Ingin Sukses? Bertemanlah dengan Orang Kaya

Alkisah ada dua anak dari keluarga miskin di negeri Paman Sam. Satunya bernama Alex, satunya lagi bernama Leslie. Pada 1995, Alex berusia 7 tahun, sedangkan Leslie berusia 14 tahun. Orangtuanya mendapat kesempatan pindah ke perumahan bersubsidi di sebuah daerah yang lumayan ‘berada’. Beberapa blok dari rumah tempat mereka tinggal ada klinik dan di blok sebelahnya terdapat sekolah negeri yang terhitung bagus. Daerah rumah baru mereka juga punya toko kelontong yang besar dan bersih. Pokoknya, lingkungan baru ini jauh lebih baik dari tempat tinggal mereka dulu. 

 

Berhubung Alex baru berusia 7 tahun, ia masuk sekolah sebagai siswa kelas 1. Sedangkan Leslie yang berusia dua kalinya masuk ke SMP kelas 2. Lingkungan baru Alex terhitung menyenangkan. Teman-temannya baik dan suka meminjamkan mainan mereka ke Alex. Tak hanya itu, mereka juga sering mengundang Alex ke rumah untuk main dan makan. Dari situ, Alex bisa mencicipi kehidupan keluarga kelas menengah–hal yang tak pernah ia rasakan selama tinggal di perumahan kumuh sebelumnya.

 

Namun hal serupa tak dirasakan oleh Leslie. Ia merasa terasingkan karena statusnya sebagai anak baru. Ada perbedaan kelas yang begitu tajam antara Leslie dengan teman-teman sebayanya. Mereka mengenakan pakaian yang jauh lebih bagus dan rapi dibanding Leslie, yang koleksi bajunya didapat dari thrifting atau lungsuran dari kakak-kakaknya. Leslie pun depresi; ingin rasanya ia kembali ke tempat tinggalnya dulu. Tentu saja ini tak mungkin–orangtuanya sudah mulai kerasan. 

 

Dua dekade selanjutnya, Alex berusia 28 tahun dan Leslie berusia 35 tahun. Alex bekerja sebagai admin di sebuah perusahaan berukuran menengah. Ia tinggal di perumahan pinggir kota yang cukup asri bersama dengan pacarnya, yang akan ia nikahi tahun depan. Sedangkan nasib Leslie tak seberuntung Alex–ia sempat menggelandang beberapa bulan ketika menginjak usia 20 tahunan dan sempat masuk rehabilitasi karena kecanduan obat-obatan terlarang. Sekarang ia tinggal bersama kakaknya dan bekerja serabutan. 

 

Berteman dengan Horang Kayah adalah Kuntji

 

Keduanya bukan orang nyata, melainkan hanya sebuah ilustrasi dari dua penelitian penting Raj Chetty, dkk soal bagaimana perubahan di masa kecil bisa mengubah nasib di usia dewasa. Mungkin ada dari kalian yang memutarkan mata dan menghela nafas setelah membaca kalimat tadi. Bagaimana tidak, perubahan positif pastinya punya efek domino yang positif juga. Penelitian ini menarik karena berhasil mengidentifikasi kebijakan yang bisa meningkatkan kelas sosial-ekonomi dari keluarga yang kurang beruntung.

 

Dan ternyata resepnya sederhana: punya keberuntungan yang banyak, tinggal di daerah kelas menengah, dan berteman dengan orang-orang kelas menengah-menengah atas. Gampang, kan? 

 

Ini bukan omong kosong lho. Penelitian Chetty, dkk (2016) dan (2022) sudah membuktikannya.

 

Pada penelitian pertama, mereka  mengumpulkan data perpajakan dari keluarga yang menerima bantuan pemerintah untuk pindah ke perumahan subsidi di daerah dengan tingkat kemiskinan rendah pada 1990an. Hasil temuannya menunjukkan bahwa anak-anak ini–yang usianya dibawah 13 tahun ketika pertama kali pindah–akan mendapatkan gaji $3,477 alias 31% lebih tinggi dibanding mereka yang tak mendapat kesempatan serupa. Anak-anak ini nantinya juga punya kesempatan untuk kuliah dan bekerja penuh waktu lebih besar. 

 

Sedangkan penelitian kedua menggunakan metode yang lebih canggih. Mereka mengumpulkan data 70,3 juta pengguna Facebook Amerika Serikat yang berusia 25-44 tahun. Untuk menganalisisnya mereka ‘memberi makan’ algoritma machine learning berupa data anonim para pengguna yang berupa umur, jenis kelamin, dan harga smartphone sebagai perkiraan pendapatan individual mereka. Dari sini, muncullah data soal status sosial-ekonomi (SSE) mereka. 

 

Setelah data SSE-nya keluar, Chetty, dkk membagi data tersebut menjadi dua kelompok: data orang-orang dengan SSE rendah-menengah dan menengah atas. Setelahnya mereka melihat jaring pertemanan orang-orang dari dua kelompok ini. Menariknya tiap daerah punya pola pertemanan yang khas. 49% orang-orang miskin-kelas menengah-bawah Minneapolis dan Minnesota memiliki teman-teman kaya, jauh lebih banyak dari 32% penduduk miskin-kelas menengah bawah Indianapolis. 

