Kawanku Pembunuhku

Langit Manchester yang biasanya kelabu menjadi biru karena musim panas. Angin kencang memang sesekali menerpa tetapi kau takkan dibuatnya menggigil. Hari itu, 29 Juni 2003, dua sahabat yang sama-sama masih remaja, Mark dan John, tengah menikmati hangatnya hari itu di seputaran Trafford Centre.

Meski memiliki kata "centre" di namanya, Trafford Centre tak berada di tengah kota Manchester. Pusat perbelanjaan yang berdiri pada 1998 tersebut terletak sekitar 8 kilometer dari pusat kota. Sebagai pusat perbelanjaan modern, Trafford Centre memang merupakan tempat populer di kalangan anak muda untuk menghabiskan waktu senggang.

Melihat anak-anak seperti Mark dan John di sana bukan sesuatu yang aneh. Akan tetapi, ada yang tidak biasa dari gelagat Mark hari itu. Mark, 16 tahun, mengajak John yang dua tahun lebih muda untuk berjalan memasuki sebuah gang buntu. 

Sepintas tidak tampak perbedaan usia antara Mark dan John karena, meski lebih muda dua tahun, John terbilang tinggi untuk anak seusianya. Ayunan kaki John cukup lebar tetapi dia memutuskan untuk tidak berjalan sejajar dengan Mark. Ada jarak sekitar 1-2 meter di antara mereka.

Belum sampai ke ujung jalan, Mark berhenti dan berbalik arah. Tangan kirinya kemudian memegang bahu John. Sementara, di tangan kanannya terhunuslah sebilah pisau besar. Sejurus kemudian, pisau itu dihujamkan Mark ke perut John.

"Maaf ya, Bro," ucap Mark sambil mencabut pisau itu dari perut John. Sebelum John bisa berkata apa-apa, Mark kembali menusukkan pisau tersebut, kali ini ke arah dada John. Seketika, John ambruk ke tanah tetapi masih dalam kondisi sadar. Matanya menatap tak percaya ke arah Mark dan dia pun berkata, "Kau membunuhku!"

Mark menjawab, "Maaf. Kalau kau tahu semua detailnya, kau pasti paham mengapa aku melakukan ini."

Setelah Mark berkata demikian, John kehilangan kesadaran. Namun, Mark tak segera beranjak. Selama kurang lebih 20 menit dia hanya berdiri dan menunggu, memastikan John telah tewas. Setelah merasa yakin sahabatnya ini sudah tak lagi bernyawa, barulah Mark bertindak. Dia menelepon 999 dan berkata "ada orang gila yang menyerang John dengan pisau". Mark meminta ambulans segera datang. .

***

Tak ada yang spesial dari Mark. Dia adalah sosok yang tak terlihat yang kehidupannya benar-benar biasa saja. Prestasinya di sekolah tak bagus-bagus amat, jago berolahraga juga tidak. Untuk mencari uang saku tambahan, Mark bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran di Greater Manchester. Namun, selepas itu dia tak punya kehidupan lain.

John sedikit berbeda. Dia cukup pandai dan memiliki karisma natural yang membuat orang mudah menyukainya. Akan tetapi, kehidupan John kala itu tidaklah menyenangkan. Ibunya ketika itu tengah menjalin hubungan dengan seorang pria yang seringkali pergi tanpa pamit. Situasi itu membuat ibu John depresi dan John sendiri merasakan efeknya. Satu hal yang diinginkan John kala itu adalah minggat dan mencari kehidupan baru.

Mark dan John dipersatukan oleh internet, tepatnya di sebuah chat room yang dihuni banyak anak muda saat itu. Mereka berdua sama-sama mencari jalan keluar dari kehidupan nyata yang tidak menyenangkan.

Awalnya, Mark-lah yang lebih aktif berinteraksi di chat room. Dia berkenalan dengan banyak orang, termasuk seorang gadis bernama Rachel yang seumuran dengannya. Mark langsung jatuh cinta kepada Rachel dan tak lama kemudian mereka pun resmi berpacaran walau hanya secara virtual.

