Kakek Tahi

KAKEK TAHI
TL;DR
Sebuah dunia pasca-apokaliptik di mana manusia menghadapi kehancuran akibat perang nuklir dan radiasi. Kakek seorang legenda di keluarga ini, menceritakan kisah-kisah masa lalu yang menakutkan tentang kegilaan dan keputusasaan manusia. Dia mengungkapkan bahwa dalam keadaan yang putus asa, manusia terpaksa makan tinja mereka sendiri sebagai sumber nutrisi terakhir.
Siang pada masamu, matahari kian hari macam serabi abu menggantung di langit. Ia dapat jatuh sembarang kalir menimpa bumi. Namun pada masaku, matahari kokoh tak geming selenggang pun. Kamu bakal dibikin bangga meski cuma sekerdip menengadah lurus ke arahnya.
Aku dan ibu sonder tahu gara-gara apa kami hidup bisa macam sekarang? Menurut penjelasan kakek, dunia jauh lebih indah dan belum tentu lebih baik atau lebih buruk dari masa lalu. Segalanya bergantung bagaimana cara memahaminya.
Sekarang ini: kereta kilat, drone, mobil berbahan bakar air; semuanya hanya diam. Catnya mengelupas, lapisnya berkarat, dan keropos dirambat gulma. Sudah puluhan tahun rongsokan-rongsokan ini tak ada yang mengerti fungsinya. Pernah aku berandai-andai, “Bagaimana cara benda-benda ini dulu dipakai?” atau “Bagaimana perasaanku jadinya, ketika benda-benda ini bisa kugunakan?”
Duniaku terlampau sunyi dari duniamu. Ingin rasanya mengetahui apa yang terjadi di masa lalu. Namun, tidak ada yang sempat menulis sejarah. Lagian orang lupa bagaimana awal-mulanya.
Hewan berkelamin jantan dan betina sudah jadi dongeng kiwari. Aku pernah dengar, anjing dan kucing sempat dianggap kerabat manusia dari cerita kakek. Sayangnya, puluhan tahun lalu mereka punah sebab tak mampu berkembang-biak. Sebetulnya apapun sudah punah. Yang tersisa dan bertahan hanya makhluk membelah diri, hermafrodit, pepohon tua, dan sialnya gulma tak berguna. Makanan hanya itu-itu saja jadinya. Sejauh ini yang paling kusuka semuanya hermafrodit, seperti: belut, bekicot, katak, kadal air, dan kadal londok yang cenderung mudah ditemui.
Kami hidup di pinggiran sungai yang keliwat jernih, hingga kami mampu melihat bebatuan dan pasir mendesir dikibas alirannya. Konon di satu masa, sungai kesayangan kami adalah sungai terbusuk di dunia. Kami percaya itu, karena kami sering menemukan plastik yang tertimbun di tanah kisarannya.
Menurut kakek lagi, kami hidup seperti awal dunia terbentuk. Sepi. Ketambahan makin hari jumlah manusia makin menyusut dan berpencar dalam kelompok-kelompok kecil demi berbagi wilayah pangan yang langka.
Tanpa sakwasangka dan yakin, manusia jika dihitung akan lebih sedikit dari jumlah bulu hidungku.
*
Usia kakek tak diketahui olehnya sendiri, terlebih oleh kami. Ringkih tubuhnya berlekuk tulang dan liukan urat-uratnya mirip serabut kelapa. Ia sekadar lelaki tua lunglai terbaring di tempat tidur.
Kami -aku dan ibu- duduk menyamping di dekat bahu kakek. Tempat tidurnya lepek, sudah bau keringat kering yang kembali basah. Aku mengamati wajahnya yang dipenuhi bintik hitam sebagaimana manusia yang kepalang renta, dan aku terlalu malas membandingkan wajahnya untuk mengartikan secara puitik.
Tentu kami khatam bahkan mudah menerka kalimat yang sering ia ulang sedari aku piyik. Kalimat yang selalu diimbuh senyum lebar dan mata segaris saban berkelakar untuk dirinya sendiri, “Tidak ada yang lebih indah dari kelahiran anakku dan kamu, cucuku.”  entah sudah berapa banyak ia mengulang kata-kata itu? Tak terhitung lagi.
Ia seorang legendaris, raja kibul paling jujur. Kakek akan terus mengulang dan menambahi rincian cerita-ceritanya yang terdahulu sampai kadar ketertarikan yang mendengarnya makin tipis. Anehnya, jika mencoba menghindar dari ceritanya? Kamu malah dibikin ketagihan. Ibu bahkan menganggapnya sebagai si pandir terhebat di atas bumi, “Satu-satunya pendongeng yang tersisa.”
