Kehidupan Orang Peru melalui Novel Sang Pengoceh
TL;DR
Sebuah galeri di Firenze menampilkan deretan foto perjalanan Gabriel Malfati di Amazon, membangkitkan hasrat tokoh Aku untuk menyusun ulang kepingan puzzle mengenai kepergian sahabatnya, Saul Zuratas. Keputusan Saul untuk meninggalkan kehidupan lamanya di Lima, Peru, tanpa disadari, telah mendorong Aku untuk melakukan riset mendalam dan perjalanan. Dari sisi barat Alto Urubamba hingga pesisir timur Alto Madre De Dios, ia berusaha memecahkan teka-teki tentang sahabatnya itu dan memahami lebih jauh tentang kehidupan orang Peru yang ia tinggalkan.
Ia kemudian berjumpa dengan sebuah suku marginal yang hidup secara nomaden. Suku inilah yang membuat Mascarita, atau Saul Zuratas, jatuh hati dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan segala sesuatu demi meraih kehidupan di pedalaman Amazon Peru.
Mereka adalah suku Matsigenka, yang dalam penulisan Latin dikenal sebagai Machiguenga. Selama beratus-ratus tahun, orang Machiguenga hidup terpecah dalam kelompok-kelompok kecil, masing-masing terdiri dari tidak lebih dari sepuluh orang.
Cerita tentang orang Machiguenga mencerminkan bagaimana sistem bahasa, pengetahuan, budaya, dan kepercayaan mereka semakin terkikis oleh ekspansi peradaban modern. Hutan-hutan yang dulu luas kini menyusut, sementara air dan sumber makanan mereka tercemar.
Melalui karya Sang Pengoceh, Llosa menangkap kisah perjuangan orang Machiguenga dalam menghadapi penetrasi peradaban modern. Kisah ini diungkapkan lewat pergumulan gagasan yang saling bersilangan di benak tokoh Aku, saat ia mencari makna dari kepergian sahabatnya.
Llosa mengundang pembaca untuk berdialog tentang sikap apa yang sebaiknya diambil dalam menghadapi situasi krusial: apakah kita membiarkan suku-suku ini tetap 'murni'–artinya lari terus ke pedalaman dan membiarkan ekspansi terhadap budaya juga alam tetap terjadi—dengan cara menjauhkan mereka dari kontak modern, ataukah kita memilih sikap yang lebih radikal dengan membiarkan orang Machiguenga terpapar oleh peradaban luar.
Dualisme perspektif ini bagaikan tegangan gagasan yang terus berkecamuk dan saling bertentangan di benak tokoh Aku, seiring perjalanannya yang mempertemukan dirinya dengan berbagai fenomena dan peristiwa di belantara Amazon.
“Tidak, Mascariata, negeri ini harus berkembang. Bukankah Marx bilang kemajuan datang dengan meneteskan darah? Menyedihkan memang, tapi itu harus diamini. Kita tak punya alternatif. Kalau harga yang harus dibayar bagi pembangunan dan industrialisasi untuk enam belas juta orang Peru berarti bahwa sekian ribu orang Indian yang telanjang bulat itu harus memotong rambut mereka, menghapus tato mereka, dan menjadi mestizo–atau untuk memakai kata yang paling dibenci kaum etnolog: mengakulturasi diri–yah tak ada cara lain untuk itu.” (Llosa, 2016: 29).
Namun, pada gilirannya tokoh Aku maupun kita menyadari bahwa apa yang menimpa Machiguenga jauh lebih pelik dari pada dualisme pilihan yang kemudian muncul tatkala mengenali mereka sebagai entitas yang hidup dalam sebuah unit ekosistem bernama Amazonia.
Dari Kekaisaran Inca Hingga Demam Karet: Machiguenga Korban Terpilih di Amazonia
Sebagai suku yang dikisahkan telah bercokol di belantara Amazon selama ratusan tahun, Machiguenga nyatanya memang eksis. Dalam disertasi yang ditulis oleh Caissa Revilla-Minaya Fakta Lingkungan, Variasi, dan Ontologi Matsigenka di Amazon, wilayah sebar suku yang pada 2019 berjumlah 15.600 orang ini, terletak dari pantai timur Sungai Apurimac, termasuk Urubamba Atas dan sebagian besar di Sistem Sungai Urubamba Bawah, ke Sungai Manu dan pantai timur Sungai Alto Madre de Dios di Timur, Peru.
