Kasihan Juga Kahlil Gibran Dipuji karena Dianggap ‘Orang Timur’
Saya selalu senyum-senyum sendiri tiap kali mengenang perkenalan saya dengan Kahlil Gibran.
Sewaktu kecil, saya acap merengek dibelikan buku saat mengunjungi toko buku dalam mal.
Ibu tak meluluskan semua permintaan saya. Beliau menjadi kurator yang menyeleksi buku mana yang boleh dibaca. Yang boleh tentu saja novel-novel yang ditulis oleh pengarang islami seperti Buya Hamka tentu saja. Saat melihat cover buku Kahlil Gibran, saya tertarik.
Ibu mengangguk. Mungkin di kepala ibu, sesuai namanya Kahlil Gibran adalah penulis Timur Tengah yang menulis dengan gaya islami atau ulama mentereng dari Arab. Buku itu saya bawa pulang. Perlahan saat membacanya, saya langsung jatuh cinta. Di umur yang baru menginjak 10 tahun, saya terpesona pada kemampuan Kahlil Gibran bermain kata-kata. Mata saya terbelakak saat menemukan puisi Anakmu Bukan Milikmu.
Anak adalah kehidupan,
Mereka hanyalah lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Meskipun bersamamu tetapi bukan milikmu,
Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan Pikiranmu
karena mereka Dikaruniai pikirannya sendiri
Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak berjiwa,
Karena jiwa memiliki masa mendatang
Yang tak bisa kau datangi
Bahkan dalam mimpi sekalipun
Bisa saja mereka mirip dirimu, tapi jangan pernah
menuntut mereka jadi sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
Tidak tenggelam di masa lampau.
Ya Tuhan, keren sekali. Di umur segitu, lantaran Gibran brengsek itulah saya jadi mulai meragukan banyak hal. Saya mulai mempertanyakan, kenapa Ibu selalu memaksa saya mengaji atau melarang saya main bola. Atau kenapa sih Bapak ngotot saya jadi juara kelas.
Please deh, jangan suka ngatur-ngatur anak.
Umur bertambah dan saya makin jauh dari Gibran. Gibran rasanya tak relevan. Saya malah mengidolai seniman dari Inggris dan Amerika. Di kemudian hari saya menemui fakta, seniman Barat yang saya idolai malah ingin jadi orang Timur. John Lennon bahkan mengaku dan meminjam puisi Gibran di lagu Julia. Tak hanya Lennon, di mata orang barat Gibran diyakini sebagai guru spiritual atau orang bijak Timur.
Gibran lantas ditahbiskan banyak orang sebagai orang Arab-Amerika pertama yang menerbitkan buku dalam bahasa Arab dan Inggris. Popularitas fenomenal Gibran sebagian besar didasari oleh segerobak kalimat romantis.
Tentu, pendapat menyebut Gibran sebagai penulis Arab pertama yang menulis menggunakan bahasa Inggris ini salah kaprah. Jauh sebelum Gibran menerbitkan buku berbahasa Inggris pertamanya, The Madman (1918), Ameen Rihani (1876–1940) sudah menjadi penulis terkenal di dunia Arab dan menelurkan banyak buku seperti Myrtle and Myrrh (1905), Wajdah (1909), dan novel Arab-Amerika pertamanya Kitab Khalid (1911).
Sayangnya, Rihani tak sebeken Gibran dan hanya dibicarakan dalam kalangan akademis belaka. Puncaknya kehadiran buku puisi Gibran The Prophet makin mengokohkan posisinya sebagai penulis Arab paling meroket. Pun, baris demi baris dari buku tersebut telah menginspirasi lirik lagu, pidato politik, dan telah dibacakan di pesta pernikahan dan pemakaman di seluruh dunia.
Sejak diterbitkan pada 1923 hingga sekarang, buku ini tak pernah putus dicetak. Buku klasik abadi ini telah diterjemahkan ke lebih dari 50 bahasa dan menjadi salah satu buku terlaris internasional dan diperkirakan sudah terjual puluhan juta eksemplar. Meskipun dicintai sedemikian rupa oleh publik Amerika, kehadiran Gibran justru diabaikan oleh kalangan sastrawan di Barat.
Gibran tak pernah dianggap serius sebagai penulis, lebih-lebih di mata kritikus dan akademi sastra. Puisi-puisi Gibran dianggap sebagai “makanan cepat saji” atau “jalan keluar bagi mereka yang sakit” semata.
“Ini menyajikan berbagai kesempatan atau momen besar dalam hidup seseorang sehingga cenderung menjadi buku yang sering dihadiahkan kepada kekasih, atau untuk kelahiran, atau kematian. Itulah sebabnya buku ini menyebar begitu luas, dan dari mulut ke mulut,” ujar Dr Mohamed Salah Omri, dosen sastra Arab Modern di Universitas Oxford.
Di dalam kubur, Kahlil Gibran mungkin bangga bukan main lantaran puisinya bak oase di tengah padang pasir. Ia dicintai anak muda Amerika karena kebijaksanaan dan ajaran hidupnya yang dianggap representasi Timur.
Mendambakan yang Ideal, Fantasi atas liyan
Abad ke-20 melahirkan New Age Movement atau Gerakan Zaman Baru dalam bahasa Indonesia. Gerakan ini tak memiliki definisi tunggal. Namun jika mau dicari gampangnya, New Age adalah upaya mengadopsi apa yang dianggap spiritualitas Timur.
