Ini Bukan Tahun Sepakbola, Tapi…

Ini Bukan Tahun Sepakbola, Tapi …

Mahfud Ikhwan

Setelah menyelesaikan 40 pekan cerita bersambung BEK di Kumparan Plus jelang akhir 2021, saya memutuskan untuk mengaso dari dua hal selama setahun ke depan: 1) fiksi; 2) sepakbola. 
BEK adalah proyek yang tak direncanakan. Kumparan Plus muncul persis di awal tahun, hanya berselang hari dari ketika saya memutuskan  berhenti menulis kolom Mojok di pekan ke-50, kolom yang sangat menguras tenaga dan melelahkan, karena mengharuskan saya menulis 2000 kata setiap pekan sepanjang tahun 2021, tapi terutama karena cara dan bentuk kolom itu ditulis—yang tentu saja saya pilih sendiri. Kumparan Plus bertanya apakah saya bisa menulis 10 cerpen tematik untuk dimuat selama 10 pekan. 
Jawabannya tentu saja tak bisa, haha …. Saya sudah tidak menulis cerpen sejak 2007, sebagian alasannya karena saya tak ingin menginterupsi pola dan nada novel (pertama) yang sedang saya kerjakan waktu itu, sebagian lagi karena merasa sangat capek mengikuti perkembangan cerpen mutakhir Indonesia (yang itu artinya cerpen koran). Tapi saya merasa tawaran itu terlalu menarik untuk diabaikan; menulis fiksi secara bersambung di media adalah impian lama saya, sebuah pikiran nostalgis yang bahkan saya bawa-bawa ke fiksi saya (lihat Dawuk dan Anwar Tohari). Lagipula, saya tak ingin terlihat sebagai pengarang miskin ide, meskipun kenyataannya sering demikian. Maka, saya menawarkan sebuah draf lama yang sudah saya tinggalkan selama bertahun-tahun, yang jika diselesaikan tepat waktu bisa saja menjadi novel kedua saya. Draf itu bertahun-tahun lalu pernah saya tawarkan ke beberapa media cetak untuk dicerbungkan, tapi tak ada yang memberi respons.
“Jika kalian mau,” begitu kata saya kepada Kumparan Plus, "kita akan punya cerbung di media setelah sekian lama hilang. Itu keren lho.” Eh, mereka tertarik. Mereka bahkan siap jika cerbung tersebut lebih panjang dari 10 pekan.
BEK adalah perpanjangan dari universum Ulid, novel pertama saya, dengan pendekatan yang kurang lebih mirip. Jika Ulid memakai sandiwara radio sebagai pintu masuk ke dunia batin si tokoh utama yang tumbuh bersama desanya yang berubah, BEK memakai sepakbola untuk menggambarkan dunia fisik dan batin tokoh utamanya, Isnan. Masih saya harapkan menjadi semacam bildungsroman sebagaimana pendahulunya, BEK saya jual ke Kumparan Plus sebagai “pseudo-memoar”. Saya tak tahu apakah istilah itu sudah pernah dipakai atau tidak sebelumnya di ranah fiksi, tapi ia saya bayangkan sebagai memoar dari seorang tokoh fiksi atau novel yang mengambil bentuk memoar atau kurang lebih demikian—atau, anggap saja demikian. 
BEK saya tulis sejak 2010, hanya berjarak bulan saja setelah saya menyelesaikan Ulid. Itu juga tahun yang sama ketika saya memutuskan membuat blog sepakbola Belakang Gawang yang kemudian saya isi bersama karib saya, Darmanto Simaepa. (Piala Dunia 2010 Afsel, entah kenapa, memberi energi yang meluap-luap berkait menulis sepakbola.) Karena itulah, beberapa fragmen awal BEK saya unggah ke Belakang Gawang. Draf itu berhenti di kisaran 50-an halaman, jumlah halaman yang biasanya menjadi batu uji ketahanan kebanyakan novel saya, karena saya tak tahu kisah ini akan berakhir di mana dan bagaimana. Ketika saya menyelesaikan Kambing dan Hujan pada akhir 2013, yang disusul dengan Dawuk di kisaran 2015-2016, draf itu sama sekali terabaikan.
Sekitar 2016, saya untuk pertama kalinya mendapatkan kopi Fever Pitch-nya Nick Hornby, bacaan yang bahkan sudah saya cari sejak menulis Ulid namun tak tahu harus mencari ke mana. Saya sudah berkali-kali nonton Fever Pitch versi film, tapi begitu membaca bukunya saya merasa sangat terkejut betapa apa yang saya ingin lakukan dengan BEK telah dilakukan Hornby lebih dari 25 tahun lebih awal: sebuah cerita tentang “aku dan sepakbola”. Maka, alih-alih menyentuh kembali draf lama yang malang itu, saya malah mulai mencicil menerjemahkan Fever Pitch, yang pada awalnya hanya saya tujukan untuk diri sendiri namun pada akhirnya terbit sebagai Keranjingan Bola pada awal tahun ini. 
