Pontianak belakangan ini tengah diselimuti kabut tebal. Di saat media sosial dan portal berita nasional sibuk memberitakan polusi Jakarta yang semakin parah, Pontianak menduduki peringkat 1 sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di Indonesia. Data IQAir menunjukkan polusi udara Pontianak berada di kategori sangat tidak sehat akibat kabut asap. Masalah kabut asap di Pontianak seakan menjadi event tahunan yang kembali menghiasi langit dan menutupi kota dengan sentuhan kusam. Siapa yang butuh matahari cerah, udara segar, atau langit biru ketika Anda bisa menikmati suasana monokromatik yang diberikan oleh lapisan tipis partikel beracun yang melingkupi seluruh kota? Tercatat dalam 10 terakhir, kecuali tahun 2020, kabut asap secara konsisten menyelimuti kota Pontianak, khususnya pada bulan Maret di tahun 2022 dan 2021, bulan Agustus di tahun 2019, 2018, 2017, 2016, 2015, selain itu pada bulan September di tahun 2014, serta bulan Oktober di tahun 2013.
Mungkin sudah jadi teman akrab, tapi bukan berarti kabut asap ini boleh seenaknya nongkrong, kan? Namun, kenyataannya, Pontianak terus-menerus terjebak dalam belenggu asap dan abu yang berasal dari lahan yang 'terbakar’ di kawasan hutan maupun perkebunan, atau seharusnya sebut saja dengan ungkapan yang lebih akurat: lahan yang sengaja dibakar oleh tangan-tangan yang tampaknya tak terjangkau oleh hukum, etika, atau rasa kemanusiaan. Ironinya, masalah kabut asap di kota ini sudah menemani sejak saya kecil, hingga sekarang menjadi bagian dari masa kecil anak-anak teman saya.
Bukan hanya sekadar masalah pandangan mata, efek yang lebih meresahkan adalah dampak kabut asap terhadap kesehatan. Kejahatan terhadap lingkungan ini tidak hanya mengakibatkan penyakit pernapasan kronis, berbagai riset menunjukkan bagaimana terpapar kabut asap juga dapat menimbulkan masalah kesehatan lain seperti stunting pada anak-anak, memburuknya fungsi fisik terutama pada wanita berusia 35-55 tahun dan orang-orang usia lanjut, bahkan gangguan neurologis seperti penyakit alzheimer dan demensia.
Tahun demi tahun seiringan dengan datangnya musim kering, kabut asap pun bangkit dari persembunyiannya. Saat musim kemarau tiba, lahan-lahan kosong yang ada di sekitar kota secara ajaib menjadi tanah subur untuk perkebunan api. Di tengah upaya global untuk mengurangi emisi gas, kabut asap di Pontianak mungkin bisa dijadikan sebagai contoh edukasi: "Ini, anak-anak, adalah konsekuensi nyata dari sikap alergi terhadap tindakan preventif dan cinta terhadap kebakaran liar."
Kabut asap di Pontianak bukan sekadar bencana alam biasa, melainkan cerminan dari kebijakan lingkungan yang lemah. Setiap kali kabut asap muncul dan memenuhi udara Pontianak dan sekitarnya, apa yang pemerintah lakukan? Mengeluarkan surat edaran bagi anak sekolah untuk belajar di rumah sebagai solusi kilat! Sebenarnya, kita semua tahu apa yang perlu dilakukan. Penegakan hukum yang tegas, penindakan terhadap para pelaku pembakaran hutan, pengawasan ketat terhadap lahan-lahan yang rawan terbakar, dan investasi serius dalam teknologi pengendalian kebakaran adalah langkah-langkah yang seharusnya telah diambil jauh-jauh hari. Tapi mengapa melakukan tindakan preventif yang rumit, ketika bisa dengan mudah mengambil tindakan reaktif yang sederhana dan tampak seperti cepat tanggap?
Terkait pemindahan ibu kota sebagai respons terhadap kerusakan lingkungan di Jakarta, hal ini seakan-akan mengabaikan kenyataan bahwa kondisi lingkungan di Kalimantan juga rentan terhadap degradasi dan kerusakan yang serupa. Jika dilihat dari masalah kabut asap ini, apakah Kalimantan, sebagai tujuan alternatif, benar-benar dapat dianggap sebagai tempat yang lebih baik dalam hal lingkungan?
Selanjutnya, kabut asap di Pontianak adalah lebih dari sekadar masalah lokal, sebab kabut asap tak mengenal batas politik atau perbatasan geografis. Seperti yang sudah-sudah, begitu angin membawanya melintasi batas, kabut tersebut dengan tanpa ampun menyebarkan partikel beracun ke wilayah tetangga. Meskipun pemerintah menggunakan helikopter dalam upaya memadamkan api serta menyemai awan untuk menghasilkan hujan, terus berulangnya masalah ini menimbulkan kesan bahwa Indonesia tidak mampu mengatasi masalah lingkungan yang signifikan ini, bahkan cenderung bersikap pasif. Sementara Indonesia ingin dilihat sebagai pemimpin regional dan global yang bertanggung jawab dan berkomitmen dalam menjaga lingkungan, siklus tahunan kabut asap mengirim pesan yang berkebalikan.
Di tengah-tengah kelamnya situasi ini, apa lagi yang bisa diharapkan selain keajaiaban turunnya hujan? Namun sambil menunggu datangnya hujan yang setidaknya dapat mengurangi tebalnya asap di kota ini, muncul pertanyaan: Mau sampai kapan? Mengapa setiap tahunnya hanya mengandalkan keberuntungan akan turun hujan? Mengapa setelah bertahun-tahun dihadapkan dengan masalah yang sama, masih belum ada upaya untuk menciptakan solusi jangka panjang yang dapat mengurangi masalah kabut asap secara efektif dan signifikan? Mungkin, ini semua hanya bagian dari strategi kebijakan yang lebih besar, yang mengajarkan kita untuk bersabar dan menghargai keindahan dalam kehancuran. Kita diajari untuk melihat sisi cerah dari setiap bencana, untuk menemukan seni dalam bau tajam dan pemandangan yang terhalang. Dalam hal ini, Pontianak mungkin menjadi guru yang bijak, mengajarkan kita bahwa hidup bukanlah tentang mengatasi masalah, tetapi tentang mengasah kemampuan kita untuk bertahan di tengah bencana.