Jalan Terjal Sepak Bola Lepas dari Sponsor Judi

Jalan Terjal Sepak Bola Lepas dari Sponsor Judi
Yoga Cholandha
Palu sudah diketuk. Mulai musim 2026/27, kostum klub-klub Premier League bakal bersih dari sponsor judi. Kesepakatan itu disampaikan secara resmi melalui pernyataan resmi operator liga, pertengahan April 2023 silam.
Tentu ini bukan urusan sepele buat sebagian klub. Tercatat, sampai saat ini, delapan klub Premier League masih memasang logo rumah judi di jersi bagian depan. Mereka adalah Bournemouth, Brentford, Everton, Fulham, Leeds United, Newcastle United, Southampton, dan West Ham United.
Sky Sports melaporkan, nilai sponsor judi yang mengikat delapan klub tersebut nilainya mencapai 60 juta paun per annum. Artinya, jika dirata-rata, nilai sponsor judi di bagian dada jersi klub-klub tadi mencapai 12,5 juta paun. 
Angka itu jelas tidak sedikit. Apalagi, selain Newcastle United, tidak ada satu pun dari delapan klub tadi yang masuk kategori klub tajir melintir. Meski demikian, dalam pernyataan resmi Premier League itu, disebutkan pula adanya sebuah komitmen untuk "membantu klub-klub melakukan transisi dari sponsor judi".
Keputusan klub-klub Premier League untuk membersihkan diri dari sponsor judi itu tak bisa dilepaskan dari lahirnya undang-undang baru soal perjudian yang mengatur tentang perlindungan terhadap pengguna rentan di era ponsel pintar. Dalam rilis resmi Departemen Kebudayaan, Media, dan Olahraga (DCMS), disebutkan bahwa salah satu pengguna rentan yang dimaksud adalah anak-anak, atau mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Hal ini ditegaskan pula oleh Lucy Frazer, anggota parlemen Inggris mewakili South East Cambridgeshire yang juga menjabat sebagai Secretary of State di DCMS. Menanggapi pernyataan resmi Premier League, Frazer menulis, "[Saya] sangat mengapresiasi langkah ini. Meskipun sebagian besar orang dewasa bisa menikmati judi tanpa bahaya, kita tidak bisa mengingkari betapa besarnya pengaruh pesepak bola terhadap anak-anak."
Apa yang dituliskan Frazer itu sendiri senada dengan kecemasan yang selama ini mendasari kampanye anti-sponsor judi di kostum sepak bola. Salah satu anggota parlemen lain, Carolyn Harris, yang selama ini memimpin kampanye antijudi, mengatakan bahwa tujuan utama dari upayanya adalah melindungi anak-anak dari bahaya judi.
Adapun keputusan Premier League itu sendiri tidak serta merta berarti liga tersebut bakal sepenuhnya bebas dari judi. Menurut laporan The Guardian, klub-klub Premier League masih bisa menjadi alat promosi rumah judi melalui sponsor lengan maupun papan iklan stadion.
Meski demikian, harus diakui, mengenyahkan judi dari sepak bola tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya, judi bola sendiri sudah dikenal sejak awal abad ke-20. 
Mulanya, judi bola dilakukan secara kecil-kecilan dan sembunyi-sembunyi. Sebab, meskipun pemerintah Inggris sudah mengeluarkan undang-undang perjudian olahraga sejak 1928, olahraga yang boleh diperjudikan hanyalah pacuan kuda.
Meski begitu, seiring dengan makin besar dan populernya sepak bola (serta olahraga lain), aktivitas perjudian pun semakin marak sampai akhirnya pemerintah Inggris mengeluarkan beleid bertajuk 1960 Gambling Act yang, pada prinsipnya, memungkinkan semua cabang olahraga untuk dipertaruhkan.
Seiring berkembangnya teknologi, mulai dari televisi, teleteks, hingga internet, kelindan judi dengan sepak bola pun makin erat. Kini, di era ponsel pintar, di mana akses terhadap situs-situs judi semakin dekat dengan anak di bawah umur, pemerintah Inggris pun mesti memperbarui hukumnya. Dan aturan itu memaksa klub-klub Premier League untuk membersihkan citranya.