Setelah mulai berpacaran, Mark dan Rachel berbincang nyaris tanpa henti di chat room. Sampai akhirnya, Rachel berinisiatif untuk mengenalkan seorang kawannya, juga di chat room tersebut, kepada Mark. Menurut Rachel, Mark dan kawannya ini punya banyak kecocokan sehingga mereka bisa juga menjadi teman. Teman yang dimaksud Rachel itu adalah John.

John yang mulanya cuma bertindak sebagai silent reader di chat room mulai aktif berinteraksi ketika dia dibelikan sebuah laptop oleh ibunya. Praktis, setelah memiliki laptop tersebut, John benar-benar tenggelam dalam aktivitas di chat room.

Setelah Mark berkenalan dengan John, ketiga remaja membentuk forum bicara mereka sendiri. Rachel benar. Mark dan John punya kecocokan dan mereka pun segera menjadi sahabat. Namun, di tengah kebahagiaan tersebut, ada sesuatu yang mengganjal.

Meski telah berpacaran selama beberapa waktu, Mark belum pernah sekali pun melihat wajah Rachel. Ketika mereka sepakat untuk berbincang dengan webcam, Rachel tidak ikut serta karena dia tidak punya uang untuk membelinya. Mark pun merasa frustrasi, tetapi Rachel kemudian mengajaknya untuk bertemu secara langsung.

"Tempat tinggal kita,  kan, enggak jauh. Kenapa enggak sekalian ketemu langsung aja, sih?" begitu kata Rachel kepada Mark.

Mark mulanya setuju dan merasa sangat senang, tetapi pada hari yang sudah disepakati dia mengurungkan niat. Hal ini tak cuma terjadi sekali. Berulang kali Rachel mengajak, berulang kali Mark setuju, tetapi pada akhirnya kencan mereka selalu dibatalkan sepihak oleh Mark.

Mark merasa bersalah sebenarnya. Dia kemudian memberanikan diri untuk menemui Rachel dan mengajaknya berjumpa. Akan tetapi, setelah Mark mulai berani, Rachel melakukan hal yang sama. Berulang kali Mark mengajaknya bertemu, berulang kali Rachel setuju, tetapi perjumpaan tak pernah terwujud. Akhirnya, Mark dan Rachel setuju agar hubungan mereka itu sebaiknya tidak dibawa ke luar chat room.

Meski Rachel tetap tidak memiliki webcam, Mark tidak keberatan. Mereka terus berbincang, berbincang, dan berbincang sampai akhirnya chat room yang mereka miliki bersama John kedatangan penghuni baru bernama Kevin.

Keanehan langsung tercium dari diri Kevin. Dia cuma menulis dengan teks berwarna merah jambu dan mengaku sebagai seorang penguntit yang punya fetish kaki. Awalnya, keberadaan Kevin tidak dihiraukan. Dia dianggap cuma bocah yang haus perhatian. Namun, suatu hari, Mark mendapatkan pesan pribadi dari Kevin.

Kevin menulis, "Aku tahu kau pacarnya Rachel dan aku adalah penguntit yang akan membunuhnya."

Melihat itu, Mark kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia menceritakan keberadaan pesan tersebut kepada John dan Rachel tetapi mereka juga mengaku tidak tahu kudu berbuat apa. Akhirnya, Mark pun memutuskan untuk mengabaikan pesan ancaman dari Kevin tersebut.

Namun, keesokan harinya Mark gelagapan melihat Rachel tidak ada lagi di dalam chat room. Mark lantas bertanya kepada John apakah dia sudah bicara dengan Rachel hari itu dan John menjawab "tidak". Setelah itu Mark berusaha menanyakan keberadaan Rachel kepada orang-orang lain di chat room utama tetapi tak satu pun dari mereka mengetahuinya.

Dalam keadaan kalut, Mark membuka kotak surat elektroniknya dan mendapati sebuah pesan baru dari Kevin. Pesan itu berbunyi, "Aku menculik Rachel dan menyanderanya. Dia akan kubebaskan kalau kau memperlihatkan kakimu kepadaku."

Mark setuju. Dia memperlihatkan kakinya kepada Kevin dan tak lama kemudian Rachel dibebaskan. Sore harinya, Rachel kembali masuk ke dalam chat room dan merasa sangat bersalah karena Mark telah dipermalukan. Rachel pun mengajak Mark bertemu untuk meminta maaf dan memeluknya.

