Kenapa Harus Main Sendiri Kalau Ada yang Ngejokiin?

Subtitle: Cerita para pemain Genshin Impact Indonesia~

Saya sedang menggulir beranda ketika cuitan seorang kawan mencuri perhatian saya. Isinya kurang lebih begini: “duh susah banget sih ngalahin ruin hunter di quest ini… mau nangis”. Penasaran, saya mengklik cuitan tersebut untuk membaca balasan orang-orang. Beberapa balasan terdengar biasa saja, isinya menyemangati dan memberikan tips dan trik untuk mengalahkan musuh tersebut. 

Justru yang menarik minat saya adalah dua balasan yang berbunyi “sini aku jokiin” dan “eh kalo mau coba joki, aku tau yang murah!” Kawan saya pun meminta informasi soal joki murah. Tentu hal tersebut membuat saya bingung: mengapa kehadiran joki menjadi hal yang diperlukan dalam bermain game? Mengapa jasa joki game sekarang dirasa penting sampai ada yang mau menjual dan membeli? Hal ini membuat saya mencari tahu lebih lanjut dengan bertanya pada kawan-kawan yang menggunakan jasa joki. 

Sebagai perkenalan, game yang dimainkan teman-teman saya  adalah Genshin Impact, game RPG dengan model open world. Sistem Genshin Impact mengharuskan pemainnya untuk rajin bermain dan memikirkan strategi. Ada misi harian, misi mingguan, juga event-event yang harus diikuti oleh pemain untuk bisa membuka wilayah, cerita, material, dan karakter baru. Material ini penting agar karakter dan senjata mereka bisa naik level. Banyak pengulas game yang bilang game ini tidak ramah pemula karena sistemnya rumit dan banyak menuntut waktu. 

Meski begitu ada saja yang bertahan memainkan game ini karena desainnya yang ciamik dan gameplay yang seru. Dua faktor ini sempat diulas oleh Merikivi, dkk (2017). Penelitian yang sama juga menyebutkan alasan kenapa orang bisa berhenti, seperti permainan yang jadi membosankan atau tidak menyenangkan atau game yang semakin susah untuk diselesaikan. 

Masalah inilah yang menyebabkan joki Genshin Impact menjamur dimana-mana. Adanya joki memungkinkan pemain bisa melewati tantangan tanpa menghabiskan waktu dan merasa frustasi. Kesenangan dalam bermain dan kelanjutan cerita yang menarik bisa terus dinikmati. Oleh karena itu para joki di Twitter menawarkan berbagai jasa, dari menyelesaikan misi, mengumpulkan material, melawan bos, menaikkan level karakter/senjata/artefak (dengan farming/grinding), menyelesaikan cerita, hingga melakukan event dalam game dengan akun si pemain. Pemain dengan suka rela membayar jasa joki karena dia telah memiliki keterikatan pada game sehingga tidak ingin berhenti meskipun menemui kesulitan saat bermain.

Menariknya, tak semua joki ingin dibayar. Kadang ada yang menawarkan jasa joki karena adanya rasa kedekatan dan ingin membantu sesama pemain, seperti yang saya singgung di awal. Hal lainnya adalah fenomena joki terbatas di komunitas Genshin Impact Indonesia. Setiap cuitan soal joki muncul dari akun-akun berbahasa Indonesia. Saat mencoba mencari jasa joki menggunakan bahasa Inggris di Twitter, saya malah tidak menemukan penawaran jasa tersebut.

Lahan Basah Joki Game

Fenomena joki berbayar ini mungkin terdengar aneh, tapi ia merupakan hal normal di komunitas game Indonesia. Apalagi pekerjaan ini merupakan lahan basah karena basis konsumennya besar. Bak sekali mendayung dua-tiga pulau terlewati—sudah memainkan game kesukaan mereka, bisa dapat uang pula. 

Tak perlu takut tidak dapat klien, toh ada saja yang mau memakai jasa joki. Ini berhubungan dengan alasan kenapa orang rela mengeluarkan uang untuk game, karena ini berkaitan dengan pengalaman yang dirasakan dan dibutuhkan dalam bermain game (Hsiao & Chen, 2016). Pengalaman ini termasuk keinginan untuk mendapatkan item dalam permainan yang hanya bisa didapatkan dengan gacha, penukaran in-game currency dengan jumlah tertentu dan harus ditambahkan dengan pembelian dalam aplikasi. Faktor lainnya adalah loyalitas yang membuat mereka enggan berhenti sampai ke titik adiksi (Balakhrisnan & Griffith, 2018).

Dua faktor ini juga berpengaruh dalam bagaimana pemain memutuskan untuk memakai jasa joki. Dari fenomena ini, kita bisa melihat bahwa kesenangan dalam bermain game sudah dikapitalisasi sedemikian rupa, bahkan oleh sesama pemain. Biar niat awalnya mungkin hanya untuk membantu sesama pemain, harga yang kemudian ditempelkan membuat jasanya menjadi komoditas. Apalagi jasa ini diiklankan di media sosial dan tidak diregulasi—atau bahkan cenderung dipromosikan—oleh komunitas sehingga bisa terus berkembang.

Usaha untuk mengkomodifikasikan hal-hal banal dan semestinya bisa dinikmati tanpa beban merupakan cerminan dari bagaimana kapitalisme telah merasuk sebegitu dalamnya ke kehidupan kita—bahkan dalam hal yang, jika dilihat lebih dekat, sebenarnya memiliki pilihan untuk tidak terkomodifikasi. Namun bisa saja pilihan itu sebenarnya tak lebih dari ilusi karena game ini juga dibuat oleh korporasi yang berniat mengeruk untung sebanyak-banyaknya. Hanya saja, ternyata pemain juga dapat memanfaatkan celah yang secara tidak langsung telah diberikan oleh perusahaan dan komunitas untuk keuntungannya sendiri.

Pemain, pada akhirnya, menjadi teralienasi dari hal yang mereka senangi karena menjadikannya sebuah komoditas ketika memutuskan untuk menjadi joki. Alienasi tersebut juga terjadi pada pemain yang menggunakan jasa joki karena tidak adanya interaksi antara mereka dan permainan secara langsung. Permainan kemudian berubah menjadi ajang untuk mengejar prestise. Kesenangan dalam keberlanjutan bermain yang menjadi alasan mereka menggunakan jasa joki bisa jadi hilang terkikis waktu. 

Bahkan bisa saja para joki yang semula menawarkan jasa karena kesenangannya bermain akan muak karena mengasosiasikannya dengan pekerjaan. Bukan tidak mungkin juga para pemain yang mengeluarkan uang untuk membeli jasa joki itu menyesal karena tidak dapat merasakan keseruan dalam game dengan pengalamannya sendiri. Jadilah skenario dimana tidak ada yang menang.