Papa saya masih ingat betul antusiasme yang ia rasakan saat menyetir mobil Suzuki Carry warna merah tua, dari rumah bibinya di bilangan Kembangan, Jakarta Barat, ke kawasan perniagaan Petak Sembilan di dekat Kota. Kalender hari itu, 2 Februari 2000, tiga hari menjelang Sin Cia atau Tahun Baru Imlek 2540 Buddha.
Papa saya waktu itu baru 27 tahun dan masih bujangan. Hanya satu tugas yang ia emban saat bepergian: membeli pernak-pernik warna merah dan kencana buat hiasan rumah, kemeja tunik baru warna merah, angpau, dan bahan-bahan makanan untuk perayaan Sin Cia. Dalam mobil Carry itu, Papa saya mengemudi dengan tiga penumpang: dua engku (paman muda), dan satu adik perempuan.
Mereka berempat membagi tugas. Dua orang bertugas membeli pernak-pernik, angpao, dan berburu baju, sedang dua yang lain membeli bahan makanan yang akan dimasak dalam beberapa hari ke depan. Top list untuk makanan tentu saja jauh lebih panjang, mencakup ikan bandeng, jeruk, tepung ketan dan gula merah untuk kue keranjang, mi basah, bermacam seafood, arak masak dan arak minum, alat-alat sembahyang, dan superstar meja makan: daging babi seberat 6 kilogram yang akan dibagi 4 untuk dimasak jadi charsiu, siobak, babi hong, dan sayur asin.
Benar saja, Pasar Petak Sembilan hari itu betul-betul disesaki lautan manusia. Ia menjadi magnet orang-orang yang akan merayakan Sin Cia dari Jakarta dan sekitarnya. Seingat Papa, mobil Suzuki Carry itu sampai penuh barang dan penumpangnya duduk berdesakan. Pengeluaran hari itu, Papa saya sudah tidak ingat persisnya, tetapi dia pastikan lebih dari Rp6 juta. “Tapi enggak masalah. Sin Cia pertama, kan, jaman Gus Dur,” tukasnya.
Papa berkisah, selama tiga hari berikutnya, ia jumpalitan ikut memasak, mengepas baju, mengumpulkan penghasilan dan memasukkannya ke angpau, membersihkan rumah (ini jadi kegiatan terpenting, karena rumah yang kotor dianggap tidak bawa hoki) dan menyiapkan transportasi untuk pergi sembahyang ke Tangerang. “Senangnya mirip kisah Musa dan Bangsa Israel,” kata Papa mengibaratkan.
Maksud Papa saya jelas. Sin Cia 2540 BE yang dirayakan pada 5 Februari 2000 adalah perayaan Imlek terbuka pertama yang dapat dilakukan dengan tenang oleh orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia. Persis, orang-orang keturunan Tionghoa seperti keluarga besar kami—peranakan Cina-Betawi yang kenyang mengecap pahitnya dianggap “orang asing” oleh sebuah republik yang, konon, berdiri di atas dasar keberagaman. Tentu, saya tidak menyaksikan semua kegembiraan itu karena, jangankan lahir, direncanakan saja belum.
Bagaimanapun, Sin Cia tahun 2000 menjadi semacam katarsis. Engkong dan Omah saya, misalnya, masih memiliki ingatan tajam akan ontran-ontran zaman Sukarno, politik “korset mertua”—istilah kocak buatan Engkong yang jadi inside joke keluarga—zaman Orde Baru, sempat mencicip gerbang neraka di awal Reformasi, ternyata berakhir manis saat Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden No. 6/2000 pada 17 Januari 2000 yang secara resmi mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
Kenangan manis perayaan Sin Cia terbuka pertama itu, saya pikir-pikir, menyerupai “tanah terjanji” yang berhasil dicapai peranakan Tionghoa di Indonesia, sesudah mereka jatuh-bangun dalam memperjuangkan hak dan identitas diri mereka di atas tanah kelahiran, di mana mereka lahir, sekolah, bekerja, berketurunan, sampai wafat—walau hanya untuk dianggap sebagai “penumpang” selama bertahun-tahun lamanya.
Pergulatan orang-orang Tionghoa memperjuangkan hak hidup tenteram sekurang-kurangnya telah menjadi fragmen tersendiri dalam sejarah Indonesia. Sebagai kelompok sosial yang sejak lama sengaja dibuat terjepit antara Eropa dan Bumiputra, orang-orang Tionghoa menghadapi persimpangan jalan yang dilematis ketika Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan: haruskah membela Republik yang belum mampu menjamin keamanan, atau cari aman mendukung Belanda dengan risiko menjadi bulan-bulanan laskar rakyat?
