Kenapa Peer Marriage Sulit Terwujud di Indonesia

Film When Harry Met Sally (1989) tak hanya mengisahkan bagaimana persahabatan bisa berujung pada cinta. Lebih dari itu, romcom satu ini juga menunjukkan bahwa persahabatan atau setidaknya hubungan selayaknya sahabat adalah bumbu penting pernikahan.  

 

Bukan sebuah kebetulan Pepper Schwartz menemukan kisah serupa Harry dan Sally pada salah satu dari 100 pasangan yang menjadi responden penelitiannya. Pada 1994, ia menerbitkan hasil penelitiannya lewat buku berjudul Love Between Equals: How Peer Marriage Works.

 

Schwartz adalah seorang seksolog dan sosiolog dari University of Washington. Ia mengartikan peer marriage sebagai pernikahan yang setara dengan kolaborasi antara cinta dan kerja keras untuk menghasilkan keintiman yang mendalam serta saling menghormati. 

 

Dalam peer marriage, seperti kata Schwartz, pasangan setuju membagi semua tanggung jawab dan keputusan rumah tangga secara adil. Tak seperti pernikahan “tradisional” yang membagi peran dalam rumah berdasarkan gender (suami bertugas mencari nafkah dan istri melakukan pekerjaan domestik). Sebuah praktik yang menurutnya menjadi “sumber kebencian yang pada akhirnya merusak cinta”. 

 

Secara garis besar Schwartz menyebut ada empat karakteristik peer marriage: 

 

  1. Porsi pembagian mengerjakan urusan rumah tangga dan mengurus anak tak boleh lebih dari 60:40.
  2. Pasangan merasa punya pengaruh setara dalam mengambil keputusan penting di rumah tangga. 
  3. Pasangan merasa punya kontrol yang sama terhadap ekonomi keluarga dan dana yang bisa dibelanjakan. 
  4. Pekerjaan setiap orang diberi bobot yang sama dalam rencana hidup pasangan.

 

Schwartz menyebut tiga keuntungan menjalankan peer marriage. Pertama, keutamaan dalam hubungan. Pasangan yang menjalankan peer marriage cenderung meletakkan hubungan pernikahan mereka di atas semua hubungan lain, seperti pekerjaan dan keluarga besar. Mereka merasa telah puas dengan hubungan persahabatan dalam pernikahannya. Hal ini karena inti dari peer marriage adalah membangun rasa aman dan penghargaan di antara pasangan. 

 

Kedua, keintiman yang lebih besar daripada pernikahan tradisional. Pasalnya, pasangan peer marriage punya kebersamaan lebih banyak daripada pasangan tradisional. Hal ini adalah dampak dari persetujuan berbagi pekerjaan domestik, mengurus anak, kontrol ekonomi, dan keputusan yang membuat putaran roda kehidupan rumah tangga selaras. Sehingga, pasangan bisa lebih mudah saling memahami dan menegosiasikan perbedaan. 

 

Ketiga, pasangan peer marriage lebih berkomitmen menjaga hubungan. Hal ini karena mereka menjadi begitu dekat dan tergantung satu sama lain, tapi masih membuka ruang kompromi. Walhasil, mereka akan merasa perpisahan adalah ongkos besar yang harus dibayar jika mereka harus kehilangan itu semua. 

 

Sampai di sini tak berlebihan menyebut peer marriage sebagai cara untuk mencapai rumah tangga harmonis. Setidaknya bila harmonis dimaknai sebagai keselarasan di antara beberapa pihak dalam satu ikatan. 

 

Pertanyaannya kemudian, apakah peer marriage bisa terwujud di Indonesia? Jawabannya tentu saja bisa. Hal ini seperti kata Schwartz, bahwa peer couples are made, not born. 

 

Namun, ada beberapa kondisi yang bisa menghalangi terwujudnya peer marriage di negeri ini, yaitu:

Budaya Patriarki Terlembaga dalam Hukum Positif

 

Budaya patriarki yang memandang laki-laki lebih tinggi dari perempuan adalah akar ketimpangan peran berdasarkan gender dalam pernikahan tradisional. Laki-laki dianggap lebih layak menjadi kepala keluarga yang memegang kuasa penuh dalam rumah tangga. Sebaliknya, perempuan terpaksa harus puas hanya menjadi makmum dengan pengaruh terbatas pada keputusan rumah tangga. 

 

Badan Pusat Statistik (BPS) pun mencatat mayoritas kepala rumah tangga di Indonesia adalah laki-laki. Sebuah hal yang membuktikan bahwa genderisasi peran masih mengakar. 

