Kejutan-Kejutan Asia atau Makin Dominannya Eropa?

Kejutan-Kejutan Asia atau Makin Dominannya Eropa?

Mahfud Ikhwan

Inilah kenapa orang seperti Nick Hornby, yang dianggap salah satu penulis buku sepakbola terbaik yang pernah ada, justru menyatakan bahwa ia tak ingin, tak akan, dan tak mungkin menjadi penulis sepakbola: karena ia sangat tahu selalu ada momen seperti putaran kedua babak penyisihan grup Piala Dunia. 
Itu adalah saat ketika Anda sebaiknya diam, menjauhkan semua hal yang mengalihkan perhatian, dan tak melakukan apa pun selain menonton pertandingan. Itu adalah momen ketika kita tak bisa, dan barangkali tak perlu, penjelasan-penjelasan dan ulasan-ulasan dan alasan-alasan. Habiskan keripik talas di meja dan hirup cangkir kopi kedua Anda, atau lemparkan segenggam kulit kacang dengan marah ke layar TV ketika penyerang tim yang kita dukung tak becus menceploskan bola di gawang yang sudah menganga, tapi jangan pernah lebih dari itu!
Seorang maniak bola seperti Hornby, sebagaimana juga saya dan Anda (yang dengan bebal masih saja menonton Piala Dunia yang kotor dan berdarah-darah ini), ada di posisi yang sepenuhnya berseberangan dengan seorang penulis sepakbola. Jika yang pertama selalu menunggu keajaiban-keajaiban, maka yang kedua mati-matian menalarnya; jika yang pertama selalu menyukai kejutan, maka yang kedua mencoba membuat kepastian-kepastian lebih awal. Penggemar sepakbola tak pernah yakin dengan apa yang diharapkannya, bahkan ketika semua bukti dan statistika telah menjaminnya—dan itulah kenapa stadion dan kursi di depan layar TV adalah tempat paling religius ketiga setelah rumah sakit dan kendaraan yang oleng. Penulis sepakbola, sebaliknya, selalu yakin dan ingin terlihat meyakinkan, meskipun tak seorang pun akan mempercayainya. 
Penulis kolom ini, seorang penggemar sepakbola yang menulis (sebagian didorong untuk membuktikan kepada para pembaca bahwa tak ada penggemar sepakbola yang lebih besar darinya), jelas pribadi yang terbelah. Sebagai penulis, ia diharuskan menjelaskan dan memikirkan apa-apa yang oleh penonton awam mungkin tidak dipahami. Sementara sebagai penggemar sepakbola, sebagaimana ditegaskan Hornby, ia tak mau dan tak pernah berpikir. Ia hanya mau menonton. Dan dikejutkan. Sisanya, biar diurus Binder Singh!
Tapi Binder Singh tak selalu bisa dipercaya—seperti kebanyakan orang di layar kaca. Itulah yang membuat penggila bola seperti saya mesti berpayah-payah menulis. Lagipula, di bawah judul tulisan ini sudah kadung tertera sebuah nama, dan itu nama saya. Jadi, biarlah saya menyelesaikan apa yang mesti saya kerjakan.  

