Kami Menonton Sayap-sayap Patah dan Teman-temanku Marah-marah

Peristiwa itu terjadi di awal karir saya sebagai jurnalis gaya hidup di sebuah koran nasional di Jakarta. Saya menyaksikan dengan mata terbelalak bagaimana jurnalis-jurnalis senior keren ahli terorisme mengawal fakta-fakta bergulir di ruang redaksi. Maka, saya jadi penasaran bagaimana peristiwa ini dipotret lewat sudut pandang aparat, apalagi dengan pendukung pemerintah paling galak di medsos, Denny Siregar, menjabat sebagai produser eksekutif dan penulis naskah.

Saya menonton Sayap-sayap Patah ditemani tiga teman saya, sebut saja Wawan, seorang Marxis, Anita, seorang feminis, dan Fauzan, seorang muslim yang cukup soleh. Dengan latar belakang ideologi seperti itu, saya menyadari kami bukan target market film ini. Ketika film ini digodok, mungkin para produsernya menyasar para siswa akpol, penggemar Ada Apa dengan Cinta, pengikut Denny Siregar, atau kakak-kakak yang punya cita-cita jadi istri pria berseragam. 

Namun, bukankah sebuah film propaganda disebut berhasil ketika ia sukses merekrut mereka yang paling keras kepala menjadi simpatisan?

Berikut ini adalah obrolan warung kopi kami selepas nonton.

Anita, feminis

“Yang aku pelajari dari film tadi adalah jangan kawin sama polisi,” ujar Anita sambil mengunyah ote-ote. 

Sebelum nonton film ini, Anita memang tidak ingin punya suami polisi. Saya bahkan ragu dia ingin kawin dengan siapa pun. Namun, bukan berarti opininya mentah ketika ngomongin laki-laki yang pantas dijadikan pasangan.

“Kerja nggak tau waktu. Bisa jadi pulang udah jadi jenazah. Udah dimasakin nggak sempet makan. Udah janji mau ngajak jalan ke Taman Bungkul, malah lanjut kerja. Parahnya lagi, udah ngabarin mau pulang bawa jajan, malah masuk ruang interogasi buat nonton tawanan diwawancara,” kata Anita gemas. “You are replaceable at your workplace, but not at home!”

Anita pantas gemas. Semua materi promosi film menunjukkan bahwa Ipda Adji (Nicholas Saputra) digambarkan sebagai suami ideal, namun apa yang ditunjukkan di dalam film sangat lain. Rentetan contoh yang disebutkan Anita menunjukkan Adji jelas-jelas lebih cinta pekerjaannya daripada istri dan calon anaknya. Bahkan, setelah ada peristiwa ledakan di kantor polisi yang hampir merenggut nyawanya, Adji tambah rajin bekerja di luar rumah meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua.

Selain itu, menurut Anita Adji juga adalah seorang gaslighter. 

“Bayangin ya, kamu hamil gede. Kamu stress gara-gara suamimu selalu dalam bahaya ngejar-ngejar teroris. Jarang pulang, jarang ngelonin kamu. Gara-gara kamu stress, kehamilanmu bermasalah. Tapi kamu bilang kamu sehat-sehat saja biar suamimu nggak ikutan stress,” kata Anita. “Trus, kamu udah ga tahan, mau pulang aja ke rumah ibumu biar kamu nggak kesepian, biar kehamilanmu ga bermasalah lagi. Eh dia marah-marah, nuduh kamu bohong karena menyembunyikan penyakitmu dari dia. Apa namanya itu kalau nggak guilt-tripping biar istri merasa bersalah dan nggak jadi nyalah-nyalahin suami?”

Anita juga mengkritik Adji yang kata dia tidak bisa meminta maaf dengan baik. 

“Orang tuh kalau salah minta maaf pake ngomong, ‘Maaf ya, Sayang, aku akan berusaha lebih baik lagi,’ eeh ni orang cuma asal datang dan peluk saja. Nggak pake ngabarin, nggak pake diskusi. Apa memang kemampuan verbal polisi itu kurang ya?” ujar Anita sebal. “Punya foto cakep suami-istri pake seragam Bhayangkari mah nggak sepadan sama ranjang yang dingin tiap malam.”

