(Artikel ini pernah ditayangkan pada media mahasiswa nonprofit Bara Menggema dengan beberapa perubahan)
“Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama; dalam hal ini, termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah, dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”
Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Hidup di lingkungan agama minoritas, diskriminasi dan intoleransi telah menjadi makanan sehari-hari saya. Selama saya SMA di salah satu sekolah negeri Bandung, misalnya, peribadatan siswa Kristen kerap kali “terganggu” oleh kebisingan speaker masjid. Walhasil, kami perlu membacakan doa dan perenungan dengan sangat keras pula agar terdengar. Selama kurang lebih 10 tahun terakhir, publik telah akrab dengan kasus intoleransi di HKBP Filadelfia, GKI Yasmin, dan pengusiran seorang biksu di Tangerang. Namun, nyatanya, ini hanyalah “puncak gunung es” dari kasus-kasus intoleransi beragama di Indonesia.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyatakan bahwa toleransi beragama di Indonesia lebih baik dari negara-negara lain dan layak menjadi contoh. Namun, Human Rights Watch di Indonesia mengatakan bahwa pernyataan itu adalah suatu fantasi dengan melihat hukum dan pengaruh diskriminatif di Indonesia. Tidak percaya?
Boro-boro bangun gereja, baru ada jemaatnya saja sudah diusir!
Salah satu kasus yang bahkan tidak terdengar sama sekali adalah umat Kristen di Bakal Jemaat Rancaekek GKI Taman Cibunut Bandung (selanjutnya disebut Bajem Rancaekek) di Kabupaten Bandung yang masih didiskriminasi hingga hari ini. Tidak hanya satu, ada belasan gereja di Rancaekek yang dibubarkan. Tidak satu pun terangkat ke publik. Bahkan, saya hanya menemukan dua artikel berita dan satu artikel blog yang membahas kasus Bajem Rancaekek. Oleh karena itu, saya mewawancarai dua orang jemaat Bajem Rancaekek, Yohanes Pangarso dan Binanga Sinaga, untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang terjadi di sana.
Umat Kristen yang tinggal di Bumi Rancaekek Kencana mulai berkumpul dari rumah ke rumah sejak 1992 dengan sebutan Persekutuan Bumi Rancaekek Kencana (PBRK). Mereka mengadakan kebaktian dan berbagai kegiatan agama dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Kemudian, persekutuan ini mulai bernaung di bawah GKI Taman Cibunut Bandung. Mereka melaksanakan kebaktian setiap minggu di suatu rumah, tetapi tidak dapat dipertahankan karena ditolak oleh warga sekitar. Mereka lalu berpindah tempat.
Protes dan serangan terjadi bertubi-tubi hingga menyentuh klimaksnya pada 12 Desember 2010. Yohanes dan Binanga sempat menyebut bahwa dalang dari protes ini adalah sebuah organisasi di bawah FPI. Warga beramai-ramai mendemo Bajem Rancaekek dan menutupnya. Namun, penutupan ini tidak berdasar. Pemerintah kabupaten berdalih bahwa penutupan ini berdasarkan oleh kemauan warga. Rumah ibadah juga dilempari. Dua orang warga mencoba menghalangi lemparan, tetapi didorong oleh massa sampai jatuh ke selokan.
“Saya ngomong, ‘Pak, tolonglah, carikan kawan untuk minta izin biar gampang bagaimana.’ Dia bisik-bisik, ‘Wah, Pak, maaf. Kembali ke prinsip, kita tidak bisa secara vulgar membantu pengadaan gereja.’ Jadi, sudah nggak tahu hukum apa yang dipakai.”
Keesokan harinya, diadakan operasi alat-alat gereja. Yohanes melawan dan mengatakan bahwa semua barang umat adalah tanggung jawab yang besar. Barang-barang gereja kemudian dipindahkan ke GKI Taman Cibunut.
“Saya dicari dan saya datang. Ada dosen (nama universitas disamarkan) bilang, ‘Ini bukan tempat ibadah.’. Saya nggak diam diri. ‘Saya sudah dari tahun 94. Saya sudah ke (pemerintah) kabupaten, suratnya dijawab saja nggak. Padahal, kami ke sana dengan data.’”
Yohanes bahkan sempat sampai ‘diadili’ di kantor kabupaten oleh Polres, Dandim, Wakil Bupati, dan Birokesbang. Yohanes juga dituduh melakukan kristenisasi.