*** 

Bicara tentang kejutan, orang-orang mengatakan “Asia tak bisa diremehkan”. Orang-orang menulis dengan tanda seru. Orang-orang ramai membuat tanda pagar. Saudi Arabia menjungkalkan Argentina, Jepang mengalahkan Jerman, dan Korea Selatan menahan Uruguay. Artinya, tiga pemegang gelar Piala Dunia mejan di hadapan tim-tim Asia. Sangat spektakuler kedengarannya. 
Tentu saja, agar slogan ini sesuai dan cocok dengan kenyataan, mereka mengetepikan Qatar, sang tuan rumah yang tak kurang Asianya. Banyak tim yang masuk putaran final Piala Dunia dan segera kelihatan bobrok bahkan ketika pertandingan pertama belum lagi selesai. Qatar adalah contoh terbaru tim macam itu. Dan kini mereka sudah resmi menjadi tim tuan rumah terburuk sepanjang sejarah Piala Dunia ketika satu pertandingan masih menunggu. 
Australia juga coba dilupakan. Ya, tentu saja, siapa yang menganggap Australia bagian dari sepakbola Asia—kecuali Muhammed Bin Hammam. Lagipula,  pengabaian itu memang sudah sepatutnya: setelah dibelasah juara bertahan Prancis 4-1 di pertandingan pertama, mereka bangkit di pertandingan kedua melawan Tunisia. Dan kini mereka ada di urutan kedua, dan punya peluang besar untuk lolos ke 16 besar. Jika mereka lolos, mungkin itu akan jadi penting bagi sepakbola Asia, setidaknya secara statistik. Jika yang terjadi sebaliknya, mereka toh hanya Australia.
Marilah terka, apakah perayaan itu digaungkan oleh orang-orang Asia yang emosional, atau oleh pembenci Argentina atau Jerman yang membabi buta, atau sekaligus kedua-duanya—para pendukung Inggris, misalnya? Anggap saja, dua jenis orang itu memang ada. Karena mendukung tim-tim yang lebih lemah adalah kecenderungan alamiah para pecinta sepakbola. Tapi, demikian juga schadenfreude—orang-orang yang menari di atas luka tim yang dimusuhinya.
Oh, ya, setelah di pertandingan kedua Arab Saudi kalah dari Polandia yang membosankan, dan Jepang digasak Kostarika yang bangkit dari kehancuran, apakah slogan-slogan yang terlalu awal itu masih bisa dipertahankan? Tentu saja. Toh ada Iran. Mereka menang dari Wales—setelah para pemainnya kembali menyanyikan lagu kebangsaan dan Sardar Azmoun bermain sejak menit awal. Dan, meskipun cuma Wales, konon, itu adalah kemenangan pertama mereka atas tim Eropa di Piala Dunia. 
Tapi, sebenarnya apakah makna lebih dari “mengalahkan tim Eropa untuk pertama kalinya” seperti yang dilakukan Iran? Tidakkah itu juga kemenangan yang sama atas tim mana pun, dengan poin tiga sebagai imbalannya—sebagaimana kemenangan Iran atas Maroko di Piala Dunia 2018, misalnya.
Sepertinya memang tidak sama. Bahkan ketika kita menengok papan peringkat FIFA: kedua negara berimpitan peringkatnya, masing-masing di peringkat 19 dan 20. Bahkan ketika bola yang disukai Gareth Bale menjadi lebih kecil dan lebih keras. 