Malah, sebuah bacaan yang acak, novel yang seharusnya saya baca di masa remaja, Swami and Friends dari R.K. Narayan, tiba-tiba menggedor saya untuk melihat kembali draf itu. Karena gelora yang tiba-tiba melonjak-lonjak itulah, kepada seorang teman yang mengelola penerbitan sastra di Jogja, saya bahkan telah menjanjikan naskah itu untuknya. Tapi gelora yang melonjak-lonjak itu hanya berdaya menulis beberapa paragraf saja. Draf itu macet lagi, dan saya malah menyelesaikan Anwar Tohari.
Maka, kesepakatan dengan Kumparan Plus niscaya menggentarkan juga. Saya mesti meneruskan draf yang berkali-kali macet dan menulis dengan tenggat tiap pekan. Tapi saya pernah menyelesaikan draf yang macet selama sembilan tahun dalam tiga bulan untuk kasus Kambing dan Hujan, jadi ini bukan sesuatu yang baru. Juga, menulis kolom untuk Mojok selama setahun penuh di tahun sebelumnya adalah latihan yang bisa dipetik manfaatnya. Di atas semuanya, saya merasa sangat bersemangat karena akhirnya punya “cerita bersambung” seperti Mustofa Abdul Wahab, tokoh saya yang malang di Dawuk dan Anwar Tohari.
Semua buku nonsepakbola saya singkirkan dari meja, sementara rak terdekat dari kursi kerja saya saya ganti isinya dengan sepenuhnya buku-buku sepakbola. Membaca berulang-ulang dan berulang-ulang lalu menerjemahkan Fever Pitch, membuat kepala saya dipenuhi kalimat-kalimat Hornby. Jadi, langkah pertama adalah mengambil jarak atau menguburnya sama sekali. Saya memburu dan menetapkan beberapa buku sepakbola lain untuk melakukan hal itu. Memoar Ben Smith, Journeyman (2015), kisah pesepakbola kelas teri Inggris yang berpindah-pindah dari satu klub gurem ke klub gurem lain, adalah bacaan paling lecek selama saya menulis BEK. Prosa Smith jelas tak istimewa, sebagaimana karier sepakbolanya, tapi saya menyukai awan gelap penyesalan dan kegagalan yang memenuhi seluruh halaman bukunya. Juga pandangannya dari dalam tentang sepakbola kelas rendah, suka-dukanya, konflik dan permasalahannya, keberhasilan-keberhasilannya yang semenjana (prestasi tertinggi sepakbola Smith adalah membawa tim nonliga Crowley Town “hampir mengimbangi” Manchester United di Old Trafford dalam sebuah pertandingan Piala FA) sangat saya butuhkan untuk mencipta set fiktif seorang pesepakbola tarkam yang gagal di Jawa akhir ‘90an. Buku lain yang sangat menyenangkan di masa-masa menulis BEK adalah Keane The Autobiography (2002) yang ditulis bersama Eamon Dunphy. Jelas salah satu otobiografi sepakbola terbaik yang pernah saya baca. Sayangnya, karena ini memoar seorang kapten Manchester United, dan ditulis saat ia berada di puncak kariernya, ia dituturkan dari teras tertinggi kuil sepakbola, sesuatu yang sangat berbeda dari dunia fiksi yang hendak saya bikin. Bacaan lain yang membantu adalah cerita Dave Robert tentang klub busuk yang didukungnya, Bromley FC, dalam The Bromley Boys. Tak kalah menyenangkannya adalah buku kenangan Gary Imlach tentang bapaknya, Stewart Imlach, yang mantan pemain Nottingham Forest dan tim nasional Skotlandia, dalam My Father and Other Working-Class Football Heroes.   
BEK dianggarkan di kisaran 30 pekan, dengan tiap pekannya sepanjang 1500-2000 kata, tapi kemudian memanjang jadi 40 pekan dengan total 72 ribuan kata. Itu 10 bulan yang intens. Dan itu membuat saya nyaris hanya berada di depan laptop selama nyaris setahun. Dan nyaris hanya memikirkan sepakbola. Menulis cerbung (akhirnya!), dengan tenggat tiap pekan, adalah pengalaman menantang sekaligus menyenangkan. Tapi juga menguras. 
Karena itulah, setahun ke depan setelah itu, saya bilang kepada diri sendiri akan rehat dari fiksi dan, terutama, tak akan menyentuh sepakbola lebih dari menontonnya. Saya bahkan tak ingat bahwa tahun yang saya maksud adalah tahun 2022, tahunnya Piala Dunia. 

