Ketidakadilan Bikin Musisi Jazz Akrab dengan Islam
Bikin ilustrasi cafe jazz gitu. Ada tulisan “Open” terus di bawahnya ada tulisan:
Musisi jazz berpapasan dengan Islam? Gak percaya? Sini masuk dulu.
Kurleb kayak gini gambarnya…
Terus setelah masuk ke dalam, bikin gambar ada waiters bawa buku menu. Buku menunya kayak dibikin beberapa slides dengan teks seperti di bawah ini:
Banyak musisi jazz Amerika di pertengahan abad ke-20 banyak menghabiskan waktu mencari ketenangan di luar musik, salah satunya spiritualitas.
Sebagaimana musik jazz yang nekat dalam improvisasi, di luar urusan musik para musisi ini juga nekat melintasi jarak yang jauh demi menemukan makna spiritual tersebut. Salah satu wujud pencarian spiritualitas itu adalah memeluk agama Islam.
Salah satu contoh musisi jazz yang dikenal dengan identitas Islamnya adalah Yusef Lateef. Yusef Lateef (1920–2013) adalah seorang pemain saksofon tenor dan flute yang juga dikenal sebagai komposer, pengajar, dan peneliti musik.
Musisi yang terlahir dengan nama William Huddleston ini, mantap memeluk Islam pada 1948.
Dalam kariernya yang sangat panjang itulah ia banyak berkolaborasi dengan musisi kenamaan lain seperti Cannonball Adderley, Donald Byrd, Dizzy Gillespie, dan Charles Mingus.
Ia menjadi salah satu musisi jazz kulit hitam pertama yang mengasosiasikan dengan Islam. Sepanjang hidupnya, ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah sebanyak dua kali dan menulis disertasinya pada 1975 berjudul “Sebuah Tinjauan Pendidikan Barat dan Islam.” Sejak 1980 ia melarang alkohol dalam pertunjukannya.
Karya-karyanya mencakup berbagai gaya musik, termasuk jazz, blues, dan musik dunia, sering kali mencerminkan pengaruh Islam dalam pemikiran dan ekspresinya.
Kini pertanyaan muncul, mengapa Yusuf Lateef dan musisi jazz lainnya memilih Islam sebagai keyakinan baru mereka?
(((Bikin ilustrasi ada 3 musisi jazz. Di slide aja kayak begini
Musisi Jazz 1()
Di periode antara Reconstruction Era (sekitar tahun 1865-1877) dan gerakan hak sipil pada tahun 1950-an dan 1960-an, orang kulit hitam menghadapi diskriminasi sistemik dalam bentuk segregasi rasial, kekerasan rasial, pembatasan hak pilih, dan ketidaksetaraan dalam kesempatan ekonomi dan pendidikan.
Para musisi jazz ini tak luput dari diskriminasi tersebut.
Pada awal abad ke-20, ketika musik jazz mulai berkembang, pengucilan rasial yang diberlakukan oleh undang-undang Jim Crow membatasi musisi jazz kulit hitam untuk tampil di tempat-tempat yang dihuni oleh orang kulit putih.
Kalaupun mereka diizinkan tampil, bayaran mereka sering kali jauh lebih rendah daripada musisi kulit putih. Padahal kemampuan mereka sama atau bahkan jauh lebih jago daripada musisi kulit putih.
Diskriminasi ini tak hanya terjadi di dunia panggung. Dunia rekaman pun demikian. Industri rekaman selalu menjadikan musisi jazz sebagai korban atau objek penderita.
Pada praktiknya, para musisi jazz kulit hitam juga mengalami kesulitan mendapatkan kontrak rekaman, terutama ketika label-label rekaman utama lebih suka mengontrak musisi kulit putih.
Seandainya pun mereka beruntung dan bisa rekaman, masalah baru muncul: mereka seringkali harus berurusan dengan label yang hanya ingin mengambil keuntungan belaka alih-alih memikirkan kesejahteraan mereka. Maka kompensasi yang layak atau hak cipta yang adil hanya sebatas impian belaka.
Dalam kondisi yang ringsek itulah, Islam hadir sebagai suluh penerang.
Musisi Jazz (2)
Kenapa ya kira-kira Islam yang dipilih?
Pada 1963 drummer Art Blakey tahun mulai mencari filosofi baru setelah dipukuli hingga hampir mati di kantor polisi di Albany, Georgia. Pemicunya sederhana: dia tak mau memanggil polisi kulit putih dengan panggilan “tuan”.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah jazz Prancis, Art Blakey mengatakan hal ini: “Islam memberikan kepada orang kulit hitam apa yang dia cari, sebuah pelarian yang bisa ditemukan dalam narkoba atau minuman keras. Sebuah cara hidup dan pemikiran yang dapat dia pilih sepenuhnya: kebebasan. Inilah alasan kami mengadopsi agama baru ini. Bagi kami, ini adalah cara untuk memberontak.”