Masalah itu akan jadi semakin kompleks jika melibatkan kesenjangan status sosial-ekonomi dengan orang-orang setempat, masalah perbedaan kultural antara kaum totok (yang langsung datang dari Tiongkok) dan kaum peranakan (yang membaur dan berkeluarga dengan orang-orang Bumiputra), sampai masalah kewarganegaraan. Di antara semuanya, tak kurang masalah terakhir menjadi aral pertama sekaligus yang paling pelik karena kelanjutannya yang tambah runyam di kemudian hari.
Undang-undang No. 3/1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Republik Indonesia yang disahkan pada 10 April 1946 menganut sistem pasif. Artinya, semua orang yang tinggal dan lahir di Indonesia akan dianggap sebagai WNI, sampai orang itu menyatakan penolakan, terhitung 12 bulan sejak undang-undang terbit. Dengan demikian, orang-orang Tionghoa pun dihitung sebagai warga negara Indonesia ─ berikut konsekuensi mendukung kemerdekaan Republik dari aspek moral maupun material.
Masalah terjadi ketika kewarganegaraan yang diperoleh tak ubahnya hanya macan kertas yang tak berarti. Satu setengah bulan sesudah undang-undang kewarganegaraan disahkan, kerusuhan rasial pecah di Tangerang dan mengakibatkan bumi hangus terhadap aset orang-orang Tionghoa serta eksodus besar-besaran orang Tionghoa ke Jakarta, hanya beberapa hari sesudah Tangerang diduduki Belanda.
Kwee Kek Beng mencatat dalam memoar Doea Poeloeh Lima Tahoen Sebagai Wartawan (1948) bahwa ia hanya mampu terperangah saat ikut mengantarkan bantuan kemanusiaan dari Palang Merah Yang Seng Ie. Bukan cuma keadaan Tangerang yang luluh-lantak, melainkan juga laporan tentang penjarahan dan perampokan yang datang bertubi-tubi, beberapa bahkan disertai pembunuhan.
“Keadaan ternjata djauh lebih hebat dari jang kita bermula ada kira, hingga mau tidak mau besoknja kita kabarkan dalam Sin Po, apa jang sebenarnja kedjadian di Neraka Tangerang,” tulis Kek Beng (1948, hal. 98).
Kerusuhan serupa yang kemudian terjadi di beberapa daerah lain, akhirnya mendorong orang Tionghoa untuk membentuk milisi keamanan swadaya bernama Pao An Tui. Banyak dari orang Tionghoa pun akhirnya bersimpati kepada pasukan Belanda dan Inggris yang dinilai lebih andal dalam menjamin ketertiban daripada tentara Republik yang beringas. Hal ini berpengaruh pada citra TNI di aras diplomatik.
“Pemerintah Nasionalis Tiongkok memandang kekuatan Belanda, Amerika, dan Inggris sebagai pelindung warganya yang ada di luar Tiongkok dan menganggap angkatan bersenjata Republik Indonesia hanya sekadar penganjur utama kekerasan terhadap orang Tionghoa,” catat Taomo Zhou dalam Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok, dan Etnik Tionghoa 1945-1967 (2019, hal. 35).
Reaksi terhadap pembentukan milisi-milisi swadaya tersebut umumnya ditanggapi dingin oleh pemerintah pusat, meski masalah Tionghoa diakui sebagai persoalan pelik, yang bahkan membuat Amir Sjarifuddin mengkhususkan pos “Menteri Urusan Minoritas” di kabinetnya, yang dipercayakan kepada Siauw Giok Tjhan, anggota Partai Sosialis dan Badan Pekerja KNIP yang dianggap mumpuni dalam berkomunikasi pada “golongannya” sebagai perpanjangan tangan pemerintah.
Kerja-kerja Siauw amatlah berat untuk meyakinkan orang-orang Tionghoa agar mendukung Republik, terlebih ketika Belanda melancarkan “Aksi Polisionil” pertama, hanya 18 hari sesudah Amir Sjarifuddin memimpin kabinet. Serangan ini membuat pemerintah mendorong laskar-laskar pemuda agar memiliki otonomi dalam menghalau serangan Belanda. Sialnya, instruksi ini juga digunakan sebagai kesempatan untuk menggasak harta orang-orang Tionghoa diikuti pengusiran massal.