Dalam disertasinya, Caissa Revilla-Minaya memaparkan bahwa sejarah penaklukan Machiguenga sejatinya terangkai jauh sejak zaman pra-Inca di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Peru. Pada zaman di mana kekaisaran Inca mendominasi wilayah dataran tinggi Amazon dan Andes, Machiguenga telah disiksa, dirampok dan diperbudak oleh kelompok lain yang disebut orang-orang Yine.
Orang-orang Yine adalah perantara dari transaksi perdagangan barang antara masyarakat di Amazon dan Andes pada zaman pra-Inca. Transaksi perdagangan di wilayah ini kemudian berlanjut di zaman ketika Kekaisaran Inca mendominasi wilayah dataran tinggi. Di masa ini, Machiguenga yang menduduki wilayah di dalam Urubamba dan Sungai Ucayali sebagai wilayah jalur komersial antara dataran tinggi dan rendah, mesti menyingkir ke tepi sungai dan menetap di anak sungai akibat diserang, dirampok dan diperbudak oleh orang-orang Yine.
Lebih lanjut Revilla-Minaya memaparkan, penaklukan Machiguenga oleh orang-orang Yine terus berlanjut seiring dengan meningkatnya aktivitas penyadapan karet di Amazon, terutama di wilayah Manu, pasca kedatangan baron karet Carlos Fermin Fitzcarrald pada tahun 1896. Pada periode ini penyerangan orang-orang Yine terhadap Machiguenga dilatari motif untuk penyediaan budak penyadap karet.
Kisah-kisah penaklukan terhadap sekelompok keluarga Machiguenga dilukiskan di novel ini lewat aktor lain yaitu suku Viracocha. Pada sebuah keluarga Machiguenga, Sang Pengoceh meriwayatkan bahwa orang Viracocha merupakan biang keladi dari petaka yang dihadapi suku ini:
“Orang Viracocha itu licik, kata mereka. Mereka tahu orang-orang akan pergi ke atas dengan keranjang dan jaring untuk mengumpulkan garam di Cerro. Orang Viracocha memasang jebakan, lalu menunggu dan menembaki sasaran mereka. Mereka seret siapa saja yang rubuh. Ashaninka, Piro, Amanahuaca, Yaminahua, Mascho. Mereka tak pilih-pilih, siapapun yang jatuh, asalkan mereka punya tangan buat mengiris pohon, jemari buat menyibaknya, pundak buat membopong, dan kaki buat lari dengan bola-bola getah ke kamp. Barangkali ada sedikit yang lolos. Sangat sedikit, konon kabarnya,” (Llosa, 2016: 64-65).
Kisah-kisah yang dituturkan oleh Sang Pengoceh mengenai perbudakan suku Machiguenga tatkala demam karet melanda, tercecer dengan kisah-kisah lainnya yang juga ikut dituturkan kepada berbagai keluarga suku ini; tentang dewa, kelahiran, kematian bahkan perkara harian.
Apa yang didongengkan oleh Sang Pengoceh–yang disampaikan secara bergantian dengan penuturan tokoh Aku–memiliki peran penting dalam menggambarkan sistem kepercayaan, budaya, pengetahuan, dan, sistem bahasa yang dimiliki oleh Machiguenga. Keseluruhan karakteristik itu nampaknya merupakan faktor yang melatari mengapa Machiguenga menjadi target perbudakan oleh suku lain dalam berbagai periode.
Kepercayaan Machiguenga yang meletakan amarah sebagai hal yang mampu mengguncang keseimbangan kosmos menyebabkan suku ini tidak bereaksi terhadap kemalangan yang mereka alami dalam bahasa perlawanan yang kita kenal. Inilah yang disalah artikan oleh berbagai suku dan juga ‘orang-orang modern’ sebagai watak ramah dan pendamai.
