Kenapa Orang Takut Jadi Tumbal Proyek?

Kenapa Orang Takut Jadi Tumbal Proyek?
Saya pertama kali mengenal istilah “musim culik” ketika masih kerja penelitian di Sumatra Utara. 
Satu kesempatan, saya dan tim mewawancarai pasangan Simalungun Muslim tua. Orangtua mereka bercerita dulu di sekitar kampung berkeliaran seorang penjahat sakti kaki tangan pemerintah kolonial Belanda. Tugasnya menculik anak-anak supaya bisa ditumbalkan untuk membangun jembatan, jalan raya, dan bangunan penting lainnya. Kabarnya, pemerintah kolonial mengutus banyak lagi penjahat sakti untuk melakukan hal yang sama di daerah-daerah lain. Lantas, pasangan tua ini waktu kecil sering diwanti-wanti orangtua mereka untuk tidak bermain jauh-jauh karena takut jadi korban “musim culik.”
Kami menyimak dan mencatat kisah ini, tapi tidak kami hiraukan lebih lanjut.
Setahun kemudian, saya menemukan buku karya Onghokham tentang sejarah Karesidenan Madiun. Ong menulis bahwa pada abad ke-19 dan -20, berada rumor di pedesaan yang mengatakan pemerintah Belanda butuh dua tengkorak manusia sebagai pondasi jembatan, gedung pemerintahan, dan bangunan penting lainnya. 
Rumor ini membuat masyarakat setempat mencurigai kehadiran orang asing, terutama orang Belanda. Menurut laporan pejabat kolonial yang Ong kutip, tidak jarang penduduk kampung menyerang orang asing yang muncul di desa sambil berteriak “Culik, culik!” sambil menyembunyikan anak-anak mereka
Kenapa cerita pasangan tua di Sumatra Utara bisa serupa dengan catatan pejabat kolonial di Jawa Timur?
Kenapa Takut Diculik?
“Musim culik” ini sebenarnya menggambarkan ketakutan yang lazim tentang tumbal konstruksi, atau lebih umumnya dikenal sebagai tumbal proyek.
Tumbal proyek bukan hal asing yang kita dengar di pembahasan sehari-hari. Entah dalam konteks berseloroh atau serius, tumbal proyek tidak lepas dari pembicaraan tentang pembangunan. 
Namun dari catatan sejarah Sumatra Utara dan Jawa Timur di atas, nampaknya masalah tumbal proyek punya sejarah yang lebih panjang dan penting dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia. Cukup mengherankan juga kenapa ekspresi ketakutan ini jamak dilaporkan pada masa kolonial sampai modern.
Apa ada ketakutan tumbal proyek di bagian lain Indonesia? 
Ternyata ada. Saya membaca beberapa artikel jurnal tentang kemunculan ketakutan yang serupa di Kalimantan Barat, dan interaksi gugusan kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) serta wilayah Maluku dan Sulawesi. Jadi, ketakutan tentang tumbal proyek kelihatannya merata terjadi di Barat sampai Timur Indonesia.
Seperti apa ketakutan di daerah-daerah ini?
Orang Dayak Mualang di Kalimantan Barat takut saat terjadi pembangunan infrastruktur yang dilakukan negara -baik oleh negara kolonial Belanda maupun Indonesia.
Penduduk kepulauan NTT punya kekhawatiran pada orang asing, apalagi saat malam-malam, karena mereka takut diculik untuk dibawa keluar pulau. Begitupun juga dengan orang-orang di Ambon; meski memiliki latar belakang Kristen, mereka mencurigai orang Belanda karena memiliki ketakutan yang sama.
Kenapa ketakutan ini bisa muncul?
Budaya Penumbalan: Antara Kenyataan dan Bualan
Pertama-tama, kita coba pahami dulu konsep tumbal proyek.
Kita bisa menghubungkan asal-usul rumor ini dari praktik tumbal manusia yang sebelumnya sudah ada. Meski beberapa budaya di dalam maupun di luar kepulauan Indonesia secara eksplisit mempraktikan penumbalan, ketakutan tumbal proyek mengangkangi ranah fakta dan fiksi.
