Kebahagiaan Seksual di Bawah Uni Soviet

Kebahagiaan Seksual di Bawah Uni Soviet

Pada pagi buta ketika saya bangun tidur, saya membuka ponsel layaknya kebiasaan orang-orang pada umumnya. Sebuah berita yang muncul di ponsel saya sontak membuat saya menjadi risi bercampur khawatir. 

Praktik prostitusi liar sedang merajalela di daerah Tambora, Jakarta Barat, tepatnya di sekitaran rel kereta api di wilayah itu. Mirisnya, lingkar prostitusi ini melibatkan anak di bawah umur. Hal ini sontak membuat saya teringat dengan cerita dari seorang kawan yang tinggal di Jerman. Dahulu, isu merebak bila prostitusi nyaris nol di bawah Jerman Timur, apalagi saat itu, kualitas seksual di Jerman Timur digadang-gadang lebih baik daripada Jerman Barat.

Sebelum Reunifikasi, Pelarangan Prostitusi di Jerman Timur
Berakhirnya Perang Dunia II membuat negara pemenang, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet membagi ‘kue’ kemenangannya. Jerman, lawan mereka harus jatuh ke tangan kedua negara pemenang tadi. Bagian Barat jadi milik Amerika Serikat dengan haluan kapitalisnya, sedangkan Timur menjadi milik Uni Soviet yang berkiblat pada sosialis.

Mengikut pendapat para pendiri sosialisme sendiri, Karl Marx sendiri menganggap bahwa prostitusi dan pekerja seks adalah korban dari kapitalisme. Bagi Marx, prostitusi adalah bentuk eksploitasi dari kapitalisme. Marx mempercayai jika masyarakat didominasi oleh kepemilikan swasta dan produksi untuk keuntungan, individu yang tak memiliki kepemilikan swasta akan berada dalam kondisi ekonomi rendah, sehingga individu mereka terpaksa menjual jasa seksual mereka sebagai cara untuk bertahan hidup.

Teori Marx itu dipraktikkan oleh kaum revolusioner Bolshevik di Rusia. Dahulu, pada masa pemerintahan Tsar Nicholas II, prostitusi diizinkan. Setelah Rusia jatuh ke tangan komunis-sosialis, mereka melarang adanya prostitusi sebab itu adalah perdagangan manusia. Sejak saat itu, Rusia yang bermetamorfosis menjadi Uni Soviet pun melarang dan menghukum segala bentuk prostitusi di Uni Soviet. Bahkan pemerintah punya hak untuk mengusir perempuan yang menjual jasa seks di wilayah Uni Soviet.

Aturan itu lantas juga diadaptasi oleh negara Jerman Timur. Pemerintah menyatakan perempuan tak perlu menjual diri karena seluruh kebutuhan ekonomi mereka ditanggung oleh negara. Selain itu, perempuan di Jerman Timur juga diberi lapangan kerja oleh pemerintah Uni Soviet, sehingga secara ekonomi, mereka juga tidak bergantung pada laki-laki. Segala kebutuhan yang berkaitan dengan kehamilan, perawatan anak, edukasi seksual dan sebagainya juga diakomodasi oleh Uni Soviet.

Perempuan Jerman Timur Lebih Bahagia Secara Seksual
Setelah runtuhnya tembok Berlin, Jerman Timur menjadi satu dengan Jerman Barat. Sebuah penelitian kemudian dilakukan. Faktanya, perempuan dari Jerman Timur mengalami kebahagiaan dalam sebuah hubungan dan memiliki kualitas seks yang lebih baik. Mereka dua kali lebih banyak mengalami orgasme dibandingkan dengan perempuan Jerman Barat.

Akomodasi negara terhadap kebutuhan perempuan yang saya sebutkan di atas tadi menjadi faktor besarnya. Mari ambil contoh tentang perawatan anak. Di Jerman Barat, segala peran dalam lapangan kerja didominasi oleh laki-laki, sedangkan tugas perempuan adalah merawat anak di rumah. Rupanya, merawat anak dan bergantung secara ekonomi terhadap sang suami membuat mereka terkuras secara energi dan emosional. Lagi pula, setiap pulang kerja, sang suami sudah kelelahan sehingga hubungan seksual antara suami dan istri jarang terjadi.

Hal ini berbanding terbalik dengan perempuan dari Jerman Timur. Mereka menjadi lebih independen karena tak tergantung secara ekonomi terhadap laki-laki. Mereka juga tak usah pusing-pusing merawat anak saat bekerja, karena pemerintah membuat penitipan anak secara gratis. Laki-laki juga tak begitu kelelahan, karena di Jerman Timur terdapat pembagian kerja yang tak bias gender antara laki-laki dan perempuan, sehingga pasangan suami istri pun tak begitu kelelahan untuk melakukan hubungan seksual selepas kerja. Mereka bahkan membagi kepengurusan anak secara seimbang, beban merawat anak tak hanya ada di pundak perempuan.

Hal ini juga buah dari revolusi seksual yang dilancarkan Vladimir Lenin dan Aleksandra Kollontai di awal pendirian Uni Soviet. Kollontai berpendapat bahwa segala hal yang berhubungan dengan cinta dan seksual harus bebas dari tekanan ekonomi. 

Pemerintah benar-benar hendak memastikan bahwa di bawah Uni Soviet, warganya bahagia secara seksual dan dapat mengalami orgasme. Mereka juga membuat pendidikan seksual yang ditayangkan di TV, yang mana hal ini adalah hal tabu bagi Jerman Barat. Tapi Jerman Timur, justru memiliki buku edukasi seksual terlaris yang berjudul Man und Frau Intim karya sekslog, Siegfried Schnabl.

Meski begitu, indahnya hubungan seksual tak bisa menampik bahwa Jerman Timur juga makin lama semakin sekarat secara ekonomi. Carutnya kondisi itu membuat banyak orang melarikan diri ke Jerman Barat. Bahkan, di bawah tirani Uni Soviet yang mulai bangkrut, perempuan akhirnya terjepit kondisi ekonomi dan memilih menjual jasa seksual secara diam-diam.

Bukankah menyedihkan rasanya ketika kemandirian ekonomi perempuan di Jerman Timur hanya berlaku begitu singkat, karena jelas-jelas, sosialisme Uni Soviet akhirnya gagal diterapkan.