Anak sekolah dan bimbingan belajar (bimbel) adalah dua entitas yang kini sulit dipisahkan. Jumlah jasa bimbel dan siswa yang mendaftar ke bimbel terus naik setiap tahunnya. Laporan Tirto.id menunjukkan ada 29.283 bimbel yang melayani 70,88% total siswa Indonesia pada 2017. Angka ini terus naik tiap tahunnya, contohnya bimbel daring Ruangguru menjaring 13 juta siswa pada 2019. Angka ini naik menjadi 22 juta siswa setahun berikutnya. Ini belum termasuk data siswa-siswa lain yang ikut di bimbel daring dan konvensional lainnya.
Melihat besarnya partisipasi siswa ke bimbel melahirkan pertanyaan: kenapa bisnis jasa ini begitu diminati pelajar?
Bimbel: dulu dan sekarang
Kompas menuliskan bimbel pertama kali muncul pada 1970an di Jakarta. Pionirnya adalah Siky Mulyono yang membimbing siswa untuk lulus tes masuk perguruan tinggi melalui Proyek Perintis (PP). Laporan Tempo dari 1983 berkata lain: bimbel sudah ada di Indonesia setidaknya sejak 1969 dengan nama Institut Pendidikan Ilmu Menengah Eksakta Surabaya (IPIMES). Bimbel-bimbel ini awalnya memang ditujukan untuk membimbing siswa masuk perguruan tinggi, tapi seiring dengan waktu juga mengajarkan mata pelajaran sekolah minus pelajaran Pancasila, olahraga, kesenian, dan agama. Tempo menyebut bimbel ini “seperti sekolah” minus disiplinnya karena siswa boleh terlambat asal jangan terlalu lama, merokok dalam kelas, dan menggunakan pakaian bebas. Siswa diwajibkan membayar Rp35.000-65.000 - biaya yang cukup tinggi mengingat gaji pokok PNS saat itu mulai dari Rp12.000-120.000.
Ganesha Operation di Bandung dan Primagama di Yogyakarta mulai beroperasi pada dekade berikutnya. Kedua raksasa bimbel Indonesia ini memulai ekspansi pada 1990-an. Ganesha Operation membuka cabang pertamanya di Denpasar. Pada saat bersamaan, Primagama telah membuka 132 cabang. Sepanjang dasawarsa ini pula bimbel-bimbel lain mulai menyasar siswa kelas 3 SMA yang mau mengikuti UN dan kelas-kelas di bawahnya.
Bimbel-bimbel zaman dulu didirikan dengan modal yang cukup kecil. Bimbel Kelompok Studi Mahasiswa yang berdiri pada 1979 contohnya, didirikan dengan modal Rp500.000. Walau begitu bisnis bimbingan belajar ini terbukti hits: di bulan pertama pendiriannya mereka langsung mendapatkan 300 siswa baru. Banyaknya siswa yang mendaftar juga berkat teknik marketing sang pendiri Maringan S. Sitorus yang menyebarkan brosur bimbelnya ke sekolah-sekolah tiap malam.
Menariknya fenomena bimbel juga terjadi di negara lain. Di Hongkong bisnis bimbel naik pesat di pada 1980an, mengikuti economic boom yang mengubah negara kecil ini menjadi pusat bisnis global. Orangtua Hongkong melihat pendidikan universitas sebagai investasi yang menjanjikan tiket emas untuk kesuksesan keluarga. Berhubung universitas memberlakukan syarat kelulusan ujian nasional yang terhitung sulit dan banyak orangtua yang tidak bisa mengawasi anaknya belajar, mereka mendaftarkan anak-anaknya ke bimbel.
Sama seperti Indonesia, bimbel Hongkong zaman dulu mengiklankan jasa mereka di koran dan mengandalkan marketing via brosur dan mulut ke mulut. Namun yang membedakannya dengan Indonesia adalah beberapa bimbel besar Hongkong memiliki star tutor alias guru yang sudah punya nama karena pernah mengajar di sekolah bergengsi atau menulis buku pelajaran yang terkenal. Star tutor bisa mengajar 200 siswa per kelasnya. Hal ini melanggar peraturan Dinas Pendidikan Hongkong yang mengatur satu kelas maksimal diisi 45 siswa.
