Kenapa Twitter Jadi Ladang Ranjau

“Ngab-Ngab Twitter Nyebelin”: Kenapa Twitter Jadi Ladang Ranjau 

Ini adalah kisah Neneng, Nining, dan Nunung. Seorang user Twitter biasa (sebut saja Neneng), mencuit opini tentang suatu berita terkini. Neneng berbicara sebagaimana Neneng bercanda di kehidupan nyata, sedikit nyeleneh dan sebatas misuh. Mungkin pengolahan kata dan pesan tersebut ditujukan untuk lingkaran pribadinya karena kebanyakan orang memakai Twitter untuk lingkaran pribadi mereka saja, toh?

Lalu, datanglah algoritma. Seorang user lain (sebut saja Nining) menanggapi tweet alias cuitan tersebut dengan serius dan membalasnya secara beruntun, sehingga meningkatkan engagement bagi mutual si Neneng maupun Nining. Kata-katanya argumentatif dan ia tidak kenal dengan Neneng secara langsung sehingga ketinggalan konteks pribadi si Neneng. Ada yang like, ada yang retweet atau quote retweet. Lalu, sebuah akun dengan following besar (sebut saja Nunung) merespon, dan tweet tersebut telah berhenti menjadi opini pribadi dan menjadi opini publik. Algoritma meluncurkan cuitan Neneng ke pembaca yang lebih luas.

Cuitan tersebut ramai selama beberapa hari. Notifikasi Neneng penuh dengan caci maki, promosi jualan olshop, dan ngab-ngab alias abang-abang dari gorong-gorong internet yang berkomentar tidak jelas. Mereka suka nge-troll cuitan orang lain atau mencuit tentang bola. Neneng terpaksa mengunci atau bahkan men-deactivate akunnya untuk menjaga kewarasannya. Atau, jika yang ia komentari adalah orang terkenal dan orang tersebut mengambil jalur UU ITE, ia harus membuat klarifikasi. Sering terjadi, bukan?

Misalnya, kamu mengatakan bahwa kamu menyukai bubur tidak diaduk, dan mudah sekali bagi orang lain mengatakan bahwa preferensimu salah—seakan-akan yang kamu lakukan adalah sebuah tindakan kriminal. Situasi seperti ini sering berawal bercanda dan berakhir dengan konflik serius, karena identitas para pemilik pendapat tersebut dan cuitan mereka yang lain juga bisa turut dipermasalahkan. Alhasil, bisa saja mendadak satu komunitas tersulut emosinya, karena kebetulan seseorang dengan display picture anime bertengkar dengan seseorang dengan display picture K-Pop.

Twitter secara konsisten menjadi lahan konflik yang subur sampai sekarang. Menurut beberapa peneliti, ini disebabkan oleh sifat informasi di Twitter yang serba singkat (maksimal 280 karakter) dan juga mudah tertaut melalui hashtags dan trending topics.

Walaupun setiap cuitan bisa menjadi utas yang lebih panjang untuk konteks lebih, orang orang seringkali hanya memperhatikan cuitan pertama. Respon mereka akan cenderung reaksioner apabila cuitan tersebut tidak dituliskan dengan baik. Semakin ke sini, ruang untuk memberikan konteks kian menipis. Sementara algoritma untuk menaikkan engagement bekerja keras, membuat batasan antara yang pribadi dan yang publik menjadi kabur.

Kesalahan Interpretasi dan Perbedaan Pendapat

Media sosial mengaburkan garis antara yang pribadi dan yang umum menjadi ruang hybrid. Apapun bisa menjadi politis–ini tak mengherankan mengingat bahasa pada dasarnya sudah politis dengan sendirinya. Hal inilah yang rawan menciptakan disinterpretasi (disinterpretation). Istilah yang dicetuskan oleh Zeeshan Aleem ini berbeda dengan misinterpretasi. Misinterpretasi terjadi ketika seseorang salah paham mengenai niat atau konteks yang sebenarnya, sedangkan disinterpretasi muncul ketika seseorang memaksakan interpretasi atau memproyeksikan reaksinya terhadap pesan asli.

Istilah ini belum masuk kamus manapun, walaupun sudah dipakai sejak setidaknya tahun 1942 oleh Stuart Atkins dalam artikel Many Misunderstood Passages (1942) diterbitkan oleh The German Quarterly. Namun pembahasan Aleem mengenai istilah tersebut ternyata sangat relevan pada zaman ini.