Untuk mengurangi penderitaan orang-orang Tionghoa yang terlunta-lunta karena terusir dan harus mengungsi di kamp-kamp penampungan, Siauw mengimbau orang Tionghoa dapat berdikari. “Ia menganjurkan mereka agar menghasilkan tahu tempe sendiri untuk mempertinggi kualitas makanan dan mengurangi ketergantungan pada pemerintah,” catat Siauw Tiong Djin dalam biografi Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Patriot Indonesia Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika (1999, hal. 114). Tak ayal, anjuran Siauw ini berbuah kecaman, bahkan ia diolok “menteri tahu-tempe”.
Berhasil menyintas kabut zaman revolusi tidak berarti orang Tionghoa dapat hidup dengan selesa. Sebagian orang yang tidak mau repot, seperti kakek buyut saya, Djiauw Beng Ho. Ia memilih kewarganegaraan Indonesia, dengan alasan sangat sederhana.
“Mana bisa kongco omong Mandarin, [sedangkan dia] lahir di Karawang, lantas besar di Jatinegara,” tukas Omah saat berkisah tentang bapaknya. Meski berstatus WNI, penggolongan tetap ada, bahkan ditulis terang-terangan. Dalam Akta Lahir No. 6897/1951 milik Omah, misalnya, tertulis “Tjatatan Sipil (Golongan Tionghoa)”. Tulisan yang sama pun dimiliki Engkong, di atas akta lahirnya yang bernomor 2776/1948.
Masalah penggolongan dalam kewarganegaraan semacam itu memantik perdebatan keras yang membagi orang-orang Tionghoa, terutama peranakan, menjadi dua faksi: kubu integrasi di bawah panji Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang berdiri pada 13 Maret 1954; dan kubu asimilasi di bawah panji Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) yang berdiri pada 12 Maret 1963.
“Kelompok pertama lebih suka jika identitas Tionghoa peranakan tetap dipertahankan dalam lingkungan bangsa Indonesia, sedangkan yang kedua menginginkan peleburan minoritas Tionghoa ke dalam masyarakat etnis pribumi,” catat Leo Suryadinata dalam esai “Etnis Tionghoa dan Konsep Bangsa Indonesia” yang dimuat bunga rampai Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008 (2010, hal. 186).
Perbedaan perspektif antara kedua kubu tersebut meruncing kala konstelasi politik tarik-menarik kiri dan kanan ikut terlibat di dalamnya. Sebagian orang menganggap Baperki sebagai organisasi yang menjadi corong RRT yang tidak segan satu payung dengan Partai Komunis Indonesia, sementara LPKB berada di seberangnya: antikomunis, pro-asimilasi, dan disponsori Angkatan Darat. Perang dingin antar keduanya berakhir saat angin sejarah berganti pada 1 Oktober 1965, ketika Baperki direken satu gerbong dengan aktor-aktor G30S dan dilabur hitam dalam sejarah.
LPKB menang telak dan menjadi ujung tombak kaum peranakan. “Sejak pertengahan 1966, saat gelombang anti-Tionghoa menjamur, aktivis-aktivis LPKB mengundang kaum peranakan untuk mengadopsi nama baru bercorak ‘Indonesia’. Karena aturan ganti nama yang sulit, LPKB juga mendesak kabinet agar prosedur itu dipermudah,” tulis Dan Lev dalam biografi Yap Thiam Hien, No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer (2011, hal. 257).
Turbulensi politik seperti itulah yang antara lain ikut dirasakan Omah sekeluarga. Beranjak dewasa pada transisi menuju Orde Baru, ia mengakui adanya tekanan yang mulai dirasakan pada orang-orang Tionghoa yang tetap diizinkan hidup, namun diharuskan mengurus berbagai surat untuk keperluan pemerintah. “Uih, kalau surat dulu ada segambreng,” ujarnya menggebu. “Tapi yang paling pertama kita harus ganti nama. Gantinya ke pengadilan, naik oplet pagi-pagi.”
Omah pergi sebentar ke dalam, lalu keluar dengan menunjukkan selembar kertas kuning lusuh kepada saya. Judul surat itu panjang: “Surat Pernjataan Ganti Nama Berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966”. Di dalamnya termaktub beberapa butir keterangan nama lahir kongco, tempat dan tanggal lahir, alamat, serta nama lahir anak-anak. Sebuah tabel tersedia di bagian bawah, dengan keterangan huruf kapital di atasnya: MENJATAKAN KEINGINAN MENGGANTI NAMA, berturut-turut mulai dari kongco sebagai pemohon, istri, dan enam anak mulai dari yang tertua.