Fauzan, muslim

Fauzan menyoroti bagaimana Sayap-sayap Patah melepaskan semua atribut Islam dari para teroris yang digambarkan di film ini.

“Memang serba salah ya,” ujarnya sambil menghirup kopi hitamnya. “Di satu sisi kita tidak mau menggambarkan Islam sebagai sumber terorisme, tapi di satu sisi kita nggak bisa juga menutup mata bahwa para napiter di insiden Mako Brimob itu ya orang Islam.”

Walau disiratkan bahwa komplotan teroris di film ini melakukan pemboman dalam misi “mengejar surga”, para teroris di film ini: Leong (Iwa K), Murod (Edward Akbar), Rosyid (Aden Bajaj), dan Desi (Laras Ardhia), tidak mengenakan atribut agama apapun. Bahkan, Desi yang mengeksekusi bom bunuh diri di kantor polisi tempat Adji bertugas, tidak mengenakan cadar. Ia hanya mengenakan rok panjang dan kaos gombrong yang menyembunyikan rompi bom-nya. Para extras napiter juga digambarkan hanya mengenakan kaos polos, padahal berbagai dokumentasi berita tentang peristiwa Mako Brimob menampilkan para napiter mengenakan keffiyeh, gamis, atau kaos-kaos sablon yang menunjukkan dukungan kepada kelompok-kelompok ekstremis, bahkan mengibarkan bendera hitam ISIS.

Sebaliknya, citra Islam yang damai dan teladan disematkan pada Adji, istrinya, dan ibu mertuanya. Dalam beberapa adegan, diperlihatkan Adji mengambil wudhu untuk bersiap sholat. Istrinya, Nani (Ariel Tatum), menyebut “Alhamdulilah” berkali-kali ketika Adji pulang dengan selamat dengan hanya beberapa luka gores dan tetap ganteng ketika televisi menyiarkan pemboman di kantornya yang menewaskan beberapa rekan polisi. Sementara, ibu Nani (Dewi Irawan) diperlihatkan mengenakan mukena selepas sholat dalam satu scene

Memperlihatkan citra Polisi muslim yang baik nan ksatria bukan tanpa sengaja, kata Fauzan.

“Film ini menyematkan Islam moderat di protagonisnya, untuk menunjukkan ke masyarakat bahwa ini lho Islam yang ideal menurut Polisi,” katanya. “Tapi kurasa para filmmaker tidak mau ambil resiko menempatkan Islam ekstremis, atau Islam jenis apapun, sebagai antagonis di film yang menyasar sebanyak-banyaknya penonton di Indonesia seperti ini.”

Fauzan juga menyayangkan klaim berlebihan bahwa Sayap-sayap Patah diangkat dari “kisah nyata tragedi Mako Brimob” seperti yang digembar-gemborkan di semua materi promosi film, “...seakan-akan memang seperti itulah yang terjadi, walau para penulis jelas-jelas mengambil cukup banyak kebebasan dalam menulis kronologi dan merancang karakter.”

Para napiter disederhanakan sebagai antagonis dengan satu dimensi yang menjadi penjahat semata-mata karena masuk sekte sesat. Mereka juga digambarkan tidak punya motivasi jelas untuk menjebol penjara (di beberapa catatan disebutkan para napiter mengeluhkan perlakukan buruk polisi pada para tahanan, termasuk pelecehan pada istri-istri mereka yang hendak menjenguk suaminya). Dalam film, para napiter juga digambarkan segera menyerah pada Polisi semata-mata karena kalah kekuatan dan jumlah pasukan, bukan karena kesepakatan dialogis seperti yang dilaporkan para jurnalis.

Menurut Fauzan, insiden Mako Brimob dan para polisi yang tewas sebagai martir tidak cukup dihormati dalam film ini. Mereka sekedar digunakan untuk sekali lagi menyoroti kegagahan polisi sebagai institusi.

“Ini film tentang polisi, bukan film tentang polisi memerangi terorisme,” ujarnya.

Wawan, marxis

Wawan paling berisik di dalam bioskop ketika film diputar, sampai kami malu duduk bersebelahan dengannya. Dia tertawa keras sekali setiap kali ada adegan romantis antara Adji dan Nina, atau adegan persahabatan antar petugas polisi, atau adegan gagah-gagahan melibatkan senjata, pokoknya di sebagian besar film terdiri dari adegan-adegan yang patut ditertawakan menurut Wawan. Di satu titik kami harus menyumpal mulutnya dengan kepalan tangan kami sendiri biar dia tidak mengganggu penonton lainnya. 