Tren tutor seleb ini terus berlanjut hingga sekarang. Bimbel-bimbel besar Hongkong memasarkan tutor-tutor terkenal dengan menempelkan wajah mereka di bus, stasiun, dan area publik lainnya. Laba yang mereka raup juga tidak main-main: Modern Education, salah satu bimbel terbesar Hongkong, mendulang US$32 juta pada 2012. King’s Glory, bimbel besar lainnya, bahkan mempromosikan tutor king dan tutor queen rupawan untuk menarik perhatian siswa-siswi puber. Para tutor papan atas ini bisa membawa pulang 3 juta dollar per tahunnya—jauh lebih rendah dari guru sekolah yang hanya mengantongi $294.000 per tahun.
Tren pengiklanan yang bombastis juga dilakukan oleh bimbel-bimbel Indonesia. Sebelum ada bimbel daring, Ganesha Operation dan Primagama memasarkan produk mereka lewat tur sekolah, tryout rutin tiap semester genap, dan baliho pinggir jalan yang menunjukkan jumlah siswa mereka yang berhasil lulus UN dan tes perguruan tinggi negeri.
Sekarang tren marketing mereka bergeser agar lebih menarik; Pahamify menggunakan sistem rockstar teacher yang lulus dari universitas negeri, Ruangguru mengadakan acara promosi besar-besaran di TV nasional, dan Quipper menggunakan artis sebagai super teacher mereka. Selain itu, mereka juga menawarkan diskon yang menggiurkan serta testimoni pesertanya yang bisa lolos ke perguruan tinggi negeri.
Alasan bimbel merajai pasar pendidikan
Menjamurnya bisnis bimbel merupakan respons terhadap semakin naiknya kebutuhan siswa untuk belajar di luar sekolah. Faktor yang memicu ini adalah semakin naiknya tingkat kesulitan UN dan ketatnya kompetisi masuk perguruan tinggi. Ada tiga tes masuk perguruan tinggi negeri yang bisa diikuti siswa, yaitu SNMPTN atau jalur undangan, SBMPTN dan UM yang merupakan tes tertulis.
Dua tahun terakhir peraturan SNMPTN semakin ketat. Pada 2018 jumlah siswa yang bisa mendaftar SNMPTN adalah 50% siswa teratas sekolah akreditasi A, 30% siswa teratas sekolah akreditasi B, dan hanya 10% siswa teratas sekolah akreditasi C. Pada 2019 jumlah siswa yang bisa mendaftar SNMPTN turun menjadi 40% siswa teratas sekolah akreditasi A, 25% siswa teratas sekolah akreditasi B, dan 5% siswa teratas sekolah akreditasi C.
Mereka yang bisa ikut SNMPTN pun harus berebut kursi yang amat terbatas. Sebagai ilustrasi, ada 17.356 siswa yang mendaftar ke Universitas Indonesia (UI) via SNMPTN pada 2020. Hanya 1.106 siswa yang akhirnya diterima. Artinya, probabilitas masuk UI adalah 6,37 per 100. Mereka yang tak lolos harus memperebutkan kursi sisanya di SBMPTN dan UM atau beralih ke perguruan swasta. Bahkan lewat cara itu pun mereka tetap harus melewati kompetisi yang sama sulitnya karena hanya ada 4.621 perguruan tinggi di Indonesia per 2019. Dari 4.000 lebih perguruan tinggi, hanya 95 perguruan tinggi atau 2% yang memiliki akreditasi A. Sebanyak 48% sisanya belum terakreditasi.
Ketatnya kompetisi masuk perguruan tinggi—terutama perguruan tinggi negeri yang terakreditasi baik—membuat banyak siswa melihat bimbel sebagai juru selamat. Bimbel bisa memberikan bukti bahwa lulusannya bisa menyabet kursi universitas negeri. Hal ini dibuktikan oleh hasil survei Mardianto, dkk. (2019) terhadap 400 peserta dari 3 bimbel Yogyakarta. Survei tersebut menunjukkan bimbel meyakinkan para siswa lewat cerita sukses alumni dan porsi pelatihan soal yang lebih banyak daripada di sekolah. Tutor lulusan perguruan tinggi ternama, cara pengajaran yang empatik, komunikatif, dan luwes, jumlah siswa yang lebih sedikit, dan ruangan ber-AC juga menjadi faktor tambahan yang meyakinkan siswa dan orangtua.
Bisakah bimbel menjadi solusi?