Namun, itulah kali terakhir Rachel dan Mark menjalin kontak. Mark pergi ke tempat yang disebutkan oleh Rachel tetapi tak melihat seorang pun di sana. Setelah itu, Rachel benar-benar menghilang. Situasi ini membuat Mark benar-benar merasa kesal dan frustasi. Dia pun bertanya kepada John dan para pengguna chat room lain tetapi tak menemukan jawaban yang diharapkan.

Kegelisahan Mark kian menjadi ketika dia mendapati sebuah rumor yang tersebar di dalam chat room. Rumor itu, pada intinya, menyebutkan bahwa ada seorang anggota chat room yang menculik dan membunuh anggota lainnya. Sontak, pikiran Mark tertuju kepada Kevin. Mark menyadari bahwa Kevin dan Rachel keluar dari chat room pada saat bersamaan dan tak lagi aktif setelah itu.

Mark awalnya menolak percaya tetapi setelah mendengar ‘konfirmasi’ dari anggota chat room lainnya dia mulai yakin bahwa Kevin memang telah menculik dan membunuh Rachel. Hati Mark hancur lebur tetapi dia berusaha menunjukkan bahwa segalanya baik-baik saja. Dia tetap masuk ke chat room dan berinteraksi seperti biasa.

Melihat Mark seperti itu John khawatir. Dia tidak yakin Mark sedang baik-baik saja dan dia tahu sahabatnya itu berpura-pura. John pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Hei, apa kau baik-baik saja?" tanya John, tetapi Mark menolak untuk membicarakan apa yang terjadi dengan Rachel. John membiarkan Mark memproses dukanya untuk beberapa waktu. Perlahan, Mark pun bisa mulai bangkit dari kesedihan. Pada momen ini persahabatan Mark dan John semakin erat. Tak cuma di chat room, mereka juga berinteraksi di dunia nyata.

Sebulan setelah Rachel lenyap dari chat room, perempuan lain datang dalam hidup Mark. Namun, perempuan ini bukanlah remaja seperti Rachel melainkan ibu dua anak berusia 44 tahun. Namanya Janet. Dia mengaku bekerja sebagai agen real estate. Namun,  katanya, pekerjaan itu hanyalah cover. Pekerjaan dia sebenarnya adalah agen rahasia untuk MI6.

Janet muncul di chat room dengan cara yang menarik perhatian. Cuma dialah anggota chat room yang menulis dengan huruf kapital sepenuhnya. Tak lama setelah bergabung, Janet langsung menghubungi Mark secara pribadi. Janet berkata bahwa dia diutus oleh MI6 untuk merekrut Mark dan menjanjikan dua hal. Pertama, Mark akan jadi kaya raya. Kedua, Mark bisa menjadi kekasihnya.

Mark sesungguhnya agak ragu dengan iming-iming Janet itu. Akan tetapi, dia sedang berada dalam posisi yang tidak menyenangkan. Diam-diam dia masih memeram duka dan butuh penyaluran. Maka, Mark pun mengikuti saja apa kata Janet tanpa sepengetahuan John.

Janet kemudian meminta Mark mengucap sumpah. Setelahnya, Mark pun diperintahkan pergi ke London untuk bertemu dengan Ratu Elizabeth dan petinggi-petinggi lainnya. Meski tertarik dengan ajakan Janet, Mark masih menyimpan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah "bagaimana dia menjelaskan ini semua kepada ibunya?" karena dia tak mungkin pergi begitu saja.

Ditanya demikian, Janet menjawab bahwa "pihaknya" sudah berkomunikasi dengan ibu Mark dan semua progres yang dijalani Mark nantinya bakal dilaporkan ke ibunya secara berkala, termasuk saat dia harus pergi ke London. Mark juga, kata Janet, diperkenankan menelepon ibunya dua kali sehari.

Mark puas dengan jawaban Janet. Namun, dia tak bisa langsung bergabung dengan MI6. Sebelum itu Mark harus menjalani serangkaian tes. Janet juga menjelaskan kepada Mark mengapa dia secara spesifik dipilih untuk menjadi rekrutan baru dinas mata-mata Britania Raya itu.

"Mark," kata Janet. "Alasan sebenarnya mengapa kau kupilih adalah temanmu, John. Nama asli John adalah James Bell dan dia adalah orang yang sangat penting. Sepenting apa dia, kau akan tahu tetapi sebelum itu kau harus melakukan sesuatu untukku. Kau harus menunjukkan kepadaku bahwa kau mampu melindunginya."