Definisi Timur ini di kepala orang Eropa atau Amerika ini meliputi negara-negara di Asia Timur, Asia Tenggara, atau Asia Selatan. Dalam lanskap kebudayaan, ia ditandai oleh agama-agama yang dipeluk seperti Islam, Buddha atau Hindu dan penggunaan aksara kanji atau sanskrit. Orang Timur ini biasanya diidentifikasi sebagai orang yang spirituil, bijak atau kumpulan manusia yang lekat dengan alam. Sedangkan budaya Barat dianggap sebaliknya. Barat dipandang sebagai simbol dari ilmu pengetahuan, perkembangan zaman, dan gudang intelektual.
Seiring berjalannya waktu, anak-anak muda Amerika ini lantas membentuk kepercayaan dan praktik berdasarkan pengalamannya sendiri. Penganut ajaran ini menamakan dirinya dengan New Agers dengan mencoba kembali kepada agama-agama dan tradisi kuno. Terutama yang berasal dari Dunia Timur.
Yang paling populer dari gerakan ini adalah budaya hippie. Kalau kamu belum puas dengan satu contoh kasus itu, baiklah saya berikan contoh lain yang lebih nyata. kamu ingat Festival Woodstock, bukan? Festival ini merupakan simbol budaya tandingan pada akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an sekaligus zaman hippie. Mereka, sekawanan hippie ini marah dengan keadaan sosial politik Amerika saat itu. Banyak rekan dari generasi mereka–yang lahir pada 1940-an–harus terjun di medan Perang Vietnam. Yang selamat lantas melarikan diri dan memilih hidup komunal berdampingan dengan alam. Selain itu, mereka melakukan eksperimen artistik khususnya dalam musik, seks, dan mengonsumsi narkoba secara gila-gilaan.
Tak hanya masif di Amerika, pada 1960-an, fantasi menjadi Timur ini juga digilai anak-anak muda Eropa. Salah satu yang paling tersohor adalah kisah gitaris The Beatles, George Harrison, jatuh cinta betul pada musik dan budaya India. Dalam berbagai kesempatan, ia memuji India sampai berbusa-busa.
Ketertarikan itu ia tularkan kepada rekan-rekannya The Beatles. Suatu waktu, ia mengajak personel The Beatles lain berjumpa tokoh spiritual India Maharishi Mahesh Yogi pada 24 Agustus 1967 di Hotel Hilton London. Dalam pertemuan itu, keempat anak muda ini membicarakan tentang meditasi transendental. Mereka lantas terhipnotis dalam pertemuan itu.
Setahun berselang, pada Februari 1968 mereka berangkat ke India untuk menghabiskan waktu bersama Maharishi Mahesh Yogi. John Lennon, Paul McCartney, maupun George Harrison mendapatkan beberapa inspirasi selama di India yang ia terapkan pada lagu-lagu dalam album White Album dan Abbey Road. Alih-alih kerasan di India, Lennon, McCartney dan Ringgo malah tak betah. Mereka lalu pulang duluan meninggalkan Harrison yang masih kecantol sama budaya India.
Pada 1970-an, Amerika mulai keranjingan yoga karena kehadiran majalah Yoga. Majalah itu gencar mengkampanyekan disiplin spiritual yang didasarkan pada sejenis ilmu kebatinan yang berfokus membawa keharmonisan antara pikiran dan tubuh. Pada 2016 menurut riset Ipsos, 36,7 juta orang Amerika berlatih yoga hingga menjadikannya bisnis berikut segala merchandise-nya.
Yoga dengan sendirinya menjadi “kepercayaan” tanpa celah. Pada 2014 misalnya, jurnalis William J. Broad pernah dimaki habis-habisan lantaran menulis artikel berjudul How Yoga Can Wreck Your Body di New York Times. Dalam artikel tersebut ia menulis banyak orang yang cedera lantaran berlatih yoga. Selain itu dia juga menemukan fakta bahwa banyak perempuan jadi korban lantaran kekasihnya berselingkuh di tempat latihan. Pernyataan itu lantas menuai serangan dari pegiat yoga.
Yoga, hippie atau The Beatles ke India adalah sedikit contoh yang membuat kita geleng-geleng melihat anak-anak muda di Amerika dan Eropa: kenapa sih ngebet menjadi Timur?
Padahal upaya ini juga sebaliknya: orang Asia bermimpi jadi Amerika. Di Indonesia, hal tersebut juga berlaku. Pada 1970-an, mimpi menjadi Amerika tumbuh subur di kepala anak-anak muda setelah Orde Baru berkuasa. Liberalisme ekonomi tengah mekar-mekarnya lantaran Soeharto mempersilakan investasi asing. Mereka yang muda marah akan keadaan. Rambut mereka dibiarkan panjang sebagai simbol perlawanan. Gaya hidup ala Amerika dihayati betul dalam keseharian. Hippie Amerika jadi pedoman hidup.
Hingga taraf tertentu, semua upaya itu adalah upaya mencari sesuatu yang ideal; menjadi sesuatu yang bukan bagian dari generasi orangtua, mengidealisasikan apa yang dianggap wah di luar sana, lalu mencomotnya. Hari ini dikotomi Timur dan Barat tak lagi relevan dan mulai ditinggalkan. Bagaimana mungkin di hari ini Anda membayangkan Cina sebagai negeri yang diisi oleh masyarakat tradisional dengan berbusa-busa kalimat bijaksana? Sedangkan Cina hari ini adalah negara besar yang menguasai ekonomi dunia berkat kemampuan mereka memanfaatkan teknologi. Bagaimana mungkin hari ini India dipandang sebagai masyarakat yang spiritual sejak zaman purba, sementara Perdana Menteri Modi berkuasa dengan brutal sembari jualan apapun yang terlihat spiritual untuk menutupi fasisme di bawah rezimnya?
Dan sekali lagi, Kahlil Gibran, di dalam kubur sebaiknya kamu tak perlu bangga kalau dipuji sebagai penyair Timur.