Terlalu banyak produk budaya populer yang menempatkan perempuan sebagai sumber penderitaan laki-laki. Karya fiksi tentang perempuan yang membuat tuduhan pemerkosaan palsu adalah salah satu contohnya. Dalam kisah-kisah yang dapat kita temukan di berbagai medium itu, baik lembaran kertas hingga bentangan layar. perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dapat menghancurkan hidup seorang laki-laki tak bersalah.
John Steinbeck, seorang penulis berpengaruh dari Amerika Serikat dan penerima Nobel Sastra 1962 “untuk tulisan-tulisannya yang realistik dan imajinatif” juga menciptakan karakter perempuan yang membuat tuduhan pemerkosaan palsu di sebuah karya fenomenalnya berjudul Of Mice and Men.
Salah seorang karakter sampingan dalam novel itu adalah seorang gadis yang membuat kehidupan seorang karakter laki-laki bernama George kesulitan. Perempuan itu menuduh George telah memperkosanya. Namun, seberapa realistiskah cerita perempuan melakukan tuduhan pemerkosaan palsu?
Kenyataannya, tuduhan palsu kekerasan seksual itu secara ekstrem sangat jarang ditemukan. Brown University menyebutkan bahwa laporan palsu kekerasan seksual terlalu dibesar-besarkan karena jumlahnya hanya sekitar 2% sampai 10% saja, sejajar dengan tingkat laporan palsu kejahatan lainnya. Kurangnya pemahaman tentang dinamika kekerasan seksual adalah salah satu sebab mengapa laporan palsu ini dibesar-besarkan.
Perempuan: Karakter Sampingan, Tambahan Konflik Hidup Laki-laki
Pada 2019 lalu, anime Jepang yang tayang di Netflix berjudul The Rising of the Shield Hero memuat tokoh perempuan licik yang menjebak seorang karakter laki-laki dengan tuduhan pemerkosaan palsu. Untuk menghancurkan hidup laki-laki tersebut, ia mengaku diperkosa. Walhasil, si laki-laki terancam dihukuman mati karena pemerkosaan adalah kejahatan berat dalam semesta yang dibangun anime tersebut.
Berkaca dari karya-karya di atas, apakah mudah bagi seseorang untuk melaporkan kejadian pemerkosaan? Anggapan bahwa mudah bagi korban melaporkan pemerkosaan yang dialaminya itu adalah miskonsepsi. Kenyataannya, penelitian nasional dan internasional secara konsisten menunjukkan bahwa pemerkosaan jarang dilaporkan, jarang diajukan ke meja hijau, dan pelakunya jarang dihukum.
Tidak seperti pada beberapa karya yang menunjukkan perempuan mudah untuk melaporkan pemerkosaan hingga membuat tuduhan palsu, juga akan betapa tegasnya masyarakat memberikan konsekuensi atas kasus kekerasan seksual. Kenyataannya, ada banyak hambatan yang dialami korban sebelum dapat melaporkan kasus pemerkosaan. Maraknya kecenderungan menyalahkan korban (victim blaming) adalah salah satunya.
Bukannya berfokus kepada bagaimana pemulihan korban dan memberikan hukuman kepada pelaku agar jera dengan tindakannya, masyarakat hingga penegak hukum malah mempertanyakan kenapa pemerkosaan tersebut bisa terjadi lantas memojokkan korban. Belum apa-apa, korban langsung dituduh telah melakukan melaporkan pemerkosaan palsu.
Padahal, sebuah kasus bisa diberi label sebagai tuduhan palsu karena berbagai hal, bukan hanya karena kasus pemerkosaan tidak terjadi. Seorang kriminolog, Bianca Fileborn dari University of Melbourne mengatakan label tuduhan palsu muncul ketika tidak ada cukup bukti untuk mendukung laporan atau ketika polisi telah memutuskan bahwa orang tersebut tidak dapat dipercaya. Label yang sama bisa muncul ketika laporan kasus tidak dilanjutkan oleh korban.
Law and Order season 16 episode 18 juga menampilkan tokoh perempuan yang mengaku diperkosa oleh empat orang. Malangnya, ternyata ia memang diperkosa oleh salah satu dari empat orang yang dia laporkan. Itu sebabnya ia dianggap telah membuat tuduhan pemerkosaan palsu.
