Karakter Penjahat Terbaik Ada di The Glory

Karakter Penjahat Terbaik Ada di The Glory  

Oleh: Candra Aditya

 

Ada bagian yang selalu saya ingat di The Dark Knight (arguably the best Batman movie ever). Di adegan interogasi antara Batman (Christian Bale) dan Joker (Heath Ledger), Batman bertanya ke Joker yang waktu itu mendedikasikan waktunya untuk membuat hidup Batman tidak tenang, “Then why do you want to kill me?” Joker dengan gilanya malah tertawa dan membalas pertanyaan ini dengan, “I don't, I don't want to kill you! What would I do without you? Go back to ripping off mob dealers? No, no, NO! No. You... you... complete me.”

Mungkin itulah yang membuat The Dark Knight menjadi salah satu film Batman yang baik: karakter antagonisnya benar-benar sepadan. Joker hadir tanpa rencana. Dia tidak ingin kaya, populer atau menjadi bintang tamu podcast Deddy Corbuzier. Dia hanya ingin chaos. Dia adalah villain yang sempurna. 

Kata orang, sejago-jagonya karakter protagonis, kalau villain-nya medioker, maka pertandingannya tidak akan seru. Itulah sebabnya dari semua film Marvel hanya beberapa villain yang motivasinya make sense dan seru (I’m talking about Killmonger bukan Thanos). Dan itulah sebabnya The Glory, drama korea yang sedang anget-angetnya di Netflix, menjadi seru untuk ditonton: dia punya the perfect villain.

The Glory, yang dibintangi oleh Song Hye-kyo, adalah soal balas dendam. Ada banyak drama korea yang membahas soal ini sebenarnya (Reborn Rich, Itaewon Class, My Name, etc etc). Tapi The Glory menawarkan sesuatu yang sudah lama penonton ingin lihat: orang-orang kaya privileged yang biasanya kebal hukum akhirnya mendapatkan ganjarannya.

The Glory bercerita tentang Moon Dong-eun (Song Hye-kyo) yang menghabiskan 20 tahun terakhir untuk merencanakan balas dendam terhadap para pem-bully yang menyiksanya semasa SMA. Seperti halnya kasus bullying yang ternyata malah membuat kita tercerahkan soal kasus korupsi di negara kita, tokoh-tokoh pem-bully dalam serial ini adalah remaja-remaja berkuasa dengan orang tua kaya raya yang mau melakukan apa saja untuk melindungi anak mereka dari jeratan hukum. Orang tua-orang tua ini tidak peduli kalau anak mereka titisan setan. 

The Glory sukses melaksanakan tugasnya (baca: menawarkan katarsis) karena ia memiliki karakter villain yang sungguh paten. Ini mungkin pertama kalinya saya teriak-teriak di depan TV sejak The World of the Married tiga tahun lalu. Kim Eun-sook, penulis The Glory, menciptakan lima tokoh fiksi pem-bully yang sangat paten. Semua hal buruk yang Anda bisa bayangkan ada disini semua. Orang-orang narsis, egois, seenaknya sendiri, self-centered, backstabber ternyata bisa melakukan hal-hal gila seperti membunuh dan memperkosa.

Bagian terbaiknya? Kim Eun-sook sama sekali tidak repot-repot untuk mengisi karakter-karakter ini dengan positive traits. Tidak ada karakteristik tiga dimensi seperti yang pembuat Dahmer lakukan. You’re trying to make me sympathize with the killer? No thanks. 

Beberapa diantara pem-bully memang sayang dengan keluarga mereka. Tapi selebihnya? Tidak ada. Keputusan ini membuat The Glory menjadi sangat asyik untuk disaksikan. Karakter villain-nya benar-benar dibuat busuk sehingga mudah sekali bagi penonton (baca: saya) untuk mendukung apapun yang dilakukan oleh karakter Song Hye-kyo. Bahkan kalau Dong-eun memutuskan untuk menyekap orang-orang ini dan melakukan hal-hal yang dilakukan oleh orang kaya di film-film Hostel, saya akan tetap mendukungnya.

Lima pem-bully Dong-eun semuanya memiliki dosa yang sangat fatal. Aside for bullying, masing-masing karakter sangat memuakkan, semua penonton The Glory menunggu lima karakter ini mendapatkan hukuman. Jeon Jae-joon (Park Sung-hoon) menggunakan perempuan sebagai objek. Choi Hye-jeong (Cha Joo-young) terlalu mata duitan sampai ia bisa loncat dari satu cowok ke cowok lain seperti tengu. Lee Sa-ra (Kim Hi-eora) mengkonsumsi narkoba seperti mbak-mbak Twitter mengkonsumsi seblak. Son Myeong-oh tidak hanya opportunist tapi juga literal rapist.

Tapi Joker-nya The Glory ada di tangan Park Yeon-jin (Lim Ji-yeon). Ia menyiksa anak orang tanpa pikir panjang. Tidak hanya orang ini sangat elitist tapi ia juga luar biasa munafik. Dia bisa saja bersikap manis ke suaminya padahal anaknya adalah hasil dari eue-eue persahabatan dengan teman satu gengnya. Ia terlihat seperti mom of the year di depan anaknya, padahal ia menyiksa orang lain hanya karena dia tahu dia tidak akan mendapatkan any kind of repercussions.

Tapi mungkin bagian terburuk dari Park Yeon-jin adalah ini: dia sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk menyesal. The “no remorse” part of her character adalah hal yang membuat balas dendam Dong-eun menjadi make sense. Manusia adalah tempatnya salah. Kita bisa belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya karena kita pernah melakukan kesalahan dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan tersebut. Park Yeon-jin tidak memiliki kemampuan ini. Dia menolak untuk melakukan ini.

Di awal episode 9, episode pertama bagian kedua The Glory yang ditunggu-tunggu semua penontonnya, Dong-eun bertemu dengan Park Yeon-jin untuk memberikan get out of jail free card. Dong-eun akan membuang semua plan balas dendamnya kalau Yeon-jin mau minta maaf ke ibu korban bully dia. Yeon-jin bukannya menerima tawaran ini, ia malah mengucapkan dialog terbaik sepanjang masa, “Why do the poor always believe in things like poetic justice or karma?”

Karakter yang sudah keren ini kemudian dimainkan oleh Lim Ji-yeon dengan luar biasa jenius. The Glory memang panggungnya Song Hye-kyo, tapi tanpa Lim Ji-yeon sinar Song Hye-kyo tidak akan seterang itu. Lim Ji-yeon memainkan Park Yeon-jin dari dalam hati. Matanya menyala dengan kebencian. Senyum bengisnya membuat mukanya menjadi jelek. Ini hal yang sepertinya mustahil karena Lim Ji-yeon sangat cantik. Tapi ia memainkan Park Yeon-jin dengan sebegitu baik, keburukannya tersirat di ekspresi wajahnya.

Kalau Song Hye-kyo bermain dengan agak lebih subtle (hampir semua adegannya terdiri dari lebih dari satu emosi), Lim Ji-yeon tidak pernah takut untuk tampil larger-than-life. Aktingnya kadang teatrikal, teriakan kekesalannya kadang berlebihan. Tapi semua itu menjadikan Park Yeon-jin menjadi utuh. Karakter seperti dia memang tidak layak untuk diberi layer yang dalam. Minimnya humanity dalam karakternyalah yang menjadikan The Glory jaya.

 

The Glory dapat disaksikan di Netflix