Jika Pakistan punya garam Himalaya sebagai garam kebanggaannya, Indonesia maka punya garam Kuwu yang bahkan dimonopoli secara khusus oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam sebuah catatan masa Dinasti Xin Tangshu (618-906 M) yang menuliskan tentang Kaling atau Jawa, disebut bahwa negara itu sangat kaya. Di sana terdapat sebuah gua tempat air asin menggelembung secara spontan. Tempat itu telah dimanfaatkan penduduk sekitar untuk membuat garam yang mereka konsumsi. Sumber air asin alami di Pulau Jawa itu hanya ada di Kuwu yang lokasinya dekat dengan Sungai Lusi di Kabupaten Grobogan. Tidak jarang penyebutan keberadaan Kuwu dalam sumber China tersebut menjadi salah satu rujukan untuk menentukan lokasi ibu kota Kerajaan Medang Kamulan, di mana Kuwu diduga berada di perbatasan barat wilayah kerajaan legendaris itu.
Daerah itu kering, sangat kontras dengan desa-desa di sekitarnya yang sama-sama berada di kaki Gunung Muria dan tepi Sungai Lusi yang dipenuhi warna hijau. Namun tanah-tanahnya bisa menghasilkan air asin ketika dibor. Sumur-sumur itu milik pribadi dan sebagian lainnya digali oleh penduduk desa Kuwu, Grobogan, dan Jati yang secara rutin ditambang untuk ekstraksi garam oleh penduduk. Ada satu mata air yang mampu menghasilkan cipratan yang kuat yang penduduk sebut sebagai gunung berapi atau juga bledug yang banyak menarik perhatian pelancong. Bledug itu muncul karena wilayahnya yang berasal dari bebatuan yang mengalami sesar sehingga aliran gas dapat melewati bebatuan dan muncul ke permukaan bumi dengan mudah. Hal ini disebabkan daratan sepanjang Semarang hingga Rembang merupakan sebuah dataran aluvial. Awalnya kawasan itu merupakan sebuah selat yang memisahkan wilayah darat dengan Gunung Muria. Pendangkalan selat itu terjadi secara perlahan dalam waktu berabad-abad. Baik sumur lumpur maupun sumur air, pada dasarnya keduanya merupakan sumur air asin yang airnya menggelembung. Perbedaannya berada di skala kekuatannya, antara lebih besar atau lebih kecil.
Sebelum Perang Jawa, Grobogan adalah wilayah kekuasaan Surakarta sehingga monopoli dari Pemerintah Hindia Belanda tidak berlaku di tempat itu. Industri yang dijalankan di wilayahnya bersifat bebas dan gratis di beberapa desa antara lain Luwu, Mendikil, Banjar Kidul, Banjar Lor, Jati, dan Crewek banyak mengabdikan diri untuk mengambil garam dari sumur. Namun, masing-masing desa harus menyerahkan 20 pikul garam per tahun kepada pangeran. Di sisi lain, industri ini banyak merugikan monopoli garam. Pasalnya garam Kuwu banyak diminati terutama di wilayah Semarang. Sementara itu pemerintah tidak punya kekuatan untuk mengontrolnya. Produksi bulanan mencapai 600 pikul dan dijual dengan harga 20-50 sen per pikul yang semakin menggeser posisi garam pemerintah. Walhasil muncul rencana penggabungan wilayah itu ke dalam tanah pemerintah Hindia Belanda.
Penggabungan Grobogan dalam wilayah Pemerintah Hindia Belanda tepatnya bagian wilayah Semarang terjadi pada Mei 1831. Tak lama setelah itu, residen Le Clere memberitahu penduduk desa yang berprofesi sebagai penggali garam bahwa akan dibangun gudang-gudang di sana di mana mereka wajib mengirimkan garam ke tempat itu. Namun penduduk tidak menyetujui hal tersebut. Penduduk setempat meyakini keberadaan sumber air asin itu berkaitan erat dengan sosok Joko Linglung. Ia adalah putra dari Prabu Aji Saka, raja dari Medang Kamulan yang dihormati yang terlahir dalam wujud seekor ular yang dapat berbicara. Sebagai pembuktian, ia diminta ayahnya untuk membunuh buaya putih, musuh dari Medang Kamulan di Samudera Selatan (Laut Kidul). Ular itu pulang melewati dasar bumi dan muncul beberapa kali di permukaan. Kemunculan pertamanya berada di Desa Jono, Kecamatan Tawangmangu yang kemudian menjadi daerah penghasil bleng. Kemunculan kedua berada di Crewek, dan kemunculan terakhir di Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan. Joko Linglung kemudian kembali ke dalam lubang di daerah itu yang kini diyakini menjadi tempat munculnya lumpur dan suara bledug. Mitos yang diyakini ini menyebabkan penduduk enggan membayar pajak kepada Pemerintah Kolonial. Pasalnya mereka percaya garam itu adalah warisan nenek moyang yang menjadi bagian kehidupan mereka dan semestinya dihormati keberadaannya.
