Kehidupan Bertabur Harta Oei Hui-lan si Putri Raja Gula

Tanggal segini memang paling enak kalau terlahir dari keluarga kaya raya. 

Kalau enggak kesampaian, ayo kita menengok kehidupan anak orang kaya dan berkhayal apa rasanya kalau jadi mereka. Kali ini mari kita cek kehidupan glamor Oei Hui-lan, seorang fashion icon kosmopolitan asli Semarang yang menikmati segala yang terbaik dari era jazz dan kolonial.

The OG old money it girl dari Indonesia, Oei Hui-lan, lahir pada 2 Desember 1889. Ia adalah putri konglomerat terbesar di Asia Tenggara pada permulaan abad ke-20, Oei Tiong Ham, pemilik perusahaan Kian Gwan yang bergerak di antaranya di bisnis gula dan opium. Perusahaan ini sendiri didirikan oleh kakek Hui-lan, Oei Tjie Sien, pada 1863. Ibu Hui-lan, Goei Bing-nio, adalah satu-satunya istri sah Oei Tiong Ham. Ayahnya memang punya harem dengan lebih dari 40 anak yang lahir dari para gundiknya. 

Kalau dipikir-pikir agak kurang ajar juga, karena kekayaan Oei Tiong Ham salah satunya didongkrak oleh status istrinya yang merupakan bagian dari klan old money. Keluarga Goei sudah kaya dan berpengaruh di Hindia Belanda sejak 1770an, sedangkan keluarga Oei masih terhitung sebagai OKB pada 1880an. 

Hui-lan kecil dipanggil dengan nama Barat Angèle, sedangkan Oei Tjong-lan kakak perempuannya dari ibu yang sama dipanggil Gwendoline. Mereka berdua tinggal di istana ayahnya yang luasnya mencapai 9 hektar, dengan 200 kamar, kolam renang, dan kebun binatang pribadi. Keduanya dididik dalam standar pengajaran modern oleh tutor Eropa yang didatangkan dari Semarang. Saat itu memang sedang ada tren di kalangan keturunan Cina Cabang Atas di Indonesia pada zaman kolonial di akhir abad ke-19 untuk melahap westernisasi. Dari didikannya, Hui-lan lancar bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dan Perancis, serta sedikit Hokkien, Mandarin, dan Belanda. Sampai-sampai pada 1905, Hui-lan dan kakaknya tampil di Singapura menyanyi dalam bahasa Perancis. Surat kabar lokal mewartakan tentang “...gadis Tionghoa menyanyi dalam bahasa Perancis kepada penonton Inggris di negara Melayu.” 

Bangga mengadaptasi budaya Barat, Keluarga Oei membatasi diri dalam interaksi dengan budaya Jawa di sekeliling mereka. Interaksi gadis-gadis Oei dengan orang Jawa terbatas pada para pelayan mereka, dan kontak dengan budaya Jawa adiluhung hanya muncul ketika mereka mengunjungi pementasan gamelan di berbagai istana Jawa.

Di umur 20 tahun, Hui-lan menikah dengan Beauchamp Forde Gordon Caulfield-Stoker, agen konsuler Inggris di Semarang, yang berusia 32 tahun. Pernikahan ini cukup politis, karena Caulfield-Stoker kemudian bertugas mewakili kepentingan bisnis gula Pak Oei di London.

Hui-lan pun diboyong ke Inggris dan menikmati kemewahan ala Edwardian dengan uang saku yang terus mengalir dari Semarang. Keluarga kecilnya tinggal di rumah-rumah gedongan di daerah elit yang dibelikan Pak Oei untuknya. Dengan duit yang tidak terbatas, Hui-lan segera tenar di kalangan sosialita pemuja keglamoran di London. Ia dipanggil Countess Hoey, pasalnya Pak Oei sering dikira seseorang bergelar Count, dan dijuluki “Rockefeller dari Tiongkok”. Di kalangan atas, Countess Hoey sering dianggap life of the party yang berkendara dengan Rolls Royce.

Hui-lan melahirkan putra pertamanya, Lionel Montgomery Caulfield-Stoker pada 1912. Namun, suaminya malah berusaha menjaga jarak dan ditugaskan ke Royal Army Service Corps pada 1915. Ia bercerai dengan suaminya di London pada April 1920 selepas Perang Dunia I berkecamuk.

Tidak lama-lama menyendiri, Hui-lan dijodoh-jodohkan dengan diplomat dan politisi V. K. Wellington Koo yang berkebangsaan Tiongkok dan dididik di Columbia University, New York. Keduanya bertemu di sebuah pesta makan malam pada Agustus 1920, lalu bertunangan di bulan Oktober, dan langsung sat set menikah di bulan November.