Sebagai fakta, konsep tumbal proyek bisa ditemukan di luar kepulauan Indonesia; di Asia Tenggara dan lebih jauh lagi. Penumbalan memiliki dua fungsi: untuk menentramkan hubungan dengan roh-roh, dan sebagai perlindungan. Sebagai penenteraman hubungan, tumbal diharapkan dapat memuaskan roh sehingga merestui pembangunan rumah di wilayah mereka. Sebagai perlindungan, tumbal memperkokoh struktur bangunan supaya tahan lama dan tahan serangan alamiah dan supernatural. Tentu saja, kedua kategori tumbal ini bisa bertumpang tindih.
Fungsi pertama umumnya melingkupi bangunan pribadi, misalnya perumahan. Sementara itu, fungsi kedua melingkupi bangunan yang lebih publik dan politis, misalnya bendungan, istana dst. Tumbal dapat mengikuti perbedaan ini seperti sebuah spektrum: semakin penting bangunannya secara publik dan politik, semakin penting pula tumbal yang harus diberikan. Dari mengorbankan, katakanlah, hasil panen sampai harus menumbalkan jiwa manusia.
Namun, sebagai fiksi, ketakutan tumbal proyek bisa jadi punya asal-usul modern. Ketakutan serupa memiliki alur dan struktur yang sama di India, Tiongkok, dan Asia Tenggara, dan selalu menyematkan tindakan-tindakan pada agen asing dan/atau negara kolonial.
Kita bisa amati adanya praktik terbuka tumbal manusia di catatan etnografis di atas, seperti pemburuan kepala dalam masyarakat Dayak Mualang. Namun, tidak ada catatan lugas tentang penumbalan manusia di Sumatra Utara dan Jawa Timur -setidaknya dalam masa kolonial. Hal yang lebih menarik adalah budaya-budaya di NTT nyaris tidak mempraktikkan tumbal proyek. 
Lebih menarik lagi: seluruh rumor ini memang sebatas rumor. Orang yang tercatat membahas ini bukan saksi mata terjadinya penumbalan. Semuanya kabar burung yang mereka dengar dan sebarkan dari keluarga atau orang lain. Benang merah yang mengikat ketakutan di seluruh daerah ini, lagi-lagi, adalah kegiatan pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh Belanda maupun Indonesia.
Dus, ketakutan tumbal proyek adalah fenomena bawaan dari budaya lama yang sudah ada sekaligus konsep modern.
Ekspresi Orang-Orang “Kalah”
Jika ketakutan tumbal proyek bukan kenyataan ataupun bualan, maka nampaknya ada hal lain yang tersurat dari yang tersirat.
Saya menduga bahwa apa yang tersurat adalah ekspresi orang-orang “kalah.” Rumor ini seperti ideologi perlawanan populer terhadap negara, atau aktor pembangunan kuat lainnya.
Menyitir dan mengembangkan catatan etnografis tentang Dayak Mualang di atas, struktur narasi ketakutan tumbal proyek mencakupi beberapa unsur berikut:
Protagonisnya adalah orang-orang “kalah,”
Antagonis adalah orang-orang “menang,”
Adanya kolaborator dari orang “kalah” yang bekerja untuk orang “menang,”
Penculikan terjadi untuk melanggengkan kekuasaan yang “menang.”
Saya beri tanda kutip ke kata “kalah” karena orang-orang yang ketakutan ini belum tentu orang-orang yang terpinggirkan. Memang, ada orang yang berabad-abad jadi marjinal dalam politik regional. Namun, ada juga orang dari entitas politik dominan yang dilengserkan oleh aktor politik baru.
Orang-orang NTT, baik yang ada di Flores maupun kepulauan sekitar, tidak memiliki praktik tumbal proyek. Secara budaya, mereka memang mengenal adanya roh jahat dari laut yang dapat menculik orang. Namun, mereka juga punya ingatan kolektif menjadi sasaran empuk penculikan selama berabad-abad. Wilayah ini kerapkali dijadikan sumber pasar budak di Timur. Sebelumnya oleh Kerajaan Goa, kemudian oleh tetangga mereka, Bima, dan terakhir oleh Belanda dan Portugis.