Disinterpretasi menjamur berkat iklim intelektual yang terpolarisasi. Setiap postingan seakan menjadi perwakilan orientasi yang lebih luas dan disortir ke kotak ‘bagus/jelek’ atau ‘woke/problematik’. Menurut Aleem, cara berpikir ini seperti algoritma yang memindai dan mengkategorisasi pendapat ke kategori ‘baik’ dan ‘buruk’. Disinterpretasi mengurangi perdebatan intelektual dalam itikad baik dan membuat orang enggan untuk mengutarakan pendapat mereka.

Maret lalu, Elon Musk berpendapat bahwa  algoritma Twitter harusnya open source (bisa digunakan oleh siapa saja/milik bersama) sementara Jack Dorsey, salah satu pendiri Twitter, berpendapat bahwa seharusnya yang jadi pilihan terbuka adalah algoritma mana yang mau digunakan oleh orang-orang. Diskursus ini penting karena algoritma menentukan apa yang kita lihat di linimasa media sosial kita. Dengan begitu, bukankah sebuah algoritma yang terbuka justru bagus? Benar, tapi hal ini juga menimbulkan masalah. Twitter dan media sosial lainnya sering dikritik karena meningkatkan polarisasi, retorika ekstremis, ruang gema (echo chamber), misinformasi, dan radikalisasi daring melalui algoritmanya.

Masa kepresidenan Trump menimbulkan berbagai gejolak perdebatan di Twitter. Hal ini melahirkan pertanyaan mengenai konten apa saja yang bisa diutarakan di Twitter. Jadilah pergolakan politik baru: siapa yang menentukan apa yang boleh atau benar? Kubu politik mana yang berhak berpendapat soal isu tertentu? 

Free speech atau kemerdekaan berbicara menjadi dalih para tokoh yang mempermasalahkan politisasi pendapat di media sosial. Di Indonesia pun banyak yang merasa bahwa berbeda pendapat adalah wajar belaka dan seringkali konflik terjadi karena perbedaan pendapat.

Namun, apakah sebenarnya arti perbedaan pendapat dan bagaimanakah algoritma Twitter menciptakan iklim yang subur untuk disinterpretasi?

Perkubuan politik melahirkan benturan nilai. Banyak dari perbedaan pendapat yang berakar kuat dalam praktik agama dan budaya, misalnya terkait kekerasan seksual terhadap perempuan dalam perkawinan. Katakanlah ada orang yang berpendapat bahwa dalam sebuah perkawinan tidak mungkin terjadi pemerkosaan (dan klaim ini kebetulan didukung oleh beberapa pemuka agama). Ketika orang-orang di sekitarnya berpendapat sebaliknya, ia akan mengatakan bahwa di situlah perbedaan pendapatnya dan hal itu berhak dihormati, karena ia tidak percaya bahwa pemerkosaan bisa terjadi terhadap istri karena istri harus mengikuti kehendak suami dalam perkawinan.

Kekeliruan mengenai pendapat ini yang sering menciptakan masalah. Toleransi menjadi seperti MSG dalam pikiran orang zaman dulu; sedikit sedikit boleh, tapi kalau kebanyakan tidak baik. Akhirnya, muncullah label label seperti open-minded (mereka yang diasosiasikan dengan pandangan progresif) v.s. closed-minded (mereka yang diasosiasikan dengan pandangan konservatif). 

Demikian juga toleransi. Alih-alih membuka ruang untuk memahami situasi kaum yang terpinggirkan, toleransi malah dijadikan pedang bermata dua: kalau mau menoleransi, yang tidak setuju dengan mereka juga harus ditoleransi. Lho, bagaimana caranya menoleransi intoleransi? Paradoks sekali, bukan? Kok meminta toleransi padahal bukan kaum terpinggirkan dan selama ini diuntungkan oleh struktur masyarakat? Neneng, Nining, dan Nunung hanya bisa bergeleng geleng.

Disinterpretasi dan Algoritma

Akibat pemahaman ini terhadap perbedaan pendapat dan penggunaan label label tertentu yang seakan akan mensinyalir posisi atau nilai yang dipegang seseorang, iklim untuk disinterpretasi tumbuh menjadi begitu lembab dan subur. Kata kata pun juga tidak sebatas kata kata, karena setiap bentuk pengucapan kata adalah sebuah aksi. Inilah posisi yang dipegang dalam teori speech acts oleh J.L. Austin (1962), yang melihat bahwa bukanlah arti sebuah kata yang penting, tapi kekuatannya—yaitu kemampuan untuk melakukan aksi aksi tersebut. Ketika kita mengeluh ke provider internet di Twitter, aksi kita adalah mengeluh dan marah marah. Ketika kita mengutip lirik lagu sedih, kita memberi lihat bahwa kita sedang sedih. Kata kata adalah aksi.

