Sejarah Awal Rohingya: Asal Usul, Kedatangan Islam, dan Kerajaan Mrauk U

Penulis: Achmad Susanto
Editor: Hamim Septian
Sejarah Awal Rohingya: Asal Usul, Kedatangan Islam, dan Kerajaan Mrauk U

Highlight

  • Mengapa Penting:

Sejarah panjang Rohingya di Arakan penting untuk menghormati dan menghargai warisan budaya dan sejarah kelompok etnis ini.

  • Gambaran Besar:

Rohingya, sebagai kelompok etnis minoritas di Myanmar, memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan wilayah historis Arakan, sebuah negeri pesisir di Asia Tenggara. 

  • Sorotan:

Asal usul Rohingya, kedatangan Islam di Arakan, dan peran Kerajaan Mrauk U dalam membentuk identitas dan kehidupan masyarakat Rohingya.

  • Perspektif Luas:

Bagaimana Arakan telah menjadi pusat perdagangan maritim dan pertukaran budaya sejak zaman kuno.

  • Perspektif Mendalam:

Kehadiran Islam di Arakan dan pengaruhnya dalam pembentukan budaya dan identitas Rohingya.

  • Kilas Balik:

Perjalanan sejarah Rohingya dari kedatangan Islam di Arakan hingga pembentukan Kerajaan Mrauk U sebagai pusat budaya dan politik di wilayah tersebut. Ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang akar sejarah dan budaya dari konflik dan isu-isu yang melibatkan Rohingya saat ini.



 

Sejarah Awal Rohingya: Asal Usul, Kedatangan Islam, dan Kerajaan Mrauk U

Rohingya, sebuah kelompok etnis minoritas di Myanmar, memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan wilayah historis Arakan, sebuah negeri pesisir di Asia Tenggara. Bagaimana asal usul mereka, kedatangan Islam di wilayah tersebut, serta sejarah Kerajaan Mrauk U yang berperan penting dalam perkembangan komunitas Rohingya.

Asal Usul Rohingya

Arakan, yang kini dikenal sebagai Rakhine State, adalah salah satu kerajaan yang awalnya diindikasikan menjadi salah satu kerajaan yang dipengaruhi India di Asia Tenggara. Meskipun sejarah tradisional Myanmar mengklaim bahwa orang-orang Rakhine telah menghuni Arakan sejak 3000 SM, bukti arkeologi tidak mendukung klaim tersebut. Fakta sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan pertama di Arakan didirikan oleh dinasti Chandra yang berasal dari India. Dinasti-dinasti awal ini berlangsung hingga sekitar abad ke-10 Masehi.

Kedatangan Islam

Wilayah Arakan memiliki posisi strategis sebagai pusat perdagangan maritim dan pertukaran budaya antara Burma dan dunia luar, sejak zaman Kekaisaran Maurya India. Para pedagang Arab sudah melakukan kontak dengan Arakan sejak abad ke-3 Masehi, menggunakan Teluk Bengal sebagai jalur perdagangan utama mereka. Para pedagang Arab ini juga berperan sebagai misionaris, yang mengonversi sebagian populasi Buddha lokal menjadi Islam sekitar tahun 788 Masehi. Dengan pernikahan campuran dan konversi agama, populasi Muslim di Arakan berkembang pesat.

Kerajaan Mrauk U

Kerajaan Mrauk U, yang terletak di kaki Pegunungan Arakan, menjadi pusat budaya dan politik yang penting bagi wilayah tersebut. Salah satu kontributor terkenal dari kerajaan ini adalah penyair Alaol. Seiring berjalannya waktu, pengaruh Islam semakin kuat di Arakan. Raja-raja Buddha Arakan menyamakan diri mereka dengan Sultan dan meniru gaya pemerintahan Mughal. Mereka juga terus menggunakan gelar-gelar Muslim dan mengadopsi gaya Islam dari wilayah tetangga, Bengal Sultanate. 

Sejarah Pengusiran Bamar dari Arakan dan Kemunculan Suku Rohingya

 

Pengusiran Bamar dari Arakan

Pada tahun 1785, Arakan diserbu oleh suku Bamar, kelompok etnis dominan di Burma. Pendudukan Bamar di Arakan sangatlah menindas. Ribuan pria Rakhine dieksekusi dan banyak yang dideportasi ke Burma pusat. Pada tahun 1799, sebanyak 35.000 orang melarikan diri ke Bengal Britania untuk menghindari penganiayaan oleh Bamar.

