Keep The Mystery Alive

Keep The Mysteries Alive!
Oleh: Candra Aditya

Saya sudah lama pengen nulis tentang ini tapi rupanya baru sekarang saya punya kesempatan. Katalisnya: seorang teman yang saya tidak kenal-kenal amat, memasukkan saya ke daftar close friend-nya di Instagram dan saya akhirnya jadi sesuatu yang seharusnya tidak saya tahu. Tanpa repot-repot riset saya bahkan tahu kenapa kita semua sampai di titik ini: karena sosial media.
Kalau kalian setua saya, atau mungkin yang dulu sempat mengalami yang namanya saling isi biodata di kertas binder loose leaf yang warna-warni manja itu, kalian pasti tahu bahwa kita mengenal masing-masing hanya sebatas hal-hal remeh. Apa makanan favorit dia (saya selalu rolling eyes kalau ada yang menulis jawaban “masakan ibu” because this is one basic answer), zodiak dia apa atau relationship status. Hal paling radikal yang bisa orang lakukan saat mengisi biodata di kertas binder bergambar Pokemon itu adalah jika dia berani menulis nama pacar dia. Itu saja bisa jadi bahan gosipan teman-teman saya sekelas. Cut to ke beberapa belas tahun kemudian, saya membaca soal postingan teman saya soal kenapa dia kurang suka kalau dipaksa blowjob pacarnya. Bagaimana kita bisa loncat sejauh ini?
Kalian yang Gen-Z mungkin akan lumayan kaget kalau abang atau om kalian sebenarnya lumayan akrab dengan yang namanya sosial media. Sebelum TikTok, Instagram dan Twitter muncul, kami lumayan aktif dalam menjelajah dunia maya. Friendster lumayan membuat kebanyakan orang untuk nampang. Kalau kalian hidup di tahun 2006 ketika film Realita, Cinta dan Rock N Roll dirilis, kalian akan tahu berapa banyak manusia yang selfie hanya menggunakan boxer warna-warni, dengan kacamata hitam, nyengir manja menyapa setiap pengunjung Friendster mereka. Anak sekarang menyebut ini sebagai jametcore, anak dulu menyebutnya dengan keren abis.
Ketika Friendster redup, Facebook muncul dan langsung menyita perhatian semua orang. Dengan berkembangnya teknologi, Facebook selangkah lebih maju dalam menginvasi kehidupan personal setiap penggunanya. Ketika masih zaman Friendster, kami (yang miskin) masih harus pergi ke warnet untuk update atau ganti layout (semakin emo, semakin ada gambar bibir cewek ketusuk bunga mawar, semakin oke). Pas zaman Facebook, hampir semua orang sudah punya Blackberry.
Tapi bahkan ketika zaman Facebook pun penggunanya masih agak bisa menahan diri. Dibandingkan dengan sekarang, teman-teman saya dulu mentok bikin status hanya tentang gebetannya atau laporan tentang kegiatan hari-hari. Saya sudah kuliah saat Facebook lagi jaya-jayanya. Update Facebook teman-teman saya beragam antara update mancing, berantem sama orang tuanya karena tentu saja parents never understand teenagers, pasangan yang sudah menikah butuh tempat curhat karena pasangan mereka tidak mau mengerti kegundahan mereka (lebih dari sekali, postingan seperti ini di posting oleh kerabat wkwk) dan orang-orang yang mabuk setiap saat. Bagian yang terakhir termasuk saya karena pas zaman kuliah kebetulan kami bisa beli bir di minimarket (PS: saya masih sebal sama politikus yang membuat peraturan baru ini).
Bagi beberapa orang mungkin sharing foto joprak setelah minum-minum sama teman termasuk overshare. Tapi menurut saya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang orang sharing di sosial media sekarang. Beberapa postingan yang TMI (too much information) mungkin penting untuk memberikan konteks, seperti misalnya orang sedang spill kasus perselingkuhan atau semacamnya. Tapi most of the time, orang memang posting hal-hal random yang personal se-impulsif itu.
Bayangkan, ada orang bisa dengan terang-terangan nge-post kalau dia tidur dengan calon suami orang lain sehari sebelum si cowok menikah dengan calon istrinya. Sampai sekarang saya masih nggak get dengan tujuan konten tersebut. Lain waktu, saya pernah melihat ibu-ibu yang sudah lumayan sepuh membuat video TikTok tentang performa suaminya yang sudah tidak perkasa. Apa orang-orang ini tidak tahu kalau semua orang bisa mengakses konten-konten tersebut?
Fitur close friend (atau kalau di Twitter namanya inner circle) juga membantu orang-orang menjadi untuk lebih oversharing. Mendengarkan, melihat atau membaca konten TMI dari stranger is one thing, tapi mengkonsumsi konten too personal dari orang yang saya kenal rasanya agak lebih duar. Dan semuanya muncul tanpa ada warning. Tiba-tiba saja lagi scrolling, seorang oomfies (one of my follower), siang-siang jam 2 bisa ngetwit bahwa dia kecapekan karena semalaman dia bergulat dengan fuck buddy-nya. Ini adalah deskripsi sopan dari tweet tersebut karena di tweet tersebut beliau menuliskan secara spesifik kegiatan seksual apa saja yang mereka lakukan.
Saya pikir setelah terbiasa melihat postingan yang serupa dari banyak orang yang menjadikan saya inner circle atau close friend mereka, saya akan terbiasa. Tapi ternyata tidak. Sampai sekarang saya suka kaget kalau tiba-tiba muncul tweet atau story dari orang yang saya kenal tentang hal yang seharusnya saya tidak tahu. Apa ini disebabkan karena kita semua menggenggam smartphone setiap saat? Atau ini sebab dari budaya Gen-Z yang menyerukan “stop kink shaming”? Atau memang kita tidak mengontrol diri sendiri?
Anyway, saya tidak tahu. Tapi yang jelas, saya merasa bahwa ada beberapa hal yang jangan disebar di sosial media. Ada sesuatu yang seksi dengan orang-orang yang tahu informasi mana yang publik boleh tahu dan mana yang tidak. Secakep-cakepnya oomfies, kalau saya tahu terlalu banyak tentang dia, rasanya jadi malas juga.
PS: please let me know kalau saya mulai TMI :)