*** 

Saya berpindah sepenuhnya ke rak buku lain, yang selama menulis novel saya jauhkan dari meja kerja: rak buku film India. Sejak menerbitkan Aku dan Film India Melawan Dunia I & II (2017), saya mendapati bahwa tulisan-tulisan di buku itu, yang awalnya memang tulisan blog, nyaris sepenuhnya mengandalkan ingatan dan sepi dari referensi bacaan, dan dengan segera kelihatan banyak bolongnya. Saya merasa mesti menebus dengan mulai mengumpulkan sedikit lebih banyak bacaan. 
Lebih awal, saya memang telah memiliki Encyclopaedia of Indian Cinema dari Ashis Radjadiaksha dan Paul Wilemen, Filming The God dari Rachel Dwyer, yang mengkaji relasi Bollywood dengan agama, dan Global Bollywood, sebuah tulisan keroyokan tentang musik India. Nyaris hanya tiga buku itulah pusaka saya, yang sesekali saya longok jika benar-benar butuh referensi. Lalu seorang teman di media sosial yang sering bepergian ke India mulai menghadiahi saya buku-buku tentang film India. Dikombinasi dengan perburuan pasar yang sangat jarang, dan POD PDF buku-buku kajian akademik yang bisa didapatkan gratis dari internet, saya menghadiahi diri saya sendiri seratusan sekian buku tentang film India selama empat hingga lima tahun terakhir. Khusus dua tahun terakhir, ketika saya mulai yakin bahwa buku Film India edisi ketiga saya mesti khusus membahas musik, saya mengintensifkan mengumpulkan buku-buku kajian tentang musik India. Dan di awal tahun ini, saya rupanya sudah menumpuk puluhan buku di meja.
Tapi siapa pun yang pernah melakukan keduanya akan tahu betapa susahnya membaca sekaligus menulis; dalam banyak sekali kasus, termasuk kasus saya, semakin banyak Anda membaca semakin Anda tahu bahwa Anda tidak bisa segera menulis. Karena Anda kini tahu bahwa yang Anda tahu baru sangat sedikit. Belum lagi kita bicara soal lagu/musik film India-nya sendiri, jadi lebih rumit lagi. Selama ini saya menyimpan lebih dari 5000-an lagu yang membentang dari OST film-film akhir ‘70an hingga pertengahan 2010-an. Saya bisa ngomong semalam suntuk tentang lagu-lagu itu kepada siapa pun yang bertanya. Namun, buku-buku yang saya baca menunjukkan bahwa apa yang saya simpan dan saya sangka sudah nyaris keseluruhan itu hanya sekelumit saja. Film India sudah berhias lagu sejak mereka memasuki era Talkies, gambar bicara, di akhir 1920an, dan, sejauh ini, sinema India masih terus memproduksi lagu untuk film-film terbarunya. Artinya, ada seratus tahun kebisingan yang mesti saya simak jika saya benar-benar mau bicara tentang musik film India: dari KA Saigal di masa akhir kolonial hingga Jubin Nautyal di era milenial. Saya memang tak pernah berpretensi menjadi sarjana dan karena itu menjadi lebih objektif, tapi saya tahu saya harus keluar dari dinding selera yang selama ini mengungkung saya agar tahu gambar yang lebih luas.  
Tapi, sekali lagi, ini jebakan yang rumit. Di satu sisi, saya mesti berjuang, sekuat-kuatnya, untuk mendengarkan musik dan lagu-lagu yang tidak saya suka (ya, saya menyukai musik India, tapi tidak semuanya bisa saya telan!). Di sisi lain, dalam pencarian-pencarian yang acak dan tak sengaja, saya merasakan lagi jatuh cinta dengan musik India seperti yang dulu saya alami di masa remaja. Khazanah lagu India lama saya, yang selama ini diisi hanya oleh empat nama yang sangat mapan, yaitu Kishore Kumar, Mohammad Rafi, Lata Mangeshkar, dan Asha Boshle, tiba-tiba diacak-acak oleh Mukesh, Noor Jehan, dan terutama Hemant Kumar. Nama-nama itu tidak sama sekali asing (saya sudah menyimpan beberapa lagu mereka sejak lama komputer), tapi menyimak mereka lebih serius dan hati-hati, mendengarkannya di saat yang tepat, dan menempatkan mereka dalam konteksnya, itu sungguh seperti sebuah penemuan. Dan tebak apa yang kemudian terjadi? Setahun terakhir, saya tak bisa tidur tanpa iringan rengeng-rengeng suara orang-orang mati dari tahun ‘50an itu. 