*
Denyut jantung kakek dua detik sekali dan alat bantu pernapasan membuatnya semakin mirip alien dengan kepala botaknya yang memantulkan cahaya api pembakaran kayu-kayu yang aku kumpulkan dari bilah-bilah jendela dan kusen lapuk.
Langit-langit rumah kami bocor tipis-tipis di atas kepala kakek dan membentuk pendaran cahaya purnama bergaris-garis menembaki tubuhnya. Selintas jika teliti, bau jamur meluas muncul dari tembok-tembok borok. Ibu dan aku tinggal di rumah ini sejak dilahirkan, sedangkan kakek? Sejauh ingatan ibu, ia selalu tua dan sudah begitu saja terbaring di kasurnya.
Tangan kurus keriput menyentuh lututku, “Sudah besar kamu sekarang, ya?” ia menepuk-nepuk lalu mengusapnya.
“Cerita ini untukmu. Kakek janji, ini yang terakhir dan perlu.” ia melirik perlahan ke arahku lalu ke arah ibu yang beranjak berdiri menyejajarkan diri di belakangku dan memegang pundakku.
Kakek melepas alat yang selalu dibawanya semenjak muda. Alat itu segera ditutupi dengan kain basah agar udara dari alat pernapasannya tidak terbuang barang secuil.
“Puluhan tahun lalu. Jauh sebelum ibumu lahir dan aku masih sangat muda. Peristiwa itu terjadi dan menyebabkan tanah satu dunia berguncang ngeri.”
Ibu menjongkok mendekat pada kakek. Tangan kanannya menyapu mata kakek yang basah. Tangan kiri ibu lincah menempatkan posisi kepala lelaki tua itu agar bisa mendongeng dan melihat ke arahku. Tangan kanan ibu diulur, mengusap-usap kepala lelaki tua yang sudah susah betul hidupnya.
Kakek menyikapkan kedua belah tangan di dadanya. Dan aba-aba cerita selalu diawali sungging bibirnya yang khas.
“Setelah bom itu menggelegar. Radiasi menyebar tidak berhenti. Tidak sesuai rencana yang tadinya disasar memberangus wilayah pengungsi. Awalnya radiasi hanya menyelimuti Gaza, kemudian merangsek ke perbatasan-perbatasan, mengalir ke negara tetangga, dan akhirnya angin meniupkan hingga ke negaraku di ujung timur Asia.” kakek menahan tawanya, “Kalian tahu apa itu Gaza? Apa itu negara?”
“Cahaya bom menggamit paksa langit, racunnya dihempas ke udara, merangsek ke tanah, dan membaur di air. Kemudian manusia tidak bisa lagi beranak-pinak. Tepatnya, seluruh lelaki jadi mandul!” kakek mempercepat temponya berbicara, “Dalam hitungan lebih dari lima tahun setelahnya? Yang kuingat hanya kepanikan, asap, letupan, rumah roboh, orang-orang muntah, dan anak-anak menangisi bangkai orang tua dan para remaja yang mati bunuh diri. Kematian massal manusia kehabisan harapan hidup. Untuk apa bersusah-susah melanjutkan hidup? Ini di titik nadir dan akhir spesies kita.”
Kakek melanjut, “Manusia merasa begitu kecil. Kita pecundang di antara semua makhluk di bumi ketika menyusut jumlahnya.” seketika ruangan jadi terasa lebih sunyi. Baru kali ini aku dan ibu dengar cerita yang berbeda dari ratusan ceritanya.
Kakek melihat ibu dengan matanya yang kecil, “Kaum kalian tidak berharga di hadapan iblis kasat mata berujud lelaki di masa-masa aku muda, anakku.” ucapnya membisik, “Perkosaan menggila ketika lelaki mengetahui dirinya mandul. Bukan itu saja. Pembunuhan brutal kerap terjadi setelahnya dan mudah ditemui selama mata tak sempat mengedip!” Bibirnya disungging congkak betul memamerkan pengalamannya. “Ah, mungkin satu-satunya tempat terakhir paling aman bagi perempuan adalah di dasar laut dan di luar langit.” Tambahnya berdengus.
Kemudian ia meringis meremehkan kami, “Selama ini kamu tak tahu awalnya, bukan?”
Mata kakek sontak membelalak, “Gila! Gilalah jawabannya. Dengan jadi gila, kamu dan semua perempuan akhirnya bisa melahirkan!”
Kini kakek tertawa dibarengi tangis.
“Ingat betul aku menimang ketika kamu bayi, cucuku. Dada ini dibuatmu jadi hangat. Bahagia rasanya. Kelahiranmu adalah satu jawaban kelanjutan hidup manusia di saat jumlah kita tak seberapa. Jika semakin banyak kelahiran artinya manusia memiliki waktu merancang aturan dan memperbaikinya lebih sempurna daripada aturan-aturan alakadarnya saat ini. Meski aku ragu, apakah manusia mampu secerdas itu? Apa tidak sebaiknya kita berakhir saja?”