Kemunculan Istilah "Rohingya"

Saat itu, salah satu contoh tertulis awal dari istilah "Rohingya" muncul dalam literatur Inggris. Artikel oleh Dr. Francis Buchanan-Hamilton, seorang dokter dan ahli geografi Inggris, yang diterbitkan pada tahun 1799 menyatakan, "Muslim, yang telah lama menetap di Arakan, menyebut diri mereka 'Rooinga', atau penduduk asli Arakan... yang lainnya adalah Rakhing ... yang mengikuti ajaran Buddha." 

Dengan menyebutkan hal ini, tidak hanya menegaskan bahwa ada minoritas Muslim asli di Arakan dengan nama Rohingya, tetapi juga membedakan mereka dari mayoritas populasi Buddha Rakhine.

Periode Kepemimpinan Inggris di Burma dan Pengaruhnya Terhadap Identitas Rohingya

 

Kepemimpinan Inggris di Burma

Pada tahun 1823, Burma jatuh di bawah pemerintahan Inggris setelah sejumlah perang. Saat itu, Inggris mendorong imigrasi Benggala dan India asli serta menetap di seluruh Burma untuk bekerja di sawah padi dan perkebunan teh. Namun, kelompok ini berbeda dengan Rohingya yang selalu mempertahankan bahasa dan identitas mereka sendiri.

Sentimen Nasionalisme Buddhis di Burma

Di bawah kekuasaan Inggris, mayoritas Buddha Burma merasa tidak didukung dan terancam. Tradisionalnya, pemerintahan oleh raja-raja Burma telah disahkan oleh penghormatan dan perlindungan mereka terhadap hierarki agama Buddha. Namun, situasi memburuk ketika Inggris lebih memilih Muslim untuk posisi administratif karena sentimen anti-kolonialisme Buddhis.

Hal ini menjadi bahan bakar bagi nasionalisme yang mendorong gerakan kemerdekaan Burma di kemudian hari. Identitas awal Burma sebagai penganut Buddha, dan Burma sebagai tanah yang murni bagi mereka, menjadi dasar bagi gerakan nasionalisme tersebut.

Pengaruh Invasi Jepang di Burma Terhadap Konflik Interkomunal antara Rakhine dan Rohingya

 

Invasi Jepang di Burma

Pada masa Perang Dunia II, Jepang menyerbu Burma dan Inggris mundur ke India. Para nasionalis Burma menyambut baik kedatangan Jepang karena mengartikan penghapusan Kekaisaran Inggris. Namun, Rohingnya mendukung Inggris karena dukungan yang mereka terima selama periode kolonial. Akibatnya, terjadi kekerasan antar-komunal yang signifikan antara Rakhine Buddha dan Rohingya Muslim.

Represi terhadap Rohingya oleh Jepang

Selain itu, Jepang menindas Rohingya karena sikap pro-Inggris mereka. Untuk memperburuk situasi, Inggris juga memberikan senjata kepada Rohingya Muslim untuk menciptakan buffer melawan Jepang, yang turut berkontribusi pada eskalasi kekerasan.

Pengaruh Kemerdekaan Burma Terhadap Konflik Rohingya

 

Kemerdekaan Burma dari Inggris

Setelah Jepang mundur pada tahun 1945, Burma meraih kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1948. Pemerintah Burma menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara yang sah. Sebagai akibatnya, terjadi gerakan dari Rohingya Muslim untuk bergabung dengan negara baru yang terbentuk, yaitu Pakistan.

Operasi Militer Terhadap Rohingya

Pada masa itu, pemerintahan Burma di bawah kendali Jenderal Ne Win, melancarkan beberapa operasi militer terhadap Rohingya. Pada tahun 1971, selama perang pembebasan Bangladesh, beberapa Bengali terpaksa mencari perlindungan di Arakan tetangga. Hal ini memicu protes massal dari penduduk Buddha lokal, yang khawatir akan menjadi kalah jumlah di Arakan, dan pemerintah Burma memaksa pengusiran lebih dari 200.000 Muslim dari wilayah tersebut kembali ke Bangladesh, termasuk etnis Rohingya asli.

