Makan bubur diaduk atau tidak diaduk adalah soal preferensi belaka, tapi makan lemper sekaligus dengan bungkus daunnya adalah kecerobohan kalau tak bisa disebut kebodohan.
Di Amerika tak ada lemper, tapi ada tamale yang secara penyajian dan cara makannya mirip. Makanan khas Meksiko ini terbuat dari masa–sejenis adonan tepung jagung, biasanya diisi buah atau daging, dan dibungkus daun atau kulit jagung. Bedanya, tamales dimakan menggunakan roti.
Pada 1976, Gerald Ford sedang kampanye sebagai petahana dari Partai Republikan di San Antonio, Texas. Setelah lelah berkeliling kampanye di situs sejarah Alamo, seseorang memberinya tamale di atas piring. Ia langsung melahap tamale tanpa membuka bungkusnya dan langsung keselek.
Keesokan harinya, koran-koran di Texas memuat foto Ford tersedak tamale dengan judul: Presiden Ford Gagal Paham Cara Makan Tamale. Yang terjadi setelahnya adalah sejarah. Jimmy Carter, lawannya dari Partai Demokrat, merebut semua suara di Texas.
Momen tersebut dikenal sebagai Insiden Tamale. Banyak politikus Demokrat yang bilang Ford sebetulnya tahu cara makan tamale karena sebelumnya pernah memakannya. Saat itu ia hanya kelaparan usai seharian kampanye, sehingga langsung melahap saja tamale yang diberikan kepadanya.
Seluas-luasnya samudera memang lebih luas alasan politikus. Tapi, apapun alasannya, yang pasti kejadian itu menjadi salah satu insiden food faux pas atau kecerobohan terkait makanan terburuk yang menimpa politikus dalam sejarah dunia.
Benar, salah satu. Karena setelah Ford banyak politikus dunia yang melakukan food faux pas. Siapa saja?
NO |
Teks |
Gambar |
1. |
Semua orang tahu makan ayam KFC harus pakai tangan kosong. Menyobek kulit ayam KFC yang lembut, gurih, dan penuh minyak dengan jemari, lalu menjilatinya setelah usai, adalah salah satu kenikmatan surgawi yang diturunkan Tuhan lewat Colonel Sanders ke dunia. Tapi, tidak bagi Donald Trump. Ia memilih menggunakan garpu dan sendok untuk memakan sebuah dada mentok ayam KFC. Faktanya, KFC adalah makanan favorit kelas pekerja di AS. Kesalahan cara Trump memakannya tentu berbanding terbalik dengan citranya sebagai pemimpin populis yang ingin menjadikan America great again! |
|
2. |
Segala sesuatu pasti diciptakan dengan tujuan. Begitu juga dengan contong es krim yang tercipta untuk memudahkan manusia menjilati es krim tanpa ribet cari alat makan. Maka, makan es krim contong dengan sendok seperti dilakukan Barack Obama, tentu saja mengkhianati maksud dari tujuan penciptaan contong es krim. |
|
3. |
Makan hot dog memang semestinya belepotan. Dengan demikian kita bisa mendapati sensasi menjilati sisa mayonaise yang menempel di bibir dan jari. Semestinya, mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron tahu itu. Tapi, menjaga penampilan di depan kamera rupanya lebih penting baginya. Ia pun memakan hot dog dengan pisau dan garpu. Membuatnya tampak aneh. Benar saja, fotonya melakukan hal itu jadi bahan baku meme yang laris di Inggris. |
|
4. |
Senasib dengan David Cameron, foto mantan pemimpin Partai Buruh Inggris Ed Miliband yang sedang makan sandwich bacon ini menjadi meme olokan di internet di tengah pemilu. Ia dianggap mengejek salah satu makanan favorit buruh Inggris ini yang kontras dengan posisinya saat itu. Kekalahannya dalam pemilu pada 2015 dihubungkan dengan foto ini. |
|
5. |
Last but not least, inilah dia foto yang viral belakangan setelah empunya, Puan Maharani, mengunggahnya di akun twitter pribadinya. Politikus PDIP yang kini sedang berusaha meraih dukungan parpol untuk menjadi capres pada pemilu 2024, menyebut foto pertemuannya di warung pecel dengan Ketua Umum PKB pada 25 September 2022 lalu sebagai simbol partainya milik “wong cilik, partainya wong sendal jepit”. Tapi, alih-alih mendapat pujian dari wong cilik, foto ini justru dirujak netizen salah satunya karena keberadaan durian montong sebagai pencuci mulut yang mahal dan tak mencerminkan kudapan wong cilik. Benar juga sih hehe |
|
Sumber: https://www.eonline.com/news/784619/you-re-doing-it-wrong-9-politicians-who-forgot-how-to-food; https://www.mirror.co.uk/news/politics/best-politician-food-fails-theresa-27781254: https://twitter.com/puanmaharani_ri/status/1573932849610518528?s=20&t=F517ddXm6CMaVGw_aq-d0Q. |
s |
Karena Rasa Tak Pernah Bohong
Sebelum seluruh insiden food faux pas itu terjadi, makanan telah lama menjadi taktik komunikasi politik bagi politikus untuk merebut hati pemilih. Polanya pun selalu sama: menampilkan diri memakan makanan kelas pekerja kalau tak bisa disebut orang miskin agar terlihat menjadi bagian dari mereka.