Di film Ayat-ayat Cinta, ada karakter utama bernama Fahri, seorang laki-laki baik yang harus mendekam di penjara karena difitnah memperkosa seorang karakter perempuan sampingan yang mencintainya selama ini. Di dalam bui, Fahri bersabar dan tetap menuntut ilmu. Setelah melewati berbagai badai, juga melakukan poligami, ternyata Fahri terbukti bukan seorang pemerkosa. Belakangan diketahui bahwa karakter sampingan itu diperkosa oleh ayah tirinya.
Kalau dipikir-pikir, menyedihkan ya jadi tokoh perempuan, sampingan pula, pada karya-karya di atas. Karakter perempuan itu ditempatkan sebagai makhluk yang tidak berdaya. Mereka cuma hadir sebagai objek perkosaan dan tambahan konflik hidup yang dihadapi oleh tokoh laki-laki. Kiasan women in refrigerator (perempuan di dalam kulkas) muncul saking umumnya formula dalam fiksi yang menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi dalam karya-karya budaya populer.
Kiasan Women in Refrigerator yang Terus Relevan
Women in refrigerator muncul lewat kritik Gail Simone di websitenya pada 1999. Kiasan ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana perempuan hanya dieksploitasi di dalam sebuah cerita. Simone membuat daftar karakter perempuan dalam komik yang ditulis dengan buruk. Beberapa diubah menjadi karakter yang jahat, terjangkit penyakit, dan dihilangkan kekuatannya. Bahkan ada kesan bahwa kehadiran perempuan dalam cerita seakan-akan hanya untuk disiksa, diperkosa, lalu dibunuh.
Kiasan itu merujuk kepada komik Green Lantern #54 ketika karakter utamanya pulang ke rumah dan menemukan kekasihnya telah dibunuh dan dimasukkan ke dalam kulkas. Ya, yang menulis cerita dalam buku ini adalah seorang laki-laki bernama Ron Marz.
Tentu kita tidak asing dengan sosok perempuan yang dibunuh dalam karya yang ditulis laki-laki. Alfred Hitchcock adalah salah satu ahlinya. Pembunuhan perempuan dapat disaksikan di Psycho, Shadow of a Doubt, dan Rear Window. Perempuan hadir di dunia yang dibangun oleh Hitchcock untuk mengalami pengalaman mengerikan hingga kematian. Bahkan, Hitchcock membangun dunia di mana para perempuan menerima balasan atas dosa yang telah mereka perbuat.
Kiasan women in refrigerator masih relevan sampai sekarang mengingat ketidakadilan yang diterima tokoh perempuan di dunia fiksi ciptaan laki-laki.
Biang Kerok Api Kebencian di Diri Laki-laki
Tentu tidak hanya itu. Karakter perempuan juga sering dianggap sebagai biang kerok dari kejahatan yang dilakukan tokoh laki-laki. Perempuan, singkatnya, mengubah laki-laki menjadi monster.
Video klip “Another Brick in The Wall (Part 2)” milik Pink Floyd adalah salah satu contohnya. Di video yang dilarang pemerintah Afrika Selatan setelah liriknya digunakan anak-anak sekolah untuk memprotes pendidikan di bawah apartheid itu terdapat scene yang memperlihatkan hubungan antara si guru penindas dengan pasangannya di ranah domestik. Di meja makan, sang istri terlihat mengintimidasi si guru penindas. Tepat setelah adegan itu, muncul adegan si guru menindas murid-muridnya.
Kok bisa sebuah video klip lagu progresif tentang ketertindasan di sistem pendidikan gagal melihat ketertindasan berbasis gender? Meski terlihat menyepakati fakta penindasan dan kelas, karya ini mengalamatkan masalahnya kepada perempuan. Dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan minimnya hak perempuan beserta jaminannya, tidakkah penyebutan perempuan sebagai makhluk kelas kedua (the second sex, merujuk Simone de Beauvoir) semakin relevan?