Implikasi Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 Terhadap Rohingya

 

Undang-Undang Kewarganegaraan 1982

Pada tahun 1982, pemerintah Burma mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan 1982. Dokumen tersebut mengidentifikasi 135 kelompok etnis yang pemerintah klaim telah menetap di Burma sebelum tahun 1823, dan tidak termasuk Rohingya sebagai salah satunya. Tahun 1823 merupakan tahun pecahnya Perang Anglo-Burman pertama, setelah itu Inggris mengambil alih kendali Burma. Sebagaimana Inggris mendorong imigrasi ke Burma, pemerintah saat ini menegaskan bahwa para imigran yang datang di bawah pendudukan Inggris bukanlah penduduk asli Burma, dan oleh karena itu berada di sana secara ilegal. Seperti yang disebutkan, terdapat bukti substansial, termasuk catatan sensus Inggris yang diambil setelah pendudukan, yang menunjukkan bahwa Rohingya telah tinggal di wilayah tersebut selama beberapa generasi sebelum penaklukan Inggris.

Penolakan Kewarganegaraan

Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 telah menjadi dasar untuk menolak pengakuan kewarganegaraan bagi Rohingya oleh pemerintah Burma. Hal ini telah mengakibatkan kehidupan yang sulit bagi Rohingya, dengan banyak dari mereka tidak memiliki akses ke layanan dasar, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

Perdebatan Mengenai Status Rohingya

Sementara pemerintah Burma mempertahankan pandangan bahwa Rohingya bukanlah warga negara yang sah, banyak organisasi hak asasi manusia dan negara-negara lain mengkritik kebijakan ini sebagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Perdebatan mengenai status Rohingya terus berlanjut hingga saat ini, dengan komunitas internasional terus memperjuangkan hak-hak mereka.

Dampak Terhadap Kondisi Hidup Rohingya

Ketidakmenerimaan kewarganegaraan Rohingya telah menyebabkan mereka hidup dalam kondisi yang rentan dan tidak stabil. Mereka sering menjadi korban diskriminasi, penindasan, dan kekerasan oleh pemerintah dan kelompok-kelompok ekstremis. Bantuan kemanusiaan dan dukungan internasional sangat diperlukan untuk meningkatkan kondisi hidup mereka dan memperjuangkan hak-hak yang adil dan setara.

Pemerintahan Militer Myanmar dan Diskriminasi Terhadap Minoritas

 

Pengenalan

Pemerintahan militer yang berkuasa di Myanmar selama tahun 1980-an hingga 2000-an mencampur nasionalisme Burma dengan Buddhisme Theravada dan menggunakan hal itu sebagai cara untuk memperkuat legitimasinya. Mereka juga melakukan diskriminasi berat terhadap populasi minoritas di Myanmar, seperti Rohingya, Kokang, dan orang Panthay. Seperti gerakan nasionalis awal di bawah pendudukan Inggris, pemerintah militer mengembangkan keyakinan bahwa Burma adalah tanah murni bagi umat Buddha Burma, dan menggunakan retorika diskriminatif "kita" dan "mereka" untuk menyatukan populasi di bawah pemerintahan militer.

Kerusuhan 2012

Pada tahun 2012, kerusuhan pecah antara Muslim Rohingya dan Rakhine Buddha. Pemerintah Myanmar mendorong kerusuhan ini, karena terdapat bukti bahwa pria Rakhine diangkut dengan bus dari Sittwe dan diberi pisau serta makanan gratis untuk berpartisipasi dalam kerusuhan tersebut. Menurut otoritas Myanmar, kerusuhan tersebut menyebabkan 78 orang tewas dan 140.000 orang mengungsi akibat pembakaran desa-desa. Akibat kerusuhan 2012, pemerintah Myanmar memberlakukan jam malam dan mendeploy militer di Arakan. Hal ini menyebabkan peningkatan penangkapan dan kekerasan yang ditargetkan terhadap orang Rohingya.

 

Sejarah awal Rohingya adalah cerminan dari keberagaman budaya dan sejarah yang kaya di wilayah Arakan. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang asal usul mereka, kita dapat menghargai perjalanan panjang dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas Rohingya.