Matanya menerawang dan kernyit di dahinya menebal, “Jika aku ingat kembali. Ada yang tak bisa kulupakan dari awal kegilaan itu. Dunia jadi begitu kusam kemudian gersang sebab tidak seimbangnya alam. Kami bertahan dengan makan bangkai hewan yang ditemui sembarang. Karena sia-sia saja makan buah dan tetumbuhan. Mereka dipenuhi racun. Ketimbang mati konyol makan sayuran dan buah? Kami lebih baik bertahan makan daging saudara kami sendiri yang mati dalam keadaan krempeng di jalanan. Hatiku sudah mati rasa. Aku lupa rasanya makanan yang dimasak, memasak terlalu lama dan tidak dibutuhkan ketika semua orang berebut makanan akibat kelaparan yang terlalu. Kemudian hewan-hewan peliharaan yang awalnya menemani manusia di saat kesepian, akhirnya punah juga. Kami terpaksa melahap hidup-hidup peliharaan kami sendiri. Kemudian tikus-tikus merajalela jadi satu-satunya kompetitor manusia. Gelombang baru datang kemudian. Penyakit kulit, diare, dan hidup dengan tubuh setengah busuk jadi hal biasa yang tak habis-habisnya.”
Nada bicara kakek melirih, “Pada akhirnya? Kamu tahu? Kami makan tahi kami sendiri.” 
Tangan kanan kakek menggeret hati-hati alat pernapasan kesayangannya dan segera ia dekap. Bau menyeruak ketika alat itu diarahkannya padaku,
“Cium ini.” pinta kakek.
Aku mendekatkan hidungku. Ibu menggelengkan kepala dan menahanku. Sayangnya, aku terlalu penasaran mencium alat pernapasan itu. Bau ngeri kemudian melesap hebat, mungkin lebih dahsyat dari bom radiasi yang diceritakan kakek. Jantungku rasanya berhenti.
“Ini bau tahiku.” Kakek tertawa kecil. Ibu sontak muntah. Tiap rinci aroma tahi itu terlalu mewah untuk kuceritakan padamu.
Dengan tenang si tua sialan itu melanjutkan, “Tahi, cucuku. Tahilah yang membuat manusia beranak-pinak.”
Kemudian kakek meringis, “Jika kamu perhatikan lelaki dewasa dan yang renta sepertiku? Mereka sudah pasti! Sudah pasti ketagihan bau tahinya sendiri.” tukas kakek meneror dan ibu tersedak menahan asam-getir yang terasa di tekak tenggorokan.
Kata-kata kakek menambah bau berlebih pada hidung ibu meski ditutup rapat-rapat. Busuknya menusuk pangkal hidung, menjalar-sulur ke syaraf otak, berdiam dalam tubuh mengisi penuh aliran-aliran darah.
Tanpa tedeng aling-aling kakek melanjutkan, “Tahi! Mujarobat! Maha Agung!”
Ibu mencekik lehernya menahan gelitik jijik. Isi kepalanya berputar bayangan kakek yang bangga berkata, “...ketagihan bau tahinya sendiri.”
Wajah kakek beranjak bijak, “ini kali pertama makhluk pandir mampu melahirkan dan kembali mendapat kasih sayang seorang ibu,” ucapnya mengartikan puas.
“Kasih sayang yang lahir dari tahi!” hardik ibu menutup mulutnya dan air busuk bermuncratan dari sela jari. Ibu terduduk lunglai, asam perut terus mengucur dari hidung dan mulutnya.
Pundak kakek berguncang terkekeh dan meneror ibu sekali lagi, “Suamimu memutuskan mati saking tergila-gila bau tahinya sendiri! Suamimu bahkan tak sudi melihat kelahiran anaknya yang lelaki.” Kakek tertawa meledak, “Kamu tahu itu, kan? Setiap lelaki seperti suamimu? Lahir dan matinya tak lebih dari perkara tahi!”
Mata ibu melotot mengarah kakek, “Sudah!” hardiknya. Kemudian ia menutup dua lubang hidungku. Tangannya yang penuh lendir muntahan itu gemetar. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. Air mukanya memohon. Sorot matanya menembus sampai pangkal mataku.
Aku bergidik, membuncah, dan… orgasme membayangkan kelak kaum kami berkuasa sekali lagi. Air kencingku hangat membanjiri paha, rasanya lemas terpuaskan memicu degup jantung.
“Ibu,” ucapku bergetar menahan kenikmatan, “Manusia mungkin lebih sedikit dari jumlah bulu hidungku. Namun masih ada harapan. Selama aku mau mencium dan memakannya.”


- Galih Nugraha Su