Hingga hari ini, formula perempuan villain membuat laki-laki berubah menjadi monster dapat ditemukan di banyak produk budaya pop. Cerita laki-laki pembunuh yang motivasinya dilatarbelakangi trauma dan buruknya hubungan dengan sang ibu atau karena mengalami penolakan dari perempuan yang dicintainya sangat umum ditemukan. Banyak karya berbentuk buku, film, hingga serial televisi tidak menunjukkan sensitivitas terhadap korban meski diangkat dari kisah nyata. Filmnya malah menyuguhkan gambaran betapa charming-nya si pembunuh. Bahkan, kita dibuat bersimpati atas apa yang dialaminya sampai-sampai bisa jadi pembunuh dingin. Karakter-karakter villain ini memang menyakiti tokoh perempuan. Di sisi lain, karya-karya tersebut menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah karena telah menciptakan monster-monster pembunuh dan menyulut api kebencian dalam diri mereka.
Mirisnya, kisah pembunuhan berantai paling sering dimulai dengan pembunuhan seorang pelacur. Bahkan, korban-korban pembunuhan berantai sebagian besar adalah pelacur. Inilah efek dari kisah Jack the Ripper. Perempuan dibuat takut karena dianggap pantas untuk mendapatkan hukuman dari tindakan yang dianggap amoral di masyarakat. Pekerja seks ini dianggap sebagai karakter yang mudah digantikan atau dihilangkan dalam karya-karya budaya populer yang melibatkan pembunuhan oleh laki-laki.
Aggrieved Entitlement
That chemical vapor—it turned my hair green, my lips rouge-red, my skin chalk white! I look like an evil clown! What a joke on me!
-Joker pada Detective Comics #168
Menurut hikayat populernya, tokoh Joker ada karena ia jatuh ke larutan kimia yang mengubah kondisi mentalnya menjadi gila. Versi lebih gelap dan dramatisnya bisa kita temukan lewat Novel Grafis Batman: The Killing Joke karya Alan Moore yang juga melahirkan Watchmen dan V for Vendetta.
Tapi, ada yang berbeda dari Joker (2019) karya Todd Phillips. Ibu Arthur dikisahkan punya peran yang sangat besar dalam transisi Arthur menjadi Joker. Penny Fleck, seorang ibu tunggal sakit jiwa adalah alasan utama di balik penderitaan seorang Joker. Lagi-lagi karya tersebut terlihat setuju akan adanya ketertindasan dan kelas di masyarakat kita ini. Namun, ujung-ujungnya mereka mengatribusikan masalahnya kepada perempuan.
Tak lupa, ada percikan obsesi Arthur terhadap perempuan ibu tunggal kulit hitam sampai-sampai ia menguntitnya. Tidak hanya dianggap sumber masalah, perempuan kelompok minoritas dibuat semakin rentan oleh Todd Phillips.
Sebelumnya, film-film Todd Phillips memang terkenal menyinggung perempuan dan queer. Menanggapi itu ia menyampaikan, “Go try to be funny nowadays with this woke culture.”
Jadi kenapa sih laki-laki (khususnya kulit putih) merasa bahwa dirinya tersakiti? Sosiolog Michael Kimmel menjelaskan fenomena ini pada bukunya yang berjudul Angry White Men: American Masculinity at the End of an Era.
Kimmel melihat laki-laki merasa syok menyaksikan perubahan sosial di masyarakat. Dulu kedudukan sosial dan privilese laki-laki tak tertandingi dan kini, demikian Kimmel, zaman itu telah berakhir. Ekspresi perasaan syok inilah yang disebut sebagai aggrieved entitlement; laki-laki (kulit putih) merasa keuntungan-keuntungan yang diyakini sebagai hak mereka telah direnggut.
Mereka terusik dan terancam oleh semakin berdayanya perempuan dan imigran. Laki-laki—terutama kulit putih—straight, merasa kehilangan dominasi sosial dan ekonomi yang mereka anggap seharusnya menjadi milik mereka. Kini mereka merasa tertindas dan powerless.
Sulit bagi Joker versi Todd Phillips, Angry White Men—Incel, pelaku penembakan massal, juga barisan Make America Great Again (MAGA)—untuk membidik patriarki. Menyerang patriarki tidak akan menguntungkan mereka. Pertanyaannya, akan berakhir di manakah obsesi mereka memperbaiki masyarakat dengan cara menyalahkan perempuan sebagai sumber penderitaan?Jadi, apa yang dipikirkan laki-laki ketika membuat karya? Mengapa terus membuat perempuan dalam posisi rentan?