Jurno Karyawisata ke Museum

Stigma Museum Kesejarahan yang Terasa Usang di Mata Generasi Muda

Bermula dari membaca artikel tentang pengembalian artefak Indonesia yang dahulu diambil Belanda—yang katanya sebagai wujud minta maaf atas penjajahan—membuat saya dan kawan-kawan Jurno tertarik menyelami lika-liku nasib beragam museum di Indonesia. Kami membaginya ke dalam dua jenis: museum kontemporer dan kesejarahan. Dimana museum kesejarahan dianggap sepi peminat, eksistensinya tenggelam digantikan ramainya museum kontemporer yang dianggap lebih gaul. 

Keliling Museum Sejarah Menjemukan, Iyakah?
Berbagai stigma negatif melekat erat pada museum. Dianggap sebagai tempat penyimpanan benda-benda usang, pengunjung malas mendengar ocehan dari pemandu museum hingga anggapan di museum itu banyak setannya. 

Pertanyaannya, betulkah? Untuk membuktikan/mematahkan hal tersebut, kami mengunjungi beberapa museum-museum sejarah di Jakarta. Petualangan dimulai di Museum Kesejarahan Jakarta. Perjalanan kami hari itu ditemani oleh Ki Bendy Tosanajie, pemandu museum senior di Museum Kesejarahan Jakarta itu. Ia banyak bercerita bagaimana museumnya selalu dianggap banyak setan. 

Rupanya, sebagian orang menganggap aura museum ini lumayan mencekam. Apalagi ada penjara bawah tanah yang punya sejarah tragis. 

“Orang, kan, suka ‘ih, ke museum, kan, serem. Hawanya gak enak, mau lihat apa juga di museum?’ kan itu jadi bikin minat orang menurun,” kata Ki Bendy.

Menurutnya juga, semula pengunjung museum kebanyakan adalah orang-orang tua, kutu buku atau anak-anak yang—terpaksa—field trip dari sekolah. Mana ada yang berpikir ke museum untuk tujuan wisata apalagi tempat kencan?

Seakan sekata dengan Ki Bendy, Ade Irmani selaku edukator Museum Bank Indonesia juga berpikir yang sama: museum selalu dianggap sebagai sesuatu yang kaku dan formal. “Ini tantangan, ya, gimana agar anak-anak muda ke museum itu bukan sekadar terpaksa karena program kampus atau sekolah. Tapi kami pengen mereka melihat museum juga bisa jadi tempat nongkrong,” ujarnya. 


Lihat! Museum Kesejarahan Tetap Berupaya Kok Untuk Eksis
Setelah ngobrol dengan Mas Ade dan Ki Bendy, bisa dikatakan mereka sependapat bahwa stigma museum sejarah sudah kelewat erat sebagai sarana pendidikan belaka. Maka tak heran reaksi masyarakat terhadap museum adalah sebuah kebosanan. 

Jadi, sah-sah saja untuk mengatakan pemuda-pemudi nyatanya lebih tertarik dengan museum kontemporer alias museum yang dianggap lebih “kekinian” dan cocok dengan jiwa muda mereka. Jatuhnya, museum kesejarahan dianggap sebagai tempat saklek untuk edukasi, bukan untuk refreshing. 

Namun para pengelola museum kesejarahan berupaya keras mematahkan stigma bahwa museum mereka terlampau jadul. Digitalisasi adalah sasaran mereka untuk beradaptasi dengan “maunya” anak muda. Ya, walaupun banyak rintangan yang mesti mereka hadapi.

Waktu saya berkeliling Museum Bank Indonesia, pengaktualan koleksi mereka sudah begitu canggih. Salah satu yang saya coba adalah ketika saya memasukkan kepala saya pada lubang lensa tiga dimensi, dan tampak visual jenis-jenis uang yang berputar begitu cepat. Lalu juga ada peta interaktif soal persebaran uang, sampai koleksi emas batangan berkilo-kilogram yang bikin mata seger.

Berkat contoh tadi, saya juga setuju dengan kata Mbak Bunga Difitri, Asisten Manajer Museum Bank Indonesia, “Museum itu nggak se-old itu kok, kita juga bikin edutainment,”  Tak pakai lama, saya langsung tanya, “apa itu edutainment?” yang ternyata adalah educative performance, salah satu contohnya ada edukasi kesejarahaan dalam bentuk mini drama atau live theatrical. Dan juga menampilkan foto-foto orang-orang zaman dulu itu seperti apa.

Mereka juga memiliki program pameran temporer yang ide kontennya mengikuti arus zaman sekarang. Misalnya, tahun lalu, Museum Bank Indonesia memamerkan sejarah tentang sejarah token.

Beralih ke Museum Nasional, mereka juga menjajal digitalisasi lewat ImersifA sebagai ‘produk’ jagoan mereka saat ini. ImersifA sendiri adalah instalasi permanen video mapping dengan objek sejarah Indonesia dalam konsep alam, masyarakat, sejarah, dan budaya. “Semenjak ImersifA dibuka sampai sekarang, rame banget. Anak-anak muda itu yang paling banyak ke sini.” tambah Aep Saepuloh, Kepala Humas Museum Nasional.