“Film ini tuh menunjukkan bagaimana polisi melihat dirinya sendiri, dan bagaimana mereka ingin dilihat oleh masyarakat,” kata Wawan panjang lebar begitu kami duduk di warkop dan dia sudah kami bolehkan bersuara. “Kurang lebih semacam ‘liat nih kami adalah manusia biasa sama saja seperti kalian, tapi kami orang biasa yang agak lebih keren daripada kalian,’”

Wawan mencontohkan adegan-adegan hidup sederhana jauh dari kemewahan yang diperlihatkan keluarga kecil bahagia Adji dan Nina. “Yang diperlihatkan ya rumah kecil sederhana seperti milik masyarakat pada umumnya. Tapi kalo buka laci ada pistol,” kata Wawan.

Harmonisnya keluarga Polisi juga dikontraskan dengan keluarga para teroris yang berantakan. Rosyid dan Desi adalah yatim piatu, sementara Murod tidak jelas asal-usulnya. Sedangkan Leong memperlihatkan ketersinggungan berlebihan ketika AKP Sadikin (Nugie) membandingkannya dengan anak kecil yang ngambek karena kurang kasih sayang orangtua.

Menurut Wawan, Iptu Gendhis (Popi Sovia) yang cantik, asik, dan keibuan juga adalah pion yang dipasang untuk memperlihatkan citra Polisi yang ramah bahkan pada para pesakitan. Tokoh Gendhis mungkin ditulis berdasarkan Iptu Sulastri, salah satu polisi yang sempat disandera dan dihajar oleh para napi, namun kemudian dilepaskan. Gendhis digambarkan berteman dengan para tahanan. Saking sayangnya sama Gendhis, Rosyid dan satu teman napiternya sampai mengambil resiko dimusuhi rekan-rekannya sendiri untuk menyelamatkan Gendhis keluar dari komplek Mako.

“Sama seperti anggota-anggota polisi lain yang benar-benar ada dan dijadikan rujukan untuk membikin karakter, Iptu Sulastri bukannya dirayakan tapi digunakan. Iptu Gendhis hanya terasa seperti token character saja –buat pantes-pantes biar ada cewenya,” kata Wawan. “Fungsi Gendhis di sini hanya untuk menunjukkan bahwa Rosyid, seorang rekrutan teroris, mau ‘bertobat’ dan berbalik membela negara.”

Singkat kata

Sayang sekali, film ini gagal merekrut kami jadi simpatisan Polri. 

Sayap-sayap Patah ditulis dengan hati-hati, bukan untuk setia pada insiden Mako Brimob sebagai kisah keperwiraan, tapi untuk mengakomodasi ego polisi. Dalam cerita ini tidak hanya penjahat yang dirancang satu dimensional, polisi di sini juga digambarkan sebagai protagonis satu dimensional. Semuanya lurus, baik, soleh, bersahabat, pekerja keras, setia pada pasangan, tidak keberatan hidup sederhana, sungguh-sungguh melindungi dan mengayomi. Gambaran ini sungguh berbeda dengan citra polisi di media massa yang kerap digambarkan sebagai institusi yang korup, dengan anggota-anggota yang brutal, rakus, malas, dan cabul. Banyaknya laporan tentang kebusukan institusi Polri seperti yang sering muncul di akun Twitter @txtdariseragam, atau dari seri laporan Percuma Lapor Polisi dari Projek Multatuli, atau rangkaian kasus Ferdy Sambo, malah membuat polisi-polisi baik seperti Adji dan teman-temannya terlihat sebagai oknum.

Tapi, untuk ukuran film pesanan, Sayap-sayap Patah boleh lah unggul dibandingkan film-film semacamnya seperti Sang Perwira (2019). Kami pun mengambil kesimpulan yang akan suka sama film ini adalah polisi sendiri, atau orang-orang yang dari awal memang sudah simpati dengan polisi. 

Kira-kira kapan ya lembaga negara bisa bikin film propaganda yang bukan menjadi ajang narsis, tapi betul-betul efektif bikin domba-domba tersesat seperti kami ini kembali nasionalis?