Sejatinya Machiguenga tak pernah menerima kekejaman yang menimpa mereka. Dan justru melihatnya sebagai perbuatan roh jahat yang senantiasa mengintai dan siap menyaru sebagai apapun untuk menghukum suku ini apabila mereka lalai melaksanakan titah adat.
Ia adalah legiun setan Kamagarini yang dipimpin oleh Kientibakori yang mendiami kawasan terendah dan paling parah di bawah Bumi (Kipacha). Kientibakori adalah pencipta benda-benda busuk dan ruh yang menjerumuskan setiap orang Machiguenga dalam malapetaka.
Sosok setan ini juga lah yang muncul di benak para Machiguenga ketika berjumpa para baron-baron karet dan tentaranya yang merangsek ke wilayah mereka. Bagi Machiguenga, cara terbaik yang bisa dilakukan saat bertemu dengan iblis ini adalah dengan pergi sejauh mungkin ke pedalaman hutan mereka. Cara ini jugalah yang dilukiskan oleh Sang Pengoceh kepada anggota-anggota Machiguenga yang tersebar di belantara Amazon, ketika menuturkan sebuah keluarga yang tertangkap untuk dijadikan budak penyadap karet.
“Tasurinchi membiarkan dirinya terbujuk…ia pergi bersama mereka menuju perkemahan Viracocha yang sedang menjelaskan apa yang dikehendakinya dari diriku…Ia (orang Viracocha) membuka mulut lebar-lebar, lantas hatsyii! hatsyii! hatsyii! Ia batuk tiga kali, kelihatannya…Matanya berlinang semua, merah seperti nyala lilin…’aku sedang melihat kamagarini,’ pikirnya..Begitu sampai di seberang sungai, ia (Tasurinchi) kumpulkan perempuan dan anak-anak: ‘Iblis sudah datang. Kita dikepung kamagarini,’ ia memberitahu mereka. ‘Kita harus pergi jauh. Ayo. Jangan sampai terlambat. Kita masih sempat berjalan,” (Llosa, 2016: 73-75).
Orang-orang Machiguenga bukan tanpa perlawanan. Namun, bentuk-bentuk perlawanan seperti perkelahian atau perang hanya mereka lakukan saat merasa benar-benar terpojok.
Berbicara mengenai keberanian, Machiguenga justru punya keberanian dan keyakinan yang mantap tak tergoyahkan menghadapi maut—yang dianggap oleh banyak masyarakat lain sebagai kengerian dan ketidakpastian.
Penyakit paling remeh seperti flu, yang baru saja dilukiskan sebelumnya, mereka anggap sebagai gejala maut yang siap mereka hadapi. Meminjam kata-kata tokoh Aku saat meniru kalimat Seripigari: “kan kita juga harus pergi dengan satu atau lain cara.” (Sang Pengoceh, Mario Vargas Llosa (Yogyakarta: OAK, 2016) halaman 124)
Dalam sejarahnya, orang Machiguenga pernah melakukan perlawanan berdarah. Kelompok yang dikenal sebagai Kogapakori menggunakan anak panah—yang biasanya mereka pakai untuk berburu—untuk pertama kalinya diarahkan kepada manusia-manusia yang mengganggu, menjarah, dan merendahkan mereka hingga tidak bisa lagi ditoleransi.
Tapi, tidak semua kelompok Machiguenga berani mengambil sikap sejauh itu. Kepercayaan suku ini seringkali justru jadi boomerang yang menimbulkan korban bagi suku ini. Kepercayaan ini juga yang jadi sebab mengapa mereka tak mempunyai perangkat pengetahuan mengenai apa yang sedang dan akan dihadapi oleh mereka.
Kita bisa mengamati ini misalnya, melalui kisah-kisah yang dituturkan oleh Sang Pengoceh. Gaya bahasa yang ringkas dan pemilihan kosakata sederhana, sedikitnya menunjukan bahwa suku ini hanya memiliki sedikit kosakata untuk mengungkapkan sesuatu. Orang Machiguenga misalnya, akan menyebut satuan jumlah yang melebihi empat dengan ‘banyak’.