Meningkatnya pengaruh Belanda berpadu dengan kepercayaan tentang penculikan oleh roh jahat. Belanda kemudian dianggap sebagai kelompok haus darah tumbal manusia untuk berkuasa.
Sementara itu, pemburuan kepala telah menjadi bagian dari budaya kompleks Dayak Mualang, mungkin juga dari suku Dayak lainnya. Kelompok ini adalah kekuatan politik dominan di pedalaman Kalimantan. Namun, Belanda merangsek masuk dan menundukkan kelompok-kelompok Dayak, sekaligus melarang pemburuan kepala. Dayak, tercerabut dari salah satu aspek budayanya, secara paradoks melihat Belanda memonopoli pemburuan kepala untuk melanggengkan kekuasaannya, serta membangun proyek berskala besar. Dus, muncul anggapan pembangunan infrastruktur yang massif ditopang oleh tumbal proyek yang banyak. Ketakutan ini terbawa dari zaman Belanda sampai pada Indonesia tahun 80an.
Dari sini, saya pikir struktur rumor tumbal proyek bisa dilihat sampai hari ini, misalnya dalam teori konspirasi. Tiga tahun setelah kemunculan kasus pertama Covid-19, kita terpapar oleh banyak kabar tentang orang yang menolak divaksin. Alasannya beragam: dari yang cukup masuk akal melihat vaksin sebagai permainan Big Pharma, sampai yang kocak mengatakan ada mikrochip dalam vaksin yang membuat kita dapat dimanipulasi elit-elit global.
Orang-orang yang percaya teori konspirasi melihat dirinya berjuang melawan penelusuran ilmiah yang dogmatis, wewenang lembaga keilmiahan, dan batas epistemik para ilmuwan. Mereka melihat bahwa para ilmuan dan pendekatan ilmiah sekarang begitu berjarak dan dingin dari kehidupan umum, bahkan menghalang-halangi rasa ingin tahu. Dus, melawan konsesus ilmiah kiwari dianggap sebagai kewajaran dan tindakan yang benar secara moral.
Bisa jadi dengan menafikan gerakan ini dengan cap “irasional” malah menyangkal kita dari memahami kenapa gagasan seperti ini menyebar. Sekilas, ketakutan akan tumbal proyek juga irasional. Namun, memahami konteks kemunculan mereka, serta sigfinikansi material dan kultural mereka, memungkinkan kita menilik bagaimana rumor-rumor ini menghinggapi pikiran mereka yang percaya.
Penutup
Kita kembali lagi ke catatan pejabat kolonial di Jawa Timur dan cerita pasangan Simalungun tua. 
Ong menulis bahwa ketakutan akan culik adalah ekspresi petani yang menderita di bawah sistem Tanam Paksa, dan ketakutan mati saat menjadi buruh, membangun atau bekerja di pabrik di dalam maupun luar Jawa. Rasa takut ini juga kelak mengilhami konsep politik milenarisme seperti “Ratu Adil.”
Sementara itu, kisah pasangan Simalungun tua juga sangat pas dengan struktur narasi di atas. Mereka besar dan tinggal di pinggiran perkebunan yang dibangun Belanda dan modal Barat dalam masa kejayaannya pada awal abad ke-20. Desa-desa dipindahkan agar perkebunan karet berdiri; hutan, pohon-pohon tua, dan perbukitan diratakan untuk membuka jalan. 
Perubahan luar biasa pada lanskap kehidupan sekitar oleh karena pembangunan adalah pemandangan mengagumkan, tapi kerap kali mengerikan.
Dengan menilik asal-usulnya, kita bisa lihat bahwa ketakutan tumbal proyek adalah rumor yang membantu orang mencerna ketidakberdayaan dan rasa kehilangan mereka, apalagi yang berada di antara pembangunan pesat yang umumnya mengecualikan mereka.