Dalam teori tersebut, ada tiga kekuatan (forces), yaitu locutionary force (arti semantik dari kata-kata), illocutionary force (arti atau tindakan yang diniatkan oleh pengucap), dan perlocutionary force (efek di penerima kata-kata tersebut). Dalam kasus Nadin Amizah, mungkin kasusnya adalah, walau ia mungkin mengomentari dirinya sendiri yang memiliki kondisi mental (locutionary force) dalam bentuk ekspresi diri (illocutionary force), orang orang menganggapnya meromantisasi kondisi mental (perlocutionary force). 

Sesuatu yang remeh seperti ekspresi diri saja bisa menuai kontroversi. Bagaimana dengan isu-isu yang lebih serius?

Mungkin, memang cara kita berinteraksi juga terbentuk bersama akun-akun lain;  dengan mutual kita di Twitter, orang yang tidak kita sukai, orang dengan following yang besar, atau dengan centang biru verified. Ini adalah salah satu prinsip siklus morfogenetik yang dikemukakan oleh Jack Newman (2020), di mana kita sebagai aktor sosial memainkan peran masing masing. Ketika kita mencuit pendapat atau membuat pernyataan pribadi atau publik, kita sedang berinteraksi dengan struktur yang terdiri dari aktor-aktor sosial lainnya yang sama-sama membentuk struktur tersebut. Dan tentu kita cenderung berinteraksi dengan cara yang sama, sehingga melanggengkan kecenderungan yang sama: selama interaksi serupa tetap ada, orang lain pun akan cenderung melakukan hal yang sama.

Pasalnya, menurut dua peneliti dalam karya yang terpisah, Margaret Archer dan Dave Elder-Vass, kita memiliki kemampuan yang spesial ketika kita bersama. Ketika kita berinteraksi dengan gaya bahasa dan kecenderungan yang sama, kita membentuk suatu entitas (emergent entity) dengan kemampuan untuk mempengaruhi struktur sosial masyarakat (emergent properties).Kecenderungan tersebut akan menguatkan kebersamaan. Bila ada yang berbeda, kecenderungan tersebut melemah sehingga ada jalan untuk perubahan sosial. Kemampuan massa dalam media sosial bisa teramplifikasi atau bisa sama dengan seseorang dengan following yang besar, yang juga bisa berpartisipasi mempengaruhi struktur sosial masyarakat.  

Cara kita berinteraksi inilah yang dicatat algoritma Twitter. Semakin tinggi interaksi sebuah cuitan, format, dan/atau akun yang terlibat, algoritma akan mengasosiasikannya dengan engagement yang tinggi sehingga akan didorong hingga ke puncak. Dan tentu, menuai kontroversi adalah cara paling mudah untuk meningkatkan engagement. Orang orang akan cenderung mendahulukan reaksi pribadi terhadap sesuatu (misalnya dengan memberikan quote-retweet ­sehingga menjadi utas di akunnya sendiri) alih-alih memahami arti, isi, dan konteks sesuatu. Inilah yang mengakibatkan disinterpretasi.

Dalam kata lain, semua orang di internet memiliki peran dalam konflik yang sering kita lihat. Setiap kali kita berinteraksi dengan cara-cara tertentu, kita menjadi salah satu dari sekian aktor sosial dalam struktur yang kita rawat bersama-sama. Apakah ketika marah-marah ke Neneng, Nining sadar akan kemarahannya? Bagaimana dengan Nunung yang jam terbangnya dan keberadaannya di media sosial lebih signifikan dibanding Nining dan Neneng? Tidakkah seharusnya dia bisa menyadari bahwa interaksinya memiliki dampak bagi Neneng yang memiliki akun kecil? Bisa saja mereka menggunakan dalih berbeda pendapat dan toleransi walaupun mereka secara efektif menyerang dan bersikap intoleran terhadap Neneng.

Waktu kita kecil, orangtua sering wanti-wanti agar kita berhati-hati di internet. Nampaknya, sekarang kita baru paham apa yang merupakan ancaman terbesar bagi kita: diri kita sendiri. 

Tapi peringatan hati-hati di internet juga bisa berarti bahwa kita bisa merawat iklim percakapan dengan itikad yang baik sehingga mengurangi potensi disinterpretasi dan konflik. Kata yang diucapkan tidak semata jadi kata; ia juga tindakan. Kalau ragu, tanyakan saja pada sang algoritma.