"Besok, sepulang sekolah John punya janji dengan dokter gigi. Kau harus mengawalnya sampai ke rumah tetapi dia tidak boleh tahu bahwa kau adalah pengawalnya. Identitasmu jangan sampai terbongkar."

Setelah mendapat arahan dari Janet, Mark menghubungi John dan mengajaknya bermain keesokan harinya. John berkata bahwa dia punya janji dengan dokter gigi dan baru bisa bermain sesudahnya. Namun, Mark berkata bahwa dia tak keberatan menemani John dan John pun merasa senang dia tak harus sendirian ke dokter gigi.

Keesokan harinya semua berjalan lancar. Mark menemani John dari sekolah ke dokter gigi dan setelahnya pergi ke mal sampai malam hari. Selepas mengantar John sampai ke rumah, Mark juga pulang. Sesampainya di rumah, Mark menyalakan komputer dan mendapatkan pesan dari Janet yang berbunyi:

"Kami menugaskan seorang agen untuk membuntuti kalian dan dia bilang kinerjamu memuaskan. Sekarang aku baru bisa bilang mengapa James Bell, alias temanmu John, adalah seseorang yang sangat penting."

Janet kemudian menjelaskan bahwa di dasar Samudera Atlantik terdapat sebuah brankas yang keberadaanya cuma diketahui beberapa negara. Dalam brankas tersebut terdapat uang sebesar 568 miliar poundsterling yang dimiliki oleh Sri Ratu. Hanya ada satu orang yang punya akses ke brankas tersebut dan orang itu adalah James Bell. Untuk membuka brankas tersebut, James Bell harus berdiri di depan pemindai khusus.

Sekali lagi, Mark sebenarnya masih ragu dengan cerita Janet ini. Akan tetapi, Janet sukses meyakinkan Mark bahwa dia benar-benar ada. Janet bisa mengetahui pakaian apa yang Mark kenakan, ke mana saja dia pergi, dan hal-hal lainnya. Kata Janet, selalu ada agen yang membuntuti Mark dan agen tersebut menyamar jadi orang biasa.

"Kau selalu dipantau, Mark. Inilah yang terjadi kepada calon rekrutan di MI6," papar Janet.

Penjelasan tersebut menghapuskan keraguan Mark sepenuhnya. Inilah mengapa, ketika dia mendapatkan tugas terbaru dari Janet, Mark tetap melaksanakannya meskipun batinnya bergejolak. Mark seratus persen percaya bahwa semua yang dia lakukan adalah demi kepentingan negara. Tugas terbaru yang diberikan Janet itu adalah membunuh John.

Janet menuturkan bahwa John punya penyakit tumor otak dan tak lama lagi akan meninggal. Kalau sampai ada negara lain yang mengetahui ini, mereka bisa mencuri jasad John dan menggunakannya untuk membuka brankas uang tadi. Sebelum itu terjadi, Mark harus membunuh John supaya MI6 dapat mengamankan jasadnya sebelum dicuri musuh.

"Kalau kau berhasil membunuh John, barulah kau bisa berangkat ke London untuk dilantik menjadi anggota MI6. Nanti juga akan ada hadiah uang 80 juta poundsterling dan kau bakal jadi kekasihku," ucap Janet.

"Baiklah, akan kulakukan," balas Mark.

"Oke. Sekarang, namamu adalah Agen 47695 dan kau harus membunuhnya dengan pisau besar. Misi ini harus dijalankan kecuali jika kau mendengar kata '6-9'. Kalau sampai kau mendengar itu, berarti misi telah dibatalkan," tutur Janet lagi.

"Nanti kau tak perlu khawatir. Setelah misi beres, aku akan jadi salah satu orang yang datang ke tempat kejadian perkara dan menyamar sebagai detektif. Pokoknya, kau nanti tidak akan ditangkap," tambahnya.

Hati Mark semakin mantap dan akhirnya pada 29 Juni 2003, sekitar pukul 11 siang, Mark bertemu John di sebuah terminal bus. Dari sana mereka berangkat ke Trafford, menuju gang sempit yang menjadi tempat kejadian perkara.

