Kawalu, Ramadhan Ala Suku Baduy

Tulisan ini bermula dari bujuk rayu admin media sosial Jurno, Acha, yang ngebet ingin pergi ke Baduy. Ia meracuni kepala saya tentang betapa indahnya alam di Ciboleger, adat istiadatnya, dan keseruan lain yang tak akan saya dapatkan di ibukota. “Lu rileks, sambil cari inspirasi nulis aja di sana,” ujar Acha. Kalimat maut tadi membuat saya terpincut untuk menulis soal suku ini. Dalam perjalanan trekking, sembari ngos-ngosan, kami membahas soal bulan Ramadhan bagi suku Baduy, yaitu bulan Kawalu. 

Berpuasa di Suku Baduy
Sebelum memasuki tentang puasa suku Baduy, saya hendak menceritakan sedikit asal muasal penyebutan “Baduy”. Suku Baduy sebenarnya memiliki sebutan asli suku Kanekes, sebab kehidupan asli mereka berada di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Sementara, sebutan Baduy justru datang dari orang luar suku Baduy sendiri. Sebutan itu berasal dari para peneliti Belanda yang melihat kemiripan cara hidup mereka yang nomaden dengan kelompok Arab Badawi di Timur Tengah. Kalau orang Baduy sendiri, sih, sebenarnya lebih suka disebut sebagai suku Kanekes. Namun justru sebutan suku Baduy yang jadi lebih populer.

Masuk ke segmen yang jadi topik utama pembahasan, apa yang disebut sebagai bulan puasa dari suku Baduy disebut dengan Kawalu. Kawalu merupakan praktek puasa yang dilakukan setiap tanggal 18-19 selama tiga bulan berturut-turut sesuai Kolenjer, kalender suku Baduy. Puasa ini dilakukan selama bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang mana di tahun ini berlangsung dari 13 Februari 2024 sampai 13 Mei 2024.

Sebelum berpuasa, sebanyak 300-400 orang akan berburu tupai, kancil, dan kijang untuk dimasak menjadi lauk. Selanjutnya, mereka melaksanakan Rebugan Wetu, yaitu kegiatan menumbuk padi di lesung secara bersama. Padi ini merupakan hasil panen kolektif—setiap keluarga punya minimal kontribusi sebanyak dua ikat padi. 

Selama tiga bulan itu, suku Baduy akan menutup kunjungan sementara. Setelah Kawalu selesai, akan datang bulan Sapar. Tepat di hari pertama bulan Sapar, masyarakat Baduy mengadakan upacara Seba, yaitu bulan puncak Kawalu. Sekitar 1000 orang Baduy akan berjalan ke kantor pemerintahan Lebak untuk memberikan hasil panen seperti padi, singkong, durian dll untuk diberikan kepada Bupati Lebak. 

Penasaran sama tradisi Kawalu? Simak wawancara saya dengan Kang Sapri, salah satu orang asli dari Baduy Dalam. 

Vanni: “Gimana awal mulanya muncul tradisi Kawalu ini, kang?”

Kang Sapri: “Bulan Kawalu berasal kepercayaan yang dilestarikan dari leluhur Sunda dari masa lampau. Dilakukan setiap tanggal 18 karena sejak dari leluhur sudah diterapkan seperti itu. Jadi setiap tanggal 18 mulai menumbuk padi, tanggal 19-nya kami berpuasa.”

Vanni: “Kalau untuk ngebatalin puasa, yang dimakan apa aja, Kang?”

Kang Sapri: “Pertama dan wajib, kami akan nyirih atau nyepah yang dikunyah.”

Vanni: “Usia berapa suku Baduy mulai wajib puasa?”

Kang Sapri: “Kalau laki-laki, setelah disunat sudah wajib menjalani puasa. Kalau perempuan, mereka wajib berpuasa setelah peperan. Peperan itu sejenis selamatan atau hajatan, biasanya perempuan mulai usia 7 tahun sudah mulai peperan.”