 

 

 

(sumber: Susenas BPS 2021)

 

Kuasa penuh membuat laki-laki bisa membebankan lebih sedikit tanggung jawab rumah tangga kepada dirinya. Sebaliknya, lebih banyak kepada perempuan. Misalnya, dalam melakukan tugas domestik dan mengurus. Lelaki mudah saja berdalih telah cukup mencari nafkah, sehingga urusan domestik dan mengurus anak dibebankan sepenuhnya atau lebih banyak kepada perempuan. 

 

Hasil survei Abdul Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) periode Oktober-Desember 2020, bisa menjadi bukti akan hal itu. Dari total 1.203 responden warga Indonesia, 50 persen perempuan mengaku menghabiskan waktu 3-5 jam sehari untuk melakukan pekerjaan rumah tangga tidak berbayar selama pandemi, termasuk mengurus anak. Hasil yang timpang dengan 71 persen lelaki yang hanya menghabiskan 0-2 jam sehari melakukan hal serupa.

 

Komnas Perempuan pun menemukan kecenderungan serupa. Dalam catatan tahunan 2021, lembaga ini menyebut jumlah perempuan yang mengalami penambahan waktu kerja domestik lebih dari tiga jam empat kali lipat dibandingkan laki-laki selama pandemi. Akibatnya, 1 dari 3 perempuan lebih stres dibanding sebelum pandemi. 

 

Masalahnya, praktik itu sulit diubah di Indonesia lantaran genderisasi peran tersebut terlembagakan dalam hukum positif, yakni UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Antara lain tertuang dalam pasal-pasal berikut ini: 

 

  • Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan “suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” 
  • Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan “suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.” 
  • Pasal 34 ayat (2) yang menyatakan “istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 

 

Seluruh aturan tersebut bisa jadi modal bagi para lelaki menjustifikasi ketimpangan peran dalam perkawinan. Dengan begitu, peer marriage mustahil terwujud. Sebab, seperti kata Schwartz, peer marriage bisa terjadi apabila pasangan rela menukar ketimpangan dengan persahabatan mendalam. 

 

Ketimpangan Ekonomi Laki-Laki dan Perempuan

 

Hambatan selanjutnya adalah ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan. BPS mencatat rata-rata upah buruh laki-laki lebih besar dari perempuan pada 2021. Rata-rata upah laki-laki sebesar Rp2,96 juta. Sementara perempuan sebesar Rp2,35 juta. Kesenjangan upah ini pun terjadi di hampir seluruh jenis pekerjaan. Kesenjangan terdalam terdapat pada jenis usaha jasa dengan rasio 43% upah laki-laki lebih besar dari perempuan.

 

 

(Sumber: BPS)

 

Tak hanya itu, BPS pun mencatat hanya 27,45% perempuan yang menempati posisi manajerial dalam pekerjaan, sementara selebihnya adalah laki-laki. Ini menunjukkan bahwa laki-laki cenderung mendapat posisi bergengsi ketimbang perempuan, mengingat posisi manajerial adalah jabatan strategis yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pengambilan keputusan. 

 

Schwartz berpendapat, sebagian besar pasangan gagal menjalankan peer marriage karena salah satunya menganggap pekerjaannya lebih glamor dan berpendapatan lebih banyak dari pihak lainnya. Hal ini berdampak pada ketimpangan kuasa atas sumber daya ekonomi keluarga oleh satu pihak. 

 

Selain itu, pihak dengan pekerjaan lebih glamor juga cenderung merasa berhak mendapat beban tugas domestik lebih sedikit. Walhasil, pihak lain punya akses terbatas kepada dana yang bisa dibelanjakan dan memikul lebih banyak tanggung jawab domestik. 

 

Pernikahan Dini Masih Tinggi

 

Hambatan terakhir peer marriage di Indonesia adalah pernikahan dini yang masih tinggi. Bahkan, sepanjang pandemi jumlahnya meningkat. Berdasarkan catatan Badan Peradilan Agama, sebanyak 64,2 ribu dispensasi perkawinan dini dikabulkan pada 2020. Jumlah ini meningkat hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. 


Padahal, menurut Schwartz, peer marriage bisa berjalan bila pasangan telah menemukan jati diri (sense of self). Ia mengatakan itu lebih sulit didapat ketika seseorang masih sangat muda. Karena, seorang yang masih muda cenderung berhasrat mencoba banyak hal. Sementara, seseorang cenderung sulit merancang tujuan hidup dan berkompromi dengan pasangan ketika belum menemukan jati dirinya.