

Candu Kekacauan

Alih-alih membatasi, keterbatasan format konten di media sosial justru memicu kreativitas. 

Dengan 280 karakter yang disediakan Twitter, pengguna dipaksa bersiasat menyempurnakan gagasan kompleks menjadi utas yang mendulang ribuan reply, likes, retweet, quote tweet, dan terus beranak-pinak hingga tidak lagi membicarakan maksud yang sebetulnya dituju oleh penulisnya.

Ini juga berlaku buat video di Twitter, Instagram, dan Tiktok ketika memadatkan konten menjadi hanya satu hingga dua menit. Kanal-kanal media sosial kita hiruk pikuk dengan pro-kontra, keriuhan, humor, cyber bullying, yang berasal dari video-video ringkasan pernyataan tokoh populer di youtube hingga video non-konsensual.

Inilah yang saya saksikan di masyarakat kiwari. Masyarakat yang dijejali konten influencer rupanya ketagihan mengkonsumsi kekacauan. Kekacauan—magnet bagi influencer—bahkan dapat dikemas dalam beragam bentuk kreatif, tak jarang pula dengan cara kotor yang melanggar etika dan privasi seseorang atau kelompok.

Yang dilakukan Baim Wong bukan sekadar merebut ruang hidup kelas bawah. Ini adalah eskalasi dari versi yang saya alami dan lakukan belasan tahun lalu ke tahap yang jauh lebih mengerikan.

Merenungi dosa saya yang Kurt Cobain wannabe itu, tentu saja saya sadar dan paham bahwa saya telah siap mengeksploitasi diri dan dieksploitasi sebagai representasi folk begitu flashlight kamera jurnalis berkedip dan menyebarkan tips dan trik menjadi anak folk ke tangan-tangan pembaca majalah.

Beda soal dengan apa yang dialami remaja-remaja tanggung Citayam yang disasar sebagai representasi ‘pemilik’ Citayam Fashion Week. Seolah gagasan, hak intelektual, dan aktivitas dapat dibeli dan diwakili oleh beberapa orang yang menonjol dalam berbusana di hajatan itu.

Artinya, bukan Twitter, Instagram, dan TikTok yang menjadi muara. Namun, orang-orang seperti saya dan Baim Wonglah yang memiliki kendali dan memahami bagaimana etika bisnis perlu dijalankan—bahkan jika tidak disetujui oleh anak-anak itu. 

Influencer yang memiliki kuasa dapat mengunggahnya sebagai konten di media yang dimilikinya dan tetap mendulang jutaan view untuk menghasilkan rupiah. Kekacauan ini telah dimanfaatkan, diciptakan, dan digagas rapi oleh pebisnis. Tapi ini semua jauh dari hubungan bisnis yang setara; ia bahkan menjadi pisau bermata dua bagi anak-anak di bawah umur yang direbut ruang hidupnya.

Mereka yang mengalami burnout akibat eksploitasi perusahaan, berjejal di kemacetan sejak fajar menuju kantor atau pabrik yang sumpek, dan kebutuhan healing ke Bali, Raja Ampat, sekadar membuka kanal YouTube, atau mojok sambil melampiaskan emosi membaca thread Twitter. Kita seolah memiliki ketangguhan tiada tara ketika berpikir kita bisa mandiri dari kekacauan dunia nyata, tapi pada detik berikutnya menghibur diri dan menikmati kekacauan di media sosial.