Keduanya langsung jadi power couple terheboh di kalangan flapper Eropa. Hui-lan, yang kini dipanggil Madame Koo, menghadiri pesta-pesta dansa dan makan malam dengan sosialita, politisi, dan kaum jetset mengenakan gaun-gaun rancangan desainer ternama dan bahkan mengenakan tiara berlian dari Cartier. 

Madame Koo sering puji karena gaya berbusananya yang chic. Ia suka mengenakan cheongsam ketat berbelahan tinggi, kadang dipadu dengan celana renda dan kalung giok. Ia berjasa memperkenalkan busana tradisional Tiongkok ke kalangan adibusana Eropa saat itu. Tak lama setelahnya, cheongsam jadi populer sebagai busana nasional di Tiongkok. Ia diliput di majalah Vogue sebagai perempuan berbusana terbaik pada 1920an, 1930an, dan 1940an. Madame Koo dipuji sebagai “Warga Tiongkok yang mendunia, seorang jelita internasional”.

Seolah manifesting takdirnya sebagai Sagitarius sejati, Madame Koo, hidup berpindah-pindah dari satu tempat mewah ke tempat mewah lainnya. Madame Koo dan Wellington Koo tinggal di Jenewa, lalu pindah ke Beijing di mana Koo menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan. Pak Oei tetap menggelontori Hui-lan dengan uang saku berlimpah, dan bahkan membelikan sebuah kompleks istana dinasti Ming yang dibangun di abad ke-17. Namun, pada 1924 Pak Oei meninggal di Singapura, di pelukan gundik favoritnya, Lucy Ho. Dengan meninggalnya Pak Oei, Hui-lan menerima warisan yang paling besar dibandingkan keturunan ayahnya yang lain.

Di Cina, Hui-lan memulai kehidupan sebagai tante-tante istri pejabat. Keluarga Koo menerima Sun Yat-sen dan istrinya Soong Ching-ling tinggal di rumah mereka di Beijing, sampai akhirnya Sun wafat. Wellington Koo juga menjabat dua kali sebagai Pelaksana Jabatan Perdana Menteri. Kemudian, Koo sempat naik sebentar jadi Presiden Republik Tiongkok yang membuat Hui-lan tiba-tiba menjadi ibu negara. Koo kemudian meninggalkan jabatannya pada 1927, dan keluarga itu pindah ke Shanghai. Di sana, Hui-lan sempat bergaul dengan Wallis Simpson, sosialita Amerika yang kemudian berpacaran dengan Raja Edward VIII dari Inggris, yang kemudian harus lengser dari tahta untuk bisa menikah dengan janda tersebut.

Setelah dari Shanghai, keluarga Koo pindah ke Paris pada 1932 ketika Wellington Koo ditugaskan menjadi duta besar Tiongkok untuk Perancis. Namun, pada 1941, Hui-lan kemudian pindah ke New York City, mengikuti kedua anak laki-lakinya yang kuliah di Columbia University seperti ayahnya. Sekaligus, ia menggunakan pengaruhnya untuk membujuk AS membantu Tiongkok dalam perang-perangnya di Asia, meneruskan cita-citanya akan persatuan Barat dengan Tiongkok. Selama itu, Madame Koo dianggap sebagai nyonya rumah yang asik dengan pesta-pesta seru, dibiayai oleh warisan Pak Oei.

Sementara itu, ketika Perancis kalah pada Jerman di Perang Dunia kedua, Wellington Koo pindah kembali ke London dan menjadi duta besar untuk Inggris sampai 1946. Koo juga menjadi wakil Tiongkok ketika PBB berdiri pada 1945. Hui-lan dan suaminya jarang bertemu akibat perang. Keduanya pun berceraipada 1958, dan Hui-lan menetap di New York sampai akhir hayatnya.

Hui-lan wafat di New York di usia 103 tahun pada 1992. Saat itu, kedua suaminya dan ketiga anaknya telah meninggal. Republik Tiongkok telah jatuh ke tangan Partai Komunis yang berseberangan dengannya. Sementara itu, aset-aset kerajaan gula Pak Oei, Kian Gwan, di Indonesia telah direbut pemerintah Indonesia dan diubah menjadi BUMN bernama Rajawali Nusantara Indonesia (ID Food). FYI, belum lama perusahaan ini terlibat kasus korupsi sebesar Rp50 miliar, lho. Memang nasib kalau jadi BUMN.

Walau telah tiada, Hui-lan masih sering dikenang sebagai a great beauty. Lukisan potret, foto-foto, dan busananya dikoleksi oleh berbagai museum seperti the National Portrait Gallery di London, the Metropolitan Museum of Art di New York, dan the Peranakan Museum in Singapore. 

Nah, seru kan mengikuti kehidupan mewah Oei Hui-lan? Yuk, kita kembali ke kenyataan: minum es kopi susu gula aren itu dan lanjut kerja jadi buruh digital di abad ke-21.