***

"Kapan Janet akan tiba di sini?" tanya Mark kepada polisi yang datang ke tempat kejadian perkara. Namun, tidak ada jawaban memuaskan yang dia terima. Mark pun akhirnya diizinkan untuk pulang, sementara John dilarikan ke rumah sakit.

Rupanya, John selamat dari penusukan tersebut. Dia sempat hampir mati dua kali di meja operasi tetapi mampu bertahan hidup meski kantung kemihnya harus diangkat. Setelah sadar, John berkata kepada polisi yang menginterogasinya, "Mark yang melakukan ini. Dialah yang berusaha membunuhku."

Polisi kemudian mendatangi rumah Mark dan menyampaikan apa yang dikatakan John. Mark pun bersikeras. "Kau harus menemukan Janet. Dia akan menjelaskan semuanya!" seru Mark.

Akan tetapi, tidak satu pun polisi yang mengetahui nama Janet karena Janet sebenarnya tidak ada. Janet adalah karakter rekaan, begitu pula dengan Rachel, Kevin, James Bell, dan 189 pengguna chat room lainnya. Mereka semua diciptakan dan dikendalikan oleh John.

Setelah mendapatkan semua bukti yang dibutuhkan berupa riwayat percakapan di chat room, polisi menemui John dan dia tak lagi bisa mengelak. John pun mengakui segalanya. Awalnya dia tidak ingin memanipulasi Mark. Awalnya dia hanya ingin berkenalan dengan Mark tetapi dia tak tahu bagaimana caranya.

John kemudian menciptakan karakter Rachel yang akhirnya jadi kekasih Mark. Namun, kedekatan Mark dan "Rachel" ini membuat John cemburu sehingga karakter itu pun "dibunuh" olehnya lewat "Kevin". "Pembunuhan Rachel" ini, pikir John, semestinya bisa membuat Mark sadar bahwa segalanya hanya rekaan. Namun, skenario John itu tak terwujud. Mark benar-benar yakin bahwa "Rachel telah dibunuh oleh Kevin" dan ini membuat John semakin gatal untuk mengerjai "sahabatnya" itu.

Setelah menciptakan karakter Janet, John merasa bersalah kepada Mark. Namun, John tidak mau berterus terang kepada Mark karena takut pertemanan mereka rusak. Akhirnya, dia menyusun sebuah cerita yang berakhir dengan kematiannya sendiri di tangan Mark. Dia rela mati untuk melindungi persahabatannya dengan Mark.

Mark sendiri sebenarnya menyimpan banyak keraguan terhadap berbagai karakter rekaan John tadi tetapi dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa John adalah aktor intelektual di balik semua itu. Pengakuan John itu didengar Mark sendiri di ruang sidang dan dia benar-benar terpukul.

Orang-orang lain yang mendengar pengakuan John pun terenyak. Mereka tidak habis pikir ada seseorang yang bisa melakukan hal demikian. Hakim yang memimpin persidangan bahkan berkata, "Penulis fiksi berpengalaman pun bakal kesulitan menciptakan cerita seperti ini."

Di akhir cerita, Mark dinyatakan bersalah atas tuduhan percobaan pembunuhan tetapi dia hanya menjalani hukuman kurungan delapan bulan. Setelah bebas, dia menjalani masa percobaan dua bulan, di mana dia tidak boleh mengakses internet tanpa pengawasan.

John, sementara itu, tidak mendapat hukuman penjara karena kejahatan yang dia lakukan secara teknis bukanlah tindak pidana. Meski begitu, dia dilarang mengakses internet tanpa pengawasan selama tiga tahun. John setelah itu juga dilarang masuk ke chat room mana pun. Tak lupa, kedua remaja itu dilarang mendekati satu sama lain selamanya.

Kasus ini benar-benar membuat gempar Britania Raya pada awal 2000-an dan sampai sekarang nama asli Mark dan John tidak boleh disebutkan secara terbuka. Pada wawancara dengan Vanity Fair tahun 2006, John mengaku merindukan Mark tetapi dia mengerti bahwa persahabatan itu tidaklah nyata. John juga ketika itu mengatakan bahwa dia tidak akan pernah menikah. Namun, apa yang terjadi kepadanya setelah itu masih menjadi misteri hingga kini.