Pada 1840, makanan jadi alat William Henry Harrison untuk mengalahkan petahana Martin Van Buren. Partai Whig yang menominasikan Harrison saat itu, menjadikan sari buah apel sebagai alat untuk menunjukkan sosok kandidatnya merakyat.
Partai Whig menampilkan foto Harrison di sebuah pondok kayu dengan sebuah tong sari apel di depannya. Hal ini dilakukan karena para pendukungnya menyarankan Harrison minum sari buah apel seperti orang Amerika asli.
Harrison bukan kelas pekerja. Ia orang kaya sebagaimana Van Buren. Tapi kampanye yang kemudian diamplifikasi anggota kongres dari Pennsylvania Charles Ogle dalam pidatonya di DPR–yang membandingkan potret tersebut dengan meja makan Van Buren di istana presiden lengkap dengan menu sup kura-kura, bebek, dan sampanye–sukses membuat Harrison memenangi pemilu.
Hal itu membuktikan pernyataan Roland Barthes, bahwa makanan adalah sebuah sistem komunikasi yang memberi banyak informasi melalui tanda. Makanan menunjukkan citra tubuh, panduan pengguna, sampai situasi dan kebiasaan seseorang. Sehingga, di atas panggung politik yang penuh dengan pertarungan tanda dan simbol, kekuatan makanan sangat menentukan.
Para politikus tentu saja ingin mengikuti jejak Harrison dan kita sudah banyak melihatnya. Tapi, pelbagai insiden food faux pas yang menimpa Ford, Trump, sampai Puan, menunjukkan tak semudah itu menjadikan makanan sebagai taktik komunikasi politik.
Setiap manusia punya selera terhadap makanan yang mempengaruhi cara mereka makan. Sementara, kata Bourdieu dalam La Distinction, preferensi selera berkembang dari kebiasaan seseorang, atau keadaan dari pengalaman hidup seseorang. Sehingga, selera berkaitan erat dengan stratifikasi sosial seseorang, termasuk pada makanan.
Seorang yang tumbuh dari kalangan elite, seperti kebanyakan politikus, telah memiliki etika makan khusus sesuai dengan menu makanan keseharian mereka. Seperti menggunakan garpu dan pisau karena makanan mereka pada umumnya berbasis daging segar. Mereka pun mengenal berbagai jenis sendok, dari mulai sendok sup sampai sendok nasi, karena keragaman hidangan di meja makannya.
Etika makan tersebut berbeda dengan para kelas pekerja yang hanya memiliki menu terbatas di meja makannya. Kesibukan juga membuat kebanyakan kelas pekerja tak punya waktu untuk berlama-lama makan, apalagi di meja makan. Maka, menu yang cocok bagi mereka adalah makanan instan yang cenderung tak butuh banyak waktu dan perlengkapan untuk memakannya. Dalam konteks Amerika dan Eropa, misalnya roti lapis dan burger.
Tentu seseorang bisa mempelajari berbagai etika makan berbeda, termasuk para politikus. Tapi, kebiasaan lama yang terus dilakukan selama bertahun-tahun setiap hari, pun tentu tak mudah berubah. Apalagi ketika mempelajarinya hanya untuk momen politik. Ketika pengarah gaya dan pendamping komunikasi para politikus lalai, seperti yang konon terjadi dalam kasus Gerald Ford, food faux pas tak bisa dihindari.
Lagi pula, seperti kata iklan kecap, rasa tak pernah bohong!