 

Perbedaan yang cukup tajam ini bisa dilihat dari segregasi tempat tinggal si miskin vs si kaya. Penduduk Minneapolis bisa punya teman-teman dengan latar belakang yang berbeda karena pemerintahnya berusaha menghapus zonasi perumahan berdasarkan etnis dan kelas ekonomi. Hal yang serupa mungkin tak dirasakan oleh penduduk Indianapolis. 

 

Tempat tinggal tak hanya mempengaruhi fasilitas yang kita dapatkan, tapi juga pertemanan. Ada alasannya mengapa orang-orang kelas menengah dan menengah atas bergaul dengan mereka yang berlatar belakang sama, begitu juga dengan sebaliknya. Keputusan ini seringkali bukan suatu hal yang dilakukan secara sengaja, tapi karena secara inheren orang cenderung memilih hal-hal yang sesuai dengan pendapatan mereka. Makanya kelas menengah Jakarta cenderung memilih nongkrong di mal atau kafe, sedangkan anak-anak Citayam berkumpul di area MRT Dukuh Atas.

 

Meski begitu, bukan berarti tidak ada persinggungan antar kelas. Pertemanan orang-orang seringkali tak se-eksklusif itu, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Chetty, dkk (2022). Jadi, cara mengurangi perbedaan tajam antar kelas dan meningkatkan ekonomi anak-anak dari keluarga miskin segampang memindahkan mereka ke perumahan kelas menengah, gitu? Tidak semudah itu. Tiap kelompok punya gaya pertemanan yang berbeda. Orang-orang menengah-bawah paling banyak mendapatkan teman dari lingkungan tempat tinggal, sementara orang-orang menengah-menengah atas lebih banyak mendapatkan teman di kampus.

 

 

 

Namun ada tempat di mana semua orang secara konsisten mendapatkan teman, yaitu di sekolah, tempat kerja, dan tempat nongkrong. Tak mengherankan mengingat orang-orang dari berbagai latar kehidupan berinteraksi di ketiga tempat ini. 

 

Solusinya?

 

Ya kebijakan yang inklusif. Tepatnya, kebijakan komprehensif yang bisa memperbanyak paparan silang (cross-exposure) antar kelas, perlu ada kebijakan yang komprehensif. Salah satunya adalah program Moving to Opportunity. Program ini yang menjadi objek penelitian Chetty, dkk pada 2016 dan berjalan sejak 1992 hingga 1998. 

 

Ini bukan program pertama yang ingin memindahkan keluarga miskin ke daerah makmur. Sebelumnya ada Dorothy Gautreaux, seorang aktivis kulit hitam yang menuntut pemerintah Chicago karena dengan sengaja mencegah keluarga kulit hitam tinggal di perumahan kulit putih yang cenderung lebih bagus dan makmur. Tuntutan ini dilayangkan Gautreaux pada 1966, tapi baru diselesaikan pada 1976. Gautreaux dan aktivis lainnya berhasil memaksa pemerintah untuk menempatkan keluarga minoritas di perumahan kulit putih. 

 

Hasilnya positif: para anak-anak keluarga miskin yang dipindahkan ke perumahan kulit putih di pinggir kota lebih mungkin lulus SMA dan melanjutkan pendidikan ke bangku universitas dibandingkan mereka yang tetap tinggal di tengah kota. Hasil ini juga direplikasi dalam eksperimen Moving To Opportunity, dua dekade setelahnya.

 

Tapi untuk mendapatkan hasil ini tentunya tidak mudah. Insentif untuk keluarga miskin-menengah bawah untuk pindah ke lingkungan baru tak semudah itu. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, seperti jarak tempat kerja mereka dari rumah yang baru, akses transportasi, kualitas dan tipe bangunan baru untuk mereka, serta seperti apa keuntungan yang bisa didapatkan. 

 

Kesulitan-kesulitan ini juga yang dirasakan oleh penyelenggara MTO. Hanya sedikit keluarga miskin-menengah bawah yang mau mengikuti program ini. Awalnya para ekonom mengira menambahkan bonus uang tunai sebesar $500/bulan bisa menyelesaikan masalah ini. Kenyataannya lebih rumit. Maka dibuatlah tim navigator dengan tugas menjelaskan keuntungan yang bisa didapatkan para keluarga jika mereka pindah. Keluarga-keluarga ini hanya perlu mengisi dokumen-dokumen yang diminta, sisanya diurus oleh para navigator ini.

 

Tentu kebijakan ini membutuhkan banyak tenaga, waktu, dan uang. Belum lagi kondisi dan konteks Indonesia jauh berbeda dengan Seattle atau Minnesota sehingga membutuhkan perubahan kecil hingga drastis. Namun melihat keuntungannya yang begitu besar, kenapa tidak?