Seingat Omah, surat ini adalah pelengkap surat lain, yakni “Surat Tjatatan Pernjataan Keterangan Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakjat Tiongkok untuk Tetap Mendjadi Warganegara Republik Indonesia”. Gampangnya, surat kedua ini disebut “K-1”. Isinya hampir mirip, berupa pernyataan identitas, disertai foto dan cap jari. “K-1 ini keluarnya jaman Sukarno, tahun-tahun ‘61 atau ‘62,” kisah Engkong.
Ada juga “Surat Keterangan Pelaporan Warganegara Indonesia” yang diterbitkan Suku Dinas Kependudukan tingkat Kota. Last but not least, kertas sakti yang harus dilampirkan dalam setiap urusan dengan kelurahan: Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia” alias SBKRI yang harus dipunyai setiap kepala dalam sebuah keluarga.
Surat-surat yang harus disimpan baik-baik itu adalah saksi bisu yang kini disakralkan Engkong dan Omah sebagai penanda zaman “korset mertua” ─ gambaran satire tentang situasi di mana seseorang harus tetap bernafas dan terlihat senang, meski sesungguhnya terasa sesak. “Makan, ya, makan. Kerja, ya, kerja. Cuma orang, kan, kagak cuman makan dan kerja. Apa itu, namanya, yang kamu sering sebut-sebut,” tanya Engkong.
“Kebebasan berekspresi?”
“Nah, iya itu, dah. Kagak ada itu,” ucap Engkong sambil terkekeh. Saya pun coba mengerti. Inilah imbas berbagai aturan yang mengekang hak perdata orang-orang Tionghoa. Sebagai gambaran, Badan Koordinasi Intelijen Nasional pernah mengeluarkan buku tebal yang berisi peraturan yang dikenakan kepada etnis Tionghoa dengan judul yang menggigit: Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia (1979).
Implikasi yang sangat terasa adalah penempatan orang-orang Tionghoa sebagai warga negara kelas dua. Sangat kecil kesempatan menjadi abdi negara. Pun pergaulan amat terbatas, apalagi dengan orang-orang “asli” yang dijuluki huana. “Makanya Cina buka toko atau kerja di bank. Juga harus jaga jarak, biar enggak kena bully. Ya, bagaimana lagi. Yang ada cuma itu,” ujar Papa. Omah menambahkan, “Kayak film komedi itu, Maju Kena Mundur Kena. Kalau maju dikira nantang, kalau mundur makin diinjek.”
Pamungkas zaman “korset mertua” tak lain adalah tubir neraka yang sempat dikecap Papa sekeluarga, saat Soeharto berada di ujung tanduk kekuasaan. Dari rumah keluarga besar di Kembangan, Engkong mengumpulkan semua anak dan menantu di rumah inti (rumah masa kecil Engkong) di Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan. Ini adalah keputusan bersama Engkong dan dua dari 6 saudaranya yang masih hidup.
“Kita dengar encik-nya si anu diperkosa, tokonya Encek X di Jembatan Tiga kena juga. Mending semua kumpul dulu jadi satu, jangan keluar-keluar,” kenang Papa di hari-hari mencekam itu. Papa ingat, karena di rumah inti juga berkumpul keluarga kakak dan adik Engkong, rumah yang tak berapa besar itu jadi menyerupai pengungsian. “Hitung-hitung, 27 ketemu satu rumah. Tidur gelar tikar. Indomie satu kardus, kita rebus jadi sepanci buat makan sama-sama,” sambungnya.
Hingga tibalah tanah terjanji itu: Sin Cia pertama yang dirayakan penuh sukacita, pada 5 Februari 2000. “Engkong yang paling senang. Seumur-umur, begini rasanya jadi orang Indonesia. Jangan heran kalau waktu Gus Dur meninggal, dia ngambek seharian. Sayang betul dia sama Gus Dur,” kisah Omah. Saya tersenyum, mengamini ucapan Omah dalam hati, sebagaimana saya juga mengagumi kiai Ciganjur itu sebagai guru bangsa tiada tanding.
Percakapan di atas terjadi pada akhir 2018, hanya beberapa pekan sebelum Engkong terkena stroke dan terbaring di atas ranjang hingga ajal memanggilnya di umur 71 tahun.
Saya memang bukan cucu yang sempurna. Tetapi paling tidak, saat menenggelamkan guci berisi abunya di lepas Teluk Jakarta, saya bisa berjanji pada Engkong untuk tidak perlu minder sebagai peranakan Cina-Betawi, dan tidak segan menjawab pertanyaan tentang identitas saya dengan mantap, “Kalau saya Cina, memangnya kenapa?” (*)