“‘Bapak tahu, nggak, itu rumah?’ ‘Ya, saya tahu itu rumah. Mengapa tidak diberi izin?’ Tidak ada yang membela. Saya sampai bilang, ‘Bapak punya sampah? Sampah itu ada yang mengangkut dan ada tempatnya. Silakan kami dianggap sampah, (tetapi) dicarikan tempat. Kalau kami dianggap pelacur, pejabat memberikan lokalisasi. Bapak enak, lho, istilahnya (kalau) rel itu dibuat masjid, nggak masalah. Boro-boro rel, Pak. Tempat sampah yang bau, (jika) kami bangun (gereja) di situ, dibakar kayaknya.’”
Sejak saat itu, jemaat Bajem Rancaekek tidak bisa beribadah di sana lagi dan biasanya ikut beribadah di GKI Taman Cibunut dengan berangkat menggunakan bus yang disediakan gereja.
“Kita itu memang orang yang nggak punya hak di Indonesia secara hidup agama. Dalam (persoalan) hidup yang lain, bolehlah. Tapi, kalau untuk gereja, hukumnya beda lagi.”
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Jemaat Bajem Rancaekek mengalami diskriminasi ganda: pelarangan dan penutupan rumah ibadah oleh warga sekitar serta diskriminasi dari pemerintah berupa penutupan secara sewenang-wenang dan akses perizinan pembangunan rumah ibadah yang dipersulit. Meski sudah belasan tahun beribadah di sana, warga tetap memprotes keberadaan rumah ibadah tersebut. Pemerintah juga melakukan pembiaran atas diskriminasi dan penyerangan tersebut serta ‘mengesahkannya’ dengan menutup rumah ibadah dengan dasar penolakan warga.
Hal ini diperparah oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat yang mengharuskan persetujuan warga sekitar atas pembangunan suatu rumah ibadah. Regulasi ini sangat menyulitkan pembangunan rumah ibadah bagi umat agama minoritas selain dapat melanggengkan tindakan diskriminatif dari umat agama mayoritas. Lewat regulasi ini, pihak yang terakhir disebut akan lebih mudah menuntut pembatalan pembangunan rumah ibadah agama lain.
Negara jelas telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, lebih dari itu, negara juga melakukan pelanggaran HAM dengan cara melakukan pembiaran diskriminasi. Negara (atau khususnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung) telah melanggar Pasal 71 dan 72 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kekerasan struktural
Johan Galtung menyebut pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah melembaga ke dalam hukum dan tindakan pejabat pemerintahan sebagai kekerasan struktural. Kekerasan yang mungkin tampak nyata adalah penutupan rumah ibadah oleh warga dan pelarangan peribadatan. Namun, pada dasarnya, kekerasan ini mengalami pelembagaan oleh negara. Inilah aspek yang menjadi tidak terlihat tetapi justru menjadi pokok.
Selain itu, kekerasan struktural muncul dari ketidaksetaraan power atau kuasa. Dalam kasus ini, ada dua relasi kuasa yang timpang. Pertama, antara jemaat Bajem Rancaekek yang adalah minoritas di daerahnya dengan umat Islam (terutama yang berasal dari organisasi FPI) yang adalah mayoritas. Kedua, antara jemaat Bajem Rancaekek yang adalah warga biasa dengan Pemerintah Daerah (dan Pemerintah Pusat yang membuat regulasi nasional) yang memiliki kuasa dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua relasi kuasa ini membuat pihak yang lebih kuat dapat bertindak sewenang-wenang, sebagaimana yang terlihat dalam tindakan-tindakan diskriminatif yang telah disebut di atas.
Ya, begitulah rasanya hidup jadi minoritas.
Patut diingat bahwa kasus Bajem Rancaekek hanyalah satu dari entah berapa banyak kasus pelanggaran atas kebebasan beragama yang tidak terangkat di Indonesia. Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mencatat bahwa lebih dari 430 gereja telah diserang sejak 2004. Itu baru yang tercatat.
Beragama adalah salah satu ekspresi pribadi manusia yang wajib dilindungi negara. Semua orang harus memiliki kemerdekaan atasnya tanpa diskriminasi, baik oleh sesama manusia lain maupun oleh negara. Jika ada satu orang saja yang belum memperoleh kemerdekaan tersebut, negara telah gagal melindungi Hak Asasi Manusia warganya.