Sampai sini saya tidak menyebut satu hal pun berkait penulisan karena, ya, saya sama sekali belum menulis. Tak peduli begitu banyak judul, ide tulisan, atau kalimat pembuka (dan memang demikian), saya tak berani membuka file Word kosong yang baru. Contoh: sudah bertahun-tahun saya ingin menulis tentang Sahir Ludyanvi, penyair Urdu sekaligus salah satu penulis lirik lagu paling dihormati dalam sejarah sinema India, terutama karena keeksentrikan sikap hidup dan pilihan ideologinya, dan saya merasa sudah punya cukup data tentangnya, tapi saya takut menjajalnya sebelum benar-benar yakin saya telah cukup menyimak lagu-lagu yang ditulisnya, dan menonton film-film yang memakai lagunya; belum lagi, Sahir lebih banyak saya temukan dalam anekdot-anekdot pendek dan terpenggal-penggal yang dituturkan orang lain (entah penyanyi latar, penata musik, maupun sutradara); saya belum menemukan tulisannya sendiri, atau tulisan yang lebih konprehensif tentang dirinya.  Maka, Sahir, orang pertama yang menuntut sinema India mesti memberi kredit kepada penulis lirik sebagaimana mereka memberi kredit kepada penata musik dan penyanyi latar (dan kemudian dikabulkan itu), masih menjadi cita-cita untuk saya. Dan rencana tulisan tentang Sahir jelas bukan satu-satunya. 
Saya pikir menulis sebulan sekali di Jawa Pos selama setahun terakhir, sebagian tentang musik pop, pada awalnya adalah tebusan kecil dari kegagalan pengerjakan proyek musik India ini. Tapi saya segera menyadari, itu justru benteng yang saya bangun untuk lari bersembunyi dari kerja sungguhan yang ingin saya canangkan. 
Lalu, kalender tiba-tiba menunjukkan bahwa tahun ini akan berakhir dalam hitungan pekan lagi. Dalam matriks kerja saya (yang tentu saja tidak saya pasang di dinding), ini adalah waktu saya seharusnya menyerahkan naskah Aku dan Film India Melawan Dunia edisi III kepada penerbit yang telah menunggunya. Tapi saya bahkan tidak menyelesaikan satu tulisan pun! Dan saya hanya bisa mengutuki diri sendiri.
Barangkali karena rasa bersalah inilah, saya tidak menyambut Piala Dunia yang jatuh di akhir November ini dengan persiapan yang seperti biasanya: memasang jadwal pertandingan, membaca data dan informasi yang cukup untuk bekal menonton dan (biasanya) menulis—seperti yang selalu saya lakukan sejak Piala Dunia 2010. Tentu, tak diragukan, politik kotor di balik penunjukan Qatar sebagai tuan rumah oleh FIFA juga punya dampak kepada animo saya atas Piala Dunia kali ini. Karena itulah, dalam kolom terakhir saya di Jawa Pos, sebuah ocehan alakadarnya tentang sepakbola, yang saya tulis dengan batuk yang masih keras dari sisa-sisa gempuran flu selama dua minggu di awal November ini, dengan enteng saya bilang: “saya akan tetap nonton Piala Dunia Qatar, tapi saya tampaknya tak akan menulis apa pun, di mana pun.”
Hanya beberapa jam sejak tulisan di Jawa Pos itu saya bagikan secara publik, seorang kawan yang sudah lama tak kontak mengirim pesan di kotak pesan Facebook: “Mas, nulis Piala Dunia di tempat kami dong…” Sebuah serangan yang persis mengenai titik terlemah saya.
Saya hanya bisa mendesis: “Bajingan ….” 

***

Saya sudah mencanangkan bahwa 2022 tak akan jadi tahun sepakbola. Tapi …. 
Ya … selalu ada tapi untuk sepakbola. 
Tak ada alasan yang lebih sering saya pakai untuk membantah ibu saya melebihi sepakbola. Tak ada aturan yang tidak saya langgar dan siasati kalau berurusan dengan sepakbola. Tak ada komitmen yang tidak saya tawar jika sudah berkait sepakbola. Tak ada sikap plin-plan yang tidak saya maafkan selama ia menyangkut sepakbola. Dan, yang paling sering terjadi, tak ada rasa bersalah yang bisa dengan enteng saya tanggung selama ia ditimbulkan oleh sepakbola. 
“Coba aku lihat-lihat tulisan di media kalian dulu ya,” jawab saya. 
Tiga menit kemudian saya mengirim jawaban saya—jawaban yang sudah ada sejak pesan permintaan itu saya baca; jawaban yang sangat mudah diduga: “Oke deh!”
Dan, ya, begitulah. Tulisan saya tentang Piala Dunia Qatar, yang saya belum tahu seperti apa nanti format dan bentuknya, bisa dibaca di Jurno.id selama sebulan ke depan.