Vanni: “Soal berburu tadi, kenapa perayaannya berburu, Kang? Alasan sejarahnya apa?”

Kang Sapri: “Pertama, berburu itu buat lauk untuk buka puasa nanti. Lauk yang kita makan harus dari hasil buruan sendiri. Untuk hidangannya nanti juga kita berikan kepada kepala suku. Di hari H puasa itu, kita nanti akan ada nasi satu bungkus yang harus dimakan bertiga, kecuali kepala suku. Kepala suku akan makan satu piring panjang.”

Vanni: “Kenapa satu orang harus makan bertiga, Kang?”

Kang Sapri: “Kalau untuk itu, memang sudah aturan adatnya. Kami suku Baduy hanya menjalankan amanat saja. Kami nggak pernah bertanya alasan kami harus melakukannya. Pertama, kalau kita tahu alasannya, suku Baduy sendiri jadi takut kalau kita jadi ‘merasa lebih tahu’ atau ‘sok tahu’. Kita yang penting menjalankan komitmen adat kita.”

Vanni: “Kira-kira ada nggak hubungannya antara puasa Baduy dengan puasa Islam?”

Kang Sapri: “Sebenarnya sebutan ‘puasa atau Ramadhan-nya Baduy’ itu datangnya dari kita sendiri. Kalau dari kepercayaan, tata cara, tugas beda. Di Baduy itu nggak sahur. Misalnya dari jam 8 sore udah makan, tidur, terus nunggu sore baru buka dan kita nggak boleh makan dan minum apapun sama sekali. Pokoknya patokannya dari tidur. Kalau tidur di di atas jam 12 malam, puasanya udah nggak sah.”

Vanni: “Kalau orang di luar apakah akhirnya jadi terbiasa menyebut upacara puasa ini sebagai Kawalu?”

Kang Sapri: “Saya kira juga hanya orang Baduy saja yang menyebut puasa kita sebagai bulan Kawalu. Di kata bahasa nasional juga belum ada.”

Vanni: “Sudah dapat dukungan dari pemerintah?”

Kang Sapri: “Sejauh ini belum sih, soalnya Baduy sudah cukup. Soal hubungan dengan pemerintah itu puncaknya di Seba aja, Seba itu bagian dari Kawalu sendiri.”

Vanni: “Kalau misalkan tubuh lagi nggak bisa puasa, kalau dalam Islam misalnya, kita lagi haid atau sakit, diizinkan untuk nggak puasa, tapi nanti harus ganti puasanya. Kalau di Baduy sistem penggantian puasanya gimana?”

Kang Sapri: “Kalau kita nggak ada kata ngulang untuk puasa. Kalau lagi nggak puasa ya nggak puasa aja, perempuan yang lagi haid juga nggak ikut puasa Kawalu, cuma nggak harus mengganti puasanya.”

Vanni: “Apa yang menurut Akang unik dari puasa Kawalu ini, apa yang orang nggak ketahui?”

Kang Sapri: “Kalau kita, intinya titik batalnya lewat nyirih. Kalau di luar kan berbagai macam adat puasa ada yang misal minum air putih udah pasti batal, kalau kita kuncinya di nyirih.”

Dari hasil obrolan saya dan Kang Sapri, saya pun bertanya-tanya kenapa sirih menjadi titik pembatalan puasa. Ketika saya tanyakan, Kang Sapri sendiri menjawab suku Baduy tidak mendalami soal itu, yang penting mereka menjalani apa yang sudah diperintahkan leluhur. 

Percakapan kami pun berakhir sebab sudah terlampau larut. Saya pun kembali ke rumah Ambu—begitu di Baduy ketika kita memanggil seorang Ibu, semua orang sudah terlelap dan saya pun segera menyusul mereka sembari bahagia sepanjang pendakian saya, saya pulang dengan mengantongi informasi langsung dari orang suku Baduy dalam.