***

Terima atau tidak, Eropa adalah kiblatnya sepakbola. Dulu begitu, dan tampaknya masih akan begitu. Ke sanalah kita menghadap jika penyembahan terhadap si kulit bulat dilaksanakan. Di sanalah sejarah dan tradisi dimulai; di sana, dari dulu hingga kini, uang diputar dan kekuasaan dioperasikan.    
Barangkali kini menjadi lebih mungkin untuk mengimbangi atau bahkan mengalahkan tim-tim Eropa—setidaknya itulah yang telah ditunjukkan Jepang, Korea Selatan, Iran, kemudian Maroko di Qatar. Tapi, justru pada kemenangan tim-tim non-Eropa tersebut, dominan dan determinannya faktor Eropa justru terlihat makin menonjol. Setidaknya dalam cara yang berbeda.
Jepang tampil di Qatar dengan 19 pemain di antaranya terdaftar sebagai penggawa klub-klub Eropa. Dan angka itu masih bisa ditambahkan: dari 7 pemain tersisa yang berasosiasi dengan klub lokal, dua pemain di antaranya (Yuto Nagatomo dan Hiroki Sakai) adalah pemain-pemain yang pulang kampung setelah kenyang malang-melintang di Eropa dalam ratusan pertandingan. Jika dibandingkan tim Jepang empat tahun lalu di Rusia (14 pemain), tentu itu bukan peningkatan yang tajam. Tapi coba bandingkan dengan skuad Jepang di Piala Dunia 1998, ketika mereka untuk pertama kalinya lolos ke putaran final, yang sepenuhnya diperkuat para pemain dari klub lokal. Dan coba pikirkan, apakah hanya kebetulan bahwa ketika Jepang mengalahkan Jerman di Doha beberapa hari lalu, 8 dari 16 pemain Jepang yang turun merumput di pertandingan tersebut adalah pemain yang sedang atau pernah bermain di klub-klub Jerman.
Hingga akhir ‘80an, kiprah Cha-Bum Kun di klub-klub Bundesliga adalah sebuah cerita sensasional yang diulang-ulang—nyaris di seluruh Asia. Selama berkali-kali Piala Dunia, ia menjadi satu-satunya pemain Korea yang punya label klub Eropa, sampai Kim Joo-sung, yang tercatat bermain untuk VfL Bochum, ikut masuk tim Piala Dunia 1994. Meski tak semassif Jepang, di Piala Dunia kali ini setidaknya delapan pemain Korea Selatan terdaftar atas nama klub-klub di Eropa. Kita tahu, beberapa pemain di tim ini, semisal Son Heung-min (Spurs) dan Kim Min-jae (Napoli), adalah pemain-pemain yang secara reguler kita tonton dua kali sepekan di kompetisi-kompetisi level tertinggi Eropa. 
Ketika Korea Selatan berjumpa Uruguay, yang nyaris semua pemainnya sedang atau pernah merumput di Eropa, Son dan Kim bukan hanya bertemu dengan rekan setimnya sendiri (masing-masing Bentancur dan Olivera), melainkan dengan banyak sekali pemain yang secara rutin menjadi lawan mereka dari pekan ke pekan. Barangkali karena itulah mereka akhirnya berbagi angka, 0-0. 
Saat Korea kalah 2-3 oleh Ghana, dalam pertandingan paling seru di turnamen sejauh ini, kita tahu jawaban sederhananya: Korea kalah Eropa dari Ghana. Dari 16 pemain Ghana yang turun melawan Korea, hanya ada satu pemain yang bermain di klub di luar Eropa, yaitu kapten Andre Ayew (Al Sadd, Qatar), pemain kelahiran Prancis yang untuk pertama kali dalam hidup dan kariernya bermain di luar Eropa. 
Dengan cara yang sama, kita bisa melihat “kejutan” yang dihadirkan Maroko atas Belgia. Maroko tidak hanya turun dengan tim inti yang 100% persen bermaterikan pemain-pemain yang berkiprah di Eropa (sebelum penjaga gawang Bono secara mendadak diganti Munir Mohamedi); 80% dari mereka adalah para pesepakbola yang lahir dan besar di Eropa, yang tak akan mengalami kesulitan jika butuh memaki atau memprovokasi para pemain Belgia dengan bahasa ibu mereka.
Iran masih memberi tempat yang layak bagi pemain-pemain dari tim-tim lokal historis seperti Sepahan, Esteghlal, dan Persepolis. Tapi sudah jadi tradisi Tim Melli, mereka selalu menyandarkan diri para penyerang hebat yang beredar di Eropa, mulai dari Ali Daei hingga Ali Karimi. Kini mereka bahkan punya tombak kembar pada diri Mehdi Taremi (Porto) dan Sardar Azmoun (Leverkusen). Meskipun tak mencetak gol, turunnya dua penyerang ini secara bersamaan dianggap menjadi faktor pembeda antara pertandingan pertama lawan Inggris dengan saat mereka melawan Wales. 
Kanada dan AS adalah tim lain yang punya wajah sangat Eropa, terutama beberapa tahun terakhir. Tim pertama sudah tersingkir, setelah kalah dari dua tim kuat Eropa yang menjadi semifinalis turnamen empat tahun sebelumnya. AS, sementara itu, mesti menunggu pertandingan terakhir melawan Iran untuk menunjukkan apakah Eropanisasi yang mereka alami bisa membawa mereka mengulangi atau melebihi prestasi pada 2010 dan 2014.

***

Tapi, tentu saja, tak ada yang lebih ter-Eropa-kan melebihi dua tim yang selama ini dianggap sebagai tim-tim yang paling anti-Eropa: dua raksasa Amerika Latin, Brazil dan Argentina. Dari 52 pemain yang mewakili kedua tim di Qatar, hanya 6 (enam!) pemain yang tidak bermain di Eropa.
Istilah yang lazim dipakai untuk menggambarkan hal itu adalah “globalisasi”; tapi istilah yang lebih tepat barangkali adalah “brain drain”, pengurasan habis-habisan. Penjelasan yang gampang: bagaimanapun, Brazil dan Argentina adalah lubang tambang yang masih terus menghasilkan berlian-berlian sepakbola paling cemerlang. Tapi, bisa juga kita membacanya dengan sedikit berbeda: ia sedikit memberi gambaran mengapa trofi Piala Dunia hanya berpindah-pindah tangan dari satu tim Eropa ke tim Eropa lainnya sejak Brazil terakhir merebutnya dua puluh tahun lalu.