Setali tiga uang dengan Blakey, Ahmad Jamal, solois piano jaz menyebut Islam bagai cahaya. Suatu waktu selepas manggung di tahun 1959, Jamal terlibat obrolan dalam dengan pemain terompet Idrees Sulieman, yang merupakan seorang mualaf.
Jamal lantas jatuh cinta dengan pesan Islam yang keluar dari mulut Idrees Sulieman. “Saya menerima Islam karena Islam membawa saya dari kegelapan menuju cahaya dan memberi saya arah,” ujarnya dalam sebuah wawancara tahun 2017.
Majalah Ebony tahun 1953 menyebutkan bahwa Islam meruntuhkan batasan rasial. “Islam meruntuhkan sekat-sekat rasial dan memberikan pengikutnya tujuan dan martabat dan sebagian karena Islam menjadikan mereka sebagai tanda pembeda di Amerika Serikat yang jumlah umat Islamnya hanya sekitar 100.000 dari total populasi 150 juta jiwa.” ((masukin gambar ini ya))
Pendeknya, Islam menawarkan para musisi ini kesempatan menolak rasisme dan kekerasan brutal di Amerika, sekaligus memungkinkan mereka untuk mengeksplorasi diri sebagai manusia seutuhnya dan pencari spiritual.
Kini, pertanyaan muncul: Islam aliran apa yang dipilih para musisi jazz tersebut?
Musisi Jazz (3)
Ya, Ahmadiyah.
Ahmadiyah merupakan gerakan keagamaan dalam Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad pada akhir abad ke-19 di Qadian, India. Pendiri gerakan ini mengklaim sebagai Imam Mahdi yang dinantikan dan juga sebagai Mesias yang dijanjikan dalam agama-agama besar, termasuk Islam, Kristen, dan Hindu.
Ahmadiyah menekankan pentingnya toleransi, perdamaian, dan dialog antaragama. Mereka mempromosikan interpretasi Islam yang moderat, menolak kekerasan dalam nama agama, dan berupaya memperbaiki citra Islam yang sering kali terpengaruh oleh stereotip negatif.
Nah semangat itulah yang ingin dijalani para musisi jazz yang memutuskan memeluk Islam.
Jazz Membebaskan, Islam Merekatkan
Berbeda dengan Islam, jazz bukan sesuatu yang turun dari langit. Musik jazz bermula dari pengalaman kaum Afrika-Amerika di Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di tengah penindasan rasial yang ekstrem dan kondisi sosial yang sulit, jazz muncul sebagai bentuk ekspresi yang memungkinkan komunitas Afrika-Amerika mengekspresikan emosi, kebebasan, dan keberanian mereka melalui musik.
Melalui jazz, mereka bebas dan sekejap melupakan rasa sakit karna penindasan. Di masa ketika jazz mulai berkembang, klub malam sering menjadi satu-satunya tempat di mana musisi Afrika-Amerika bisa tampil bebas tanpa harus tunduk pada segregasi rasial yang mengatur banyak aspek kehidupan di Amerika Serikat.
Namun bukan berarti penindasan bin ketidakadilan bisa hilang sepenuhnya. Bahkan di lingkungan klub malam ini, masih ada penindasan dan ketidaksetaraan yang dialami oleh para musisi jazz.
Seiring waktu, jazz menjelma menjadi simbol perlawanan dan kebangkitan dalam gerakan hak sipil. Musik ini menjadi sarana bagi para aktivis dan tokoh gerakan hak sipil menyampaikan pesan-pesan penting tentang kesetaraan, keadilan, dan perubahan sosial. Semangat anti-penindasan itulah yang mirip dengan Islam.
Belasan abad sebelumnya, Tanah Arab sebagai tempat lahirnya Islam tak lepas dari kondisi ketidakadilan. Ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sumber daya agraria kerap terjadi. Ketimpangan yang terjadi di Arab muncul dari sebuah fenomena yang dikenal dengan “ayyam al Arab”, yaitu hari dimana kabilah-kabilah Arab berperang untuk mempertahankan eksistensi kabilahnya.
Fenomena itu dipicu oleh persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput maupun mata air. Pada akhirnya fenomena itu menimbulkan ketimpangan dalam penguasaan harta termasuk
lahan dan air. Yang kuat menghancurkan yang lemah.
Nah dari kemiripan kelahiran itulah, tampaknya kita tak perlu terkejut dengan banyaknya musisi jazz yang memeluk Islam sebagai keyakinan yang dianut. Islam, tampak seperti segelas air dingin di tengah padang tandus yang gersang. Jiwa mereka yang selalu butuh tempat bernaung dari segala kegilaan, ditampung Islam sebagai rumah yang sejuk dan menawarkan ketenangan sambil sesekali melawan saat ditindas.
Ya, jazz dan Islam sama-sama menolak akan penindasan dan ketidakadilan.