Bagaimanapun pusat pendidikan ada di sekolah, bukan di bimbel. Semakin banyaknya bimbel dan siswa yang mendaftar menandakan ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Permasalahan yang paling sering dibicarakan adalah bagaimana kurikulum kita terlalu menekankan pada hasil tes alih-alih pemahaman mendalam di mata pelajaran.
Permasalahan kedua yang tak kalah pentingnya adalah fakta bahwa Indonesia sedang dilanda krisis guru. Pada 2017 Detik melaporkan dari 3,9 juta guru, 25% belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% belum memiliki sertifikat profesi. Pada 2020 Kemendikbud melaporkan Indonesia kekurangan lebih dari 1 juta guru akibat rekrutmen yang tidak selaras dengan pembukaan sekolah baru dan angka pensiun.
Permasalahan ketiga terletak di kurikulum dan sikap kita terhadap tes. Edi Subkhan, dosen Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang menunjukkan masyarakat terlalu mensakralkan ujian nasional yang seolah menentukan “hidup-mati” siswa, kurikulum yang gemuk dan jam pelajaran yang terbatas, ketiadaan kelas khusus yang membahas tes masuk universitas, dan tuntutan guru agar memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Permasalahan di atas membuat tenaga psikis dan fisik guru habis untuk mengajari siswa cara menghafal jawaban untuk tes. Struktur sekolah yang lebih formal dan kaku serta ketakutan menghambat proses pembelajaran teman sekelas membuat siswa lebih ragu bertanya di kelas. Ketakutan dan keraguan ini tidak ada di bimbel. Meski begitu cara pengajaran utama bimbel adalah cara cepat dan tepat mengerjakan soal tes, sehingga lagi-lagi bimbel tidak memperdalam pemahaman siswa akan pelajaran di sekolah.
Dimensi permasalahan lainnya adalah bimbel menyedot waktu luang yang bisa digunakan untuk berolahraga, bermain musik, dan aktivitas lainnya. Padahal aktivitas-aktivitas selain belajar ini penting agar remaja bisa tumbuh dengan baik. Kultur yang terlalu menekankan belajar justru bisa memiliki efek buruk ke remaja.
Lihat saja Korea Selatan. Pihak kepolisian sampai membentuk tim yang membubarkan hagwon (bimbel) gelap yang beroperasi lewat jam 10 malam. Kultur belajar dan bimbel sampai kelelahan berimbas buruk ke kesehatan fisik dan psikis remaja Korea: 6,7% merokok, 15% pernah meminum alkohol, dan 28,2% melaporkan gejala depresi. Angka bunuh diri di kalangan anak muda Korea Selatan juga sangat mengkhawatirkan.
Bimbel juga memperluas memperluas jurang ketidaksetaraan, tulis Asian Development Bank. Keluarga kelas menengah atas punya kesempatan menyewa tutor kompeten lebih banyak daripada keluarga kelas menengah atau miskin. Akibatnya, anak-anak dari keluarga kurang mampu semakin kesulitan mendapatkan akses ke sekolah atau bahkan universitas yang lebih bagus. Ini mengkhawatirkan mengingat tujuan pendidikan tak hanya mencerdaskan publik, tapi juga membuka kesempatan yang setara bagi semua orang terlepas dari latar belakangnya.
Menariknya, pemerintah Indonesia dulu sempat menggertak bimbel-bimbel yang terlanjur bertebaran di kota-kota besar. Penggertakan ini datang lewat surat edaran yang memperingatkan bimbel tidak memiliki wewenang mengadakan tes tryout. Dirjen Pendidikan Dasar Menengah Prof. Darji Damodiharjo menyatakan bimbel “tidak punya pendalaman materi, sedikit sekali menambahkan materi, menyita waktu terlalu banyak, biaya kelewat tinggi, dan sering terjadi penyalahgunaan.” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto malah menuduh bimbel memiliki unsur penipuan karena memasang tarif yang terlalu mahal dengan waktu pembelajaran singkat. Dalam pendek kata, nonsense.
Nugroho Notosusanto juga mengatakan pemerintah akan membuat para bimbel mundur pelan-pelan alih-alih serta merta menghukumnya. Namun gertakan tinggal gertakan; sampai sekarang bisnis bimbel justru semakin menjamur.
Lalu masih adakah solusi untuk isu ini?