Ini jugalah yang jadi penyebab mengapa mereka menyebut rubber boom atau demam karet sebagai ‘zaman iris pohon’. Penyebutan ini menunjukan bagaimana teknologi pengolahan hasil alam sesederhana menyadap karet tidak ada dalam kamus pengetahuan Machiguenga. Alasannya sederhana, karena mereka tak membutuhkannya untuk keperluan harian mereka.
Di sini, saya tidak hendak berkata bahwa saya sepakat dengan apa yang diungkapkan tokoh Aku “Kalau harga yang harus dibayar bagi pembangunan dan industrialisasi Peru berarti ribuan Indian itu (perlu) mengakulturasi diri,” (Llosa, 2016: 29).
Tidak, untuk yang satu ini saya justru sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Saul bahwa budaya kita, peradaban kita terlampau dominan, ekspansif dan mengancam kehidupan para suku-suku yang masih hidup dengan cara mereka, seperti Machiguenga.
Itu karenanya, ketidakmampuan suku ini dalam mengenali ancaman apa yang sedang mengintai mereka bukanlah kesalahan Machiguenga. Ia adalah konsekuensi dari siklus ekonomi-kapitalistik yang kian membesar dan meluas.
Ketika periode 'Zaman iris pohon' melanda seantero Amazon—sebagaimana yang dilukiskan oleh Sang Pengoceh—Peru, bersama Brazil, Bolivia dan Venezuela tengah menjadi magnet bagi para pebisnis untuk meraup untung dari getah karet. Dikutip dari jurnal The International Natural Rubber Market, 1870-1930 permintaan besar akan karet ini dipicu oleh kepopuleran sepeda dan industri roda empat pada tahun 1900-an di Eropa.
Masih dikutip dari sumber yang sama, Brazil sendiri yang merupakan tetangga Peru, telah menunjukkan produksi yang terus meningkat. Negara yang sebagian wilayahnya termasuk hutan Amazon ini, mulanya hanya sanggup memproduksi kurang dari 10 ribu ton karet pada tahun 1870. Tapi, melalui eksplorasi yang dilakukan para baron karet setempat, jumlahnya terus mengalami peningkatan di tahun-tahun berikutnya. Hingga pada 1898, Brazil mampu memproduksi karet dengan jumlah 25 ribu ton. Perlu dicatat, semua itu dihasilkan dari mengolah getah pohon karet yang tumbuh secara liar di belantara Amazonia.
Kemampuan produksi besar yang dimiliki oleh Amazon itulah yang membuat hamparan hutan hujan dengan aneka ragam flora dan fauna ini menjadi atraktif di mata para baron-baron karet seperti Carlos Fermin Fitzcarrald.
Melalui sebuah film berjudul Fitzcarraldo yang diulas dalam sebuah artikel berjudul Fitzcarrald: The Legendary Rubber Baron, sosok baron ini disebut penemu harta karun pohon karet di wilayah Madre de Dios yang sekarang menjadi Taman Nasional Manu dalam penjelajahannya di Amazon pada tahun 1890-an.
Untuk memasok karetnya keluar dari wilayah Amazon, ia membayar 200 buruh karet demi membuat jalur sepanjang 13 km (8 mil) di atas punggungan hutan di antara dua daerah aliran sungai. Lelaki keturunan Irlandia-Amerika dan Peru ini juga disebut memaksa seribu budak setempat untuk membawa kapal uap seberat 30 ton, melewati gunung.
Patut diduga, bahwa di antara ribuan buruh tersebut terdapat orang-orang Machiguenga yang dalam novel Sang Pengoceh diperbudak oleh sosok bernama Fidel Pereira dan Tushia. Keduanya, serupa dengan orang-orang Yine di zaman Pra-Inca yang menargetkan Machiguenga sebagai tenaga kerja cuma-cuma untuk kelangsungan bisnis mereka.
Namun, demam karet bukan satu-satunya persoalan yang mengancam kelangsungan hidup suku ini. Kedatangan para penginjil berkedok penelitian etnologi bernama Institut Linguistik Musim Panas adalah ancaman yang tak kalah mengerikannya bagi Machiguenga.