Kamarku, Refleksi Keambyaran Mentalku

“Kayanya terakhir aku beneran bersihin kamar tuh dua bulan lalu,” tutur Ari (bukan nama sebenarnya), 26 tahun, sambil membuka kamar kosnya. Daun pintunya hanya bisa terbuka sebagian. Ia langsung menyelinap masuk, menyingkirkan barang di belakang pintu lalu mempersilakan saya untuk masuk. Lantai kamar seluas 4x4 meter tersebut dipenuhi oleh berbagai macam barang–dari baju, kardus, plastik, bungkus makanan, sampai koper berserakan di lantai. 

 

Semua bermula dari 4 bulan lalu, ketika ia berselisih dengan teman dekatnya. Sialnya, permasalahannya tak berhenti di situ–masalahnya terus membesar dan sampai menjalar ke aspek-aspek lain di kehidupannya. Kondisi kesehatan mentalnya terjun bebas. Ia awalnya malas makan, lalu bertambah menjadi malas mandi, yang kemudian tumbuh menjadi malas membereskan kamar. Jadilah kamarnya sekarang sebagai simulasi kapal pecah.

 

“Temen sama keluarga udah bilang buat berhenti males sama mulai beres-beres. Tapi gimana ya, buat bangun dari kasur aja susah banget.” 

 

Apa yang dirasakan oleh Ari sebetulnya bukan malas, tapi gejala depresi. Kehilangan energi kesulitan mengurus diri, kesedihan yang mendalam, susah konsentrasi adalah sebagian gejalanya. Ketika tidak ditangani, gejala-gejala ini bisa semakin parah dan mengganggu kehidupan sehari-hari. Di kasus Ari, gejalanya membuatnya lalai mengurus diri dan lingkungan sekitarnya.

 

Mencari pertolongan bukanlah hal yang mudah. Ari sadar apa yang ia rasakan tidak normal dan sudah seharusnya ia mendapatkan bantuan profesional. Tapi ia tidak tahu harus mulai dari mana.

 

“Untungnya ada temen yang mau bantuin cari psikolog. Ada juga yang mau nolong bersih-bersih. Tapi malu sama sungkan kalau temen dateng buat beresin kamar. Malu kelihatan males, jorok, berantakan.”  

 

“Tapi karena terus-terusan didorong–ya sebenernya dipaksa sih, akhirnya bulan lalu mulai ke psikolog. Kemarin abis konsultasi dan kata psikolognya, harus pelan-pelan [membereskan kamar dan mengurus diri].” 

 

Psikolognya juga mengatakan bahwa kondisi kamarnya sekarang justru membuat kondisi depresinya semakin buruk. Ini karena kondisi rumah yang berantakan adalah refleksi dari kondisi si penghuni. Kamar yang berantakan menandakan bahwa seseorang kehilangan kontrol dan fokus akan kehidupannya yang kemudian meluber ke kegiatan sehari-hari.Mencari barang jadi lebih sulit dan memakan banyak waktu, ruang gerak menjadi terbatas, dan hal-hal negatif lain yang membuat tinggal di situ tak lagi nyaman.

 

Penelitian yang dilakukan oleh Saxbe dan Repetti menunjukkan rumah yang berantakan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dengan cara yang berbeda. Studi ini melibatkan 30 pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja dan tinggal di Amerika Serikat. Responden diminta untuk mendeskripsikan rumah mereka sambil keliling di dalamnya. Merela lalu diminta untuk memberikan sampel air liur untuk diteliti. Hasilnya, keluarga yang punya rumah berantakan memiliki tingkat kortisol (hormon stres) yang lebih tinggi. Suami dengan rumah berantakan memiliki kadar kortisol yang lebih tinggi, tapi hal ini tak punya efek yang signifikan terhadap mood mereka. Hal ini berbeda drastis dengan para istri–mereka tak hanya memiliki kadar kortisol tinggi, tapi juga melaporkan mood depresif dan kepuasan pernikahan yang lebih rendah.

 

Melihat betapa pentingnya kebersihan untuk kesehatan mental, penting bagi mereka yang mengalami depresi untuk mencoba membersihkan tempat tinggal mereka. KC Davis, konselor profesional yang juga pernah mengalami masalah rumah berantakan, membagikan tips bersih-bersih. Menurutnya, barang-barang berantakan bisa dibagi menjadi 5: sampah, piring kotor, baju kotor, barang yang punya tempat seharusnya, dan barang yang tak punya tempat seharusnya. Supaya tak pusing, Davis menyarankan untuk mulai dari satu kategori, lalu pindah ke kategori selanjutnya setelah selesai. 

 

Membuat “sistem bersih-bersih” juga bisa membantu untuk mempermudah proses ini. Salah satu hal yang bisa dicoba adalah membuat tempat khusus untuk menaruh barang-barang setelah selesai digunakan. Dari sini kita bisa membangun rutinitas bersih-bersih. 

 

Hal ini pula yang mulai diterapkan oleh Ari. Perkembangannya lambat, tapi ia optimis bisa mengembalikan kondisi kamarnya seperti dulu. 

 

“Gapapa lama, yang penting kelar,” tutupnya.