Sementara, Museum Kesejarahan Jakarta baru mau bertransformasi ke arah digital. Saat ini, mereka menarik generasi muda ke museum melalui acara-acara seperti live music atau berbagai perform lainnya. “Anak muda itu seneng liat perform gitu. Biarpun mereka datang ke museum bukan untuk liat museumnya dan belajar, tapi kebanyakan dari mereka akan update di media sosial. Itu secara nggak langsung jadi mempromosikan kita di kalangan mereka.” jelas Ki Bendy.

Selain itu, Museum Kesejarahan Jakarta juga menciptakan program Magang Praktek Kerja Lapangan dari SMK-SMK yang ada di Jakarta. Dari mulut ke mulut para anak magang itu, viralitas Museum Kesejarahan Jakarta di kalangan anak muda semakin besar. Mereka bahkan meraih rekor MURI sebagai penerima anak magang terbanyak di Indonesia pada 2022.

Sayangnya, Museum Kesejarahan Jakarta mengalami kendala pada proses penambahan koleksinya. Padahal, mereka punya segudang dokumen sejarah yang belum ditampilkan, loh. Permasalahannya, mereka tak punya orang yang bisa membaca dan menerjemahkan ribuan dokumen sejarah yang berbahasa Belanda lawas itu.

Sudah Mati-Matian Bertahan, Lalu Apa Hasilnya?

Seorang teman saya—yang berlatar belakang IPTEK—pernah menyeletuk dengan nada yang menyebalkan. “Sekarang, kan, udah era 4.0. Emang bidang-bidang sejarah dan sejenisnya bisa saingan sama ilmu yang basisnya teknologi?” Setelah menjajal liputan museum ini, saya merasa asumsi penghinaan itu berhasil ditangkis oleh museum-museum kesejarahan. Mari kita lihat bukti konkret yang saya dapat. 

Pengelola Museum Nasional berbaik hati menginfokan total pengunjung mereka beberapa tahun terakhir. Jumlahnya fantastik; pengunjung mereka membludak keras pasca pandemi. Di tahun 2020, total pengunjung hanya 3.715, tahun berikutnya meningkat menjadi 32.017. Kini, baru pertengahan 2023 saja mereka sudah kebanjiran 259.558 pengunjung. 

Apalagi sejak ada ImersifA,  pada awal peluncurannya di 2022, total pengunjung ImersifA mencapai 8.757. Produk yang awalnya digratiskan hanya untuk tes ombak, mulai dipasangi tarif Rp. 35.000. 

Tak ada keluh kesah masyarakat untuk membayar itu, justru semakin hari semakin ramai dikunjungi. “Website kita sampai sempet down karena war tiket. Pengunjung bahkan nggak keberatan bayar tiket di luar harga yang reguler buat nikmatin ImersifA,” imbuh Mas Fahmi Afrizal, staf Humas Museum Nasional. 

Mas Fahmi dan Pak Aep pun sepakat bahwa produk ImersifA mereka juga jadi benchmark untuk instansi lain mulai mengawinsilangkan diri mereka dengan teknologi. Kini, memasuki awal Agustus 2023 total pengunjung ImersifA meningkat hingga 50.081.

Beralih ke Museum Kesejarahan Jakarta. Pada 2021, Museum Kesejarahan Jakarta menjuarai peringkat pertama sebagai museum yang paling banyak dikunjungi dengan 51.952 kunjungan. Wow, padahal sedang pandemi loh. Begitu pula Museum Bank Indonesia. Sekarang setelah pandemi mulai surut, saat weekend, mereka bisa mendapat kunjungan hingga 1.000 orang per hari.

Melihat ketiga museum yang saya kunjungi itu masih ramai, berdiri kokoh, terurus, dan rapi, membuat  terpukau. Tak hanya itu, ini bukti yang lebih dari cukup untuk menggeser stigma bahwa bidang kesejarahan dan sejenisnya—terutama museum sebagai bagian itu—akan kalah dimakan zaman.

Yah, saya sempat ngobrol dengan Dian Sulistyowati, Dosen Arkeologi UI soal permuseuman ini. Menurutnya, gegap gempitanya Indonesia saat ini dengan teknologi, membuat masyarakat Indonesia cenderung menganggap museum yang berbasis teknologi jadi lebih layak dikunjungi. Adaptasi dengan zaman tentunya adalah langkah cemerlang, tapi poinnya tak melulu pada teknologi. Melainkan juga pada bagaimana pengelola museum membangun interaksi, konektivitas, dan menghadirkan kekreatifan untuk menghidupkan museum.

Ada banyak faktor yang membuat generasi muda mulai suka ke museum. “Saya pernah riset soal pengunjung Museum Bank Indonesia. Saya tanya ‘kenapa kok ke sini, nggak ke museum bank lainnya aja?’ mereka jawab dengan simpel, ‘gedungnya adem, enak’ bisa sesimpel itu alasannya,” ujar Mbak Dian Sulistyowati.

Sekian artikel museum ini. Oh, ya, akan ada artikel lanjutan dari kami soal permuseuman ini. Sampai jumpa pada topik berikutnya.