Kegagalan kesepakatan pada pertemuan pertama membuat residen mengancam akan melarang produksi garam sama sekali pada pertemuan kedua. Namun hal itu kembali diabaikan oleh penduduk. Akhirnya dibuat kesepakatan pada pertemuan ketiga di mana penduduk diperbolehkan membuat garam namun harus membayar pajak atas nama sewa tanah yang diatur pada 1832 oleh residen Von Son; ⅕ dari produk diubah menjadi nilai uang dan dasar pungutan. Jumlahnya akan dihitung berdasar harga rata-rata pasar.
Pada 1838 muncul masalah dalam industri garam Kuwu. Pajak garam mencapai sebesar f1 per pikul, namun yang terkumpul hanya f4.000. Padahal produksi tahunan mencapai 9000 pikul. Akhirnya dibuatlah keputusan bertanggal 9 Mei 1838 yang mewajjibkan penduduk menjaga ketat ekspor garam Kuwu ke kawasan monopoli. Mereka juga harus membatasi industrinya semaksimal mungkin. Pajak dapat ditingkatkan dan beberapa pembuat garam dapat ditugaskan dalam bagian pemerintah; penduduk harus menentukannya dengan persetujuan kepala suku mengenai berapa jumlah garam yang dapat diproduksi setiap tahunnya.
Penduduk mengeluhkan beban pajak yang berat hingga 1849 ketika Demak dan Grobogan dilanda kelaparan dahsyat. Akibatnya gagasan mewujudkan industri garam kuwu yang merdeka tidak dilakukan lagi, 5 desa mungkin akan kehilangan mata pencaharian dan bermigrasi. Namun ketika terjadi kekurangan pasokan garam di Batavia pada 1859-1865, sumur-sumur garam Kuwu menjadi harapannya. Sayangnya produksinya tidak terlalu signifikan.
Industri garam di Grobogan tetap dilanjutkan di mana pemerintah menerima uang dari sewa tanah yang peraturannya tidak pernah diterbitkan. Sewa tanah hanya berlaku untuk lahan yang ditanami, tidak seperti sumur Kuwu. Dari laporan bertanggal 9 September 1872 dari asisten residen Grobogan, Mulock Houwer, didapati informasi bahwa dalam 12 tahun terakhir harga pasar terendah dijadikan dasar untuk pengambilan pajak. Pada 1853, pemerintah menerima f5.000 sementara tahun 1872 menerima f5.480. Namun hal itu menimbulkan ketidaknyamanan. Pasalnya pada laporan 1838 pajaknya hanya f5.000 padahal menghasilkan lebih dari 13.000 pikul yang artinya pajaknya hanya kurang dari 40 sen.
Monopoli garam di Grobogan diubah dengan mewajibkan penduduk untuk menyerahkan produk mereka ke gudang negara. Namun seiring berjalannya waktu mereka tidak melakukannya. Kebimbangan terjadi dari pihak pemerintah. Garam di sana kualitasnya buruk karena tidak dapat disimpan waktu lama. Produksinya juga relatif terbatas dan ekspor tidak sebesar yang diperkirakan. Hal tersebut akhirnya mendorong munculnya peraturan perpajakan khusus untuk garam Grobogan.
Kebijakan monopoli garam secara tegas di tanah Hindia Belanda mulai diterapkan setelah dikeluarkannya “Bepalingen tot Verzekering van het Zout-monopolie” pada 25 Februari 1882 yang terus diperbaiki dari tahun ke tahun. Pada dasarnya dekrit tersebut berisi aturan dasar mengenai produksi garam di Hindia Belanda yang hanya bisa dilakukan dengan izin atau oleh pemerintah itu sendiri. Dekrit ini juga memuat penerapan monopoli garam pada sejumlah wilayah; Jawa dan Madura, Residensi Pantai Barat Sumatera, Tapanuli, Bengkulu, Lampung, Palembang, Pantai Timur Sumatra, Bangka dan sekitarnya, Afdeling Borneo Barat, Afdeling Borneo Selatan dan Timur, dan Asistensi Residen Bilitung. Namun aturan tersebut tidak diberlakukan pada produksi garam di Kuwu, Grobogan. Aturannya masih mengikuti Staatsblad no. 258 6 Oktober 1876. Menurut aturan tersebut para produsen garam harus membayar pajak sebesar 50 sen per pikul.
Berbagai kondisi terus mendesak para petani garam alami di Kuwu. Pembuatannya yang masih primitif menjadikannya sangat bergantung pada berbagai kondisi alam. Lambat laun eksistensi dari garam Kuwu menghilang seiring dengan berkurangnya orang yang menjalani profesi ini. Bahkan pada 2012, hanya terdapat 6 orang yang menjalani profesi yang sudah ada sejak era kerajaan kuno ini.