Benci tapi Cinta
Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) sebenarnya punya aturan sangat tegas dalam urusan judi. Sayangnya, aturan FA itu hanya menyasar pemain dan individu-individu lain yang terlibat langsung dalam kompetisi seperti pelatih. Seperti di negara-negara Eropa lain, mereka dilarang bertaruh di olahraga yang mereka geluti.
Jadi, seorang pesepak bola, misalnya, boleh bertaruh di cabang olahraga lain seperti rugbi atau pacuan kuda, tapi mereka tidak boleh memasang taruhan di sepak bola. Alasannya jelas: Supaya integritas permainan tidak dicederai oleh upaya-upaya untuk mengatur jalannya pertandingan.
Meski demikian, tetap saja ada oknum yang ngeyel seperti striker Brentford, Ivan Toney. Pemuda 26 tahun itu sampai harus kehilangan kans memperkuat Timnas Inggris di Piala Dunia 2022 karena melanggar 262 aturan FA mengenai judi. Per 1 Maret 2023 lalu, Toney mengakui semua kesalahannya dan berpotensi mendapat hukuman larangan bermain hingga setengah musim.
Sayangnya, aturan tegas soal judi itu tidak berlaku untuk klub. Klub dibebaskan menggandeng sponsor mana pun, termasuk judi serta entitas-entitas pelaku sportswashing macam negara Rwanda, Uni Emirat Arab,  Qatar, dan Rusia.
Pada akhirnya, kompetisi sepak bola Inggris pun jadi lahan subur bagi rumah-rumah judi untuk mempromosikan diri. Di Premier League sendiri ada delapan klub. Belum lagi di kompetisi-kompetisi yang ada di bawahnya. Di Championship, misalnya, ada enam klub yang memasang logo sponsor judi di jersi bagian depan.
Apa yang terjadi di Inggris itu pun bisa dilihat di negara-negara lain. Di Serie A dan Serie B Brasil, contohnya. Dari 40 klub yang berkompetisi di dua liga itu, 39 di antaranya disponsori oleh rumah judi.
Bahkan, di Liga 1 di dalam negeri, tiga klub mengarungi musim 2022/23 dengan sponsor judi di dada. Padahal, jelas-jelas, judi adalah aktivitas ilegal di Indonesia.
Premier League sendiri, sebagai salah satu liga paling terkemuka di dunia, terbilang terlambat memerangi judi. Sebelumnya, Serie A dan La Liga sudah melarang penggunaan sponsor judi di jersi bagian depan. Di Bundesliga, kendati tak ada larangan, tak ada satu klub pun yang di jersi bagian depannya menampilkan logo rumah judi.
Meski begitu, di Italia, seruan untuk mencabut larangan sponsor judi telah disuarakan Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) sejak 2021. Larangan itu sendiri mulai berlaku sejak 2018 dan masih efektif hingga kini. Adapun alasan di balik keinginan FIGC mengembalikan sponsor judi adalah supaya klub-klub Italia bisa lebih kompetitif secara finansial. Namun, hingga kini pemerintah masih bergeming.
Satu-satunya liga top Eropa yang belum bergerak memerangi judi adalah Ligue 1. Federasi Sepak Bola Prancis (FFF), per laporan The Athletic pada 7 April 2023, tengah melakukan negosiasi dengan Betclic untuk menjadi sponsor. Padahal, sejumlah pemain, di antaranya Kylian Mbappe, sudah secara terang-terangan menentang hal tersebut.
Pada akhirnya, jalan sepak bola untuk terbebas dari judi masih sangat panjang. Apalagi, masih banyak orang yang berpikir bahwa judi dan sepak bola (atau olahraga apa pun) tak bisa dipisahkan. Tanpa aturan tegas dari pemerintah, otoritas sepak bola akan secara natural mencari jalan termudah untuk mempergemuk pundi uang.
Maka, laiknya adiksi-adiksi yang lain, jalan paling mudah untuk mengakhirinya adalah intervensi.