Kendaraan Listrik, Masa Depan Transportasi

Kendaraan listrik–baik motor, mobil, sepeda, dan bus–dielu-elukan sebagai alternatif dari masalah transportasi dan polusi seluruh dunia. Tak seperti kendaraan BBM yang berisik dan sumber polusi, kendaraan listrik minim polusi suara dan udara. Transisi dari kendaraan berbahan bakar bensin ke kendaraan listrik dianggap sebagai salah satu solusi penting untuk meredam pemanasan global. 

 

Hal-hal inilah yang mendorong pemerintah Indonesia untuk mempercepat produksi dan adopsi kendaraan listrik masyarakat. Komitmen ini pertama kali ditunjukkan pada Agustus 2019 ketika presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden tentang Percepatan Pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik (Perspres PPKBM). Aturan in kemudian diikuti oleh aturan-aturan lain, seperti:

 

Daftar regulasi pendukung ekosistem kendaraan listrik di Indonesia:

 

1. Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2019

2. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019

3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2020 

4. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 45 Tahun 2020

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2020 

6. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020

7. Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 28 Tahun 2020 

 

Selain aturan-aturan ini, pemerintah juga mencanangkan target-target baru. Pertama adalah aturan bagi menteri dan kepala daerah untuk mengganti kendaraan dinas dan pribadi mereka ke kendaraan listrik. Aturan ini kemudian diperluas untuk pemimpin-pemimpin BUMN atas arahan Menteri BUMN, Erick Thohir. Kedua, pemerintah menargetkan kepemilikan kendaraan listrik sebesar 2,5 juta unit di tahun 2025. Harapannya, kepemilikan kendaraan listrik akan terus naik sehingga polusi udara bisa ditekan sampai 29% di tahun 2030. 

 

Usaha paling besar dalam percepatan pengadopsian adalah dengan menekan harga kendaraan berenergi listrik. Ketika pertama kali diluncurkan, mobil listrik Tesla dibandrol di harga $ 59 ribu alias setara Rp 893,5 juta. Harga mobil-mobil Tesla terus turun–tahun ini, Tesla memotong harga mobilnya sampai 20%. Sayangnya, diskon ini hanya berlaku di pasar Tiongkok, Amerika Serikat, dan Eropa. 

 

Sumber: Tesla cuts price of Model 3 to $35,000 and moves sales online - BBC News

 

Untungnya, pasar kendaraan elektrik sekarang sudah diisi oleh pemain-pemain baru yang menawarkan kendaraan elektrik dengan harga yang lebih masuk akal. Wuling, anak dari SAIC Motor menjual Air EV mereka seharga Rp 243 juta dan Rp 315,5 juta untuk varian long range with charging pile. Harganya juga diprediksikan akan terus turun dengan semakin murahnya harga produksi baterai. Ini penting mengingat baterai mewakili 35% biaya produksi kendaraan listrik. 

 

 

Sumber: Pengembangan Mobil Listrik Indonesia - Analisis Data Katadata.co.id

 

Sayangnya kenyataannya tak secerah itu. Harga kendaraan listrik sejauh ini masih di atas harga mobil BBM karena pabrik-pabriknya masih fokus menarget pasar mobil-mobil mewah. Alasannya karena pabrik perlu mengganti uang yang sudah dikeluarkan untuk riset kendaraan listrik dan pembeli kaya umumnya lebih rela untuk menggelontorkan uang lebih banyak. Prestise yang diberikan oleh mobil listrik juga menjadi nilai tambah.




 

 

 

Masalah lainnya yang menyebabkan harga kendaraan listrik naik adalah pandemi dan perang. Efek domino yang disebabkannya adalah kenaikan harga minyak bumi, terganggunya rantai pasok, pajak besar yang diberlakukan AS pada Tiongkok, dan perang yang terjadi di Rusia dan Kongo menyebabkan harga baterai sempat naik. Ditambah kenaikan permintaan mobil listrik yang terus naik membuat harganya juga ikut melambung.

 

Meski begitu, banyak orang optimis harga jual-beli kendaraan listrik akan terus menurun seiring dengan meredanya konflik negara-negara tadi dan bantuan subsidi pemerintah untuk kendaraan listrik. Apalagi biaya penggunaan kendaraan listrik secara jangka panjang jauh lebih murah dibanding kendaraan BBM. Dalam konteks Indonesia, harga ‘murah’ kendaraan listrik sudah diilustrasikan oleh Wakil Presiden Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto: “Untuk menempuh jarak 10 kilometer, mobil konvensional menghabiskan Rp 13.900 (setara 1 liter Pertamax) sementara mobil bertenaga listrik hanya menghabiskan Rp 3.000 (setara 1,2-1,3 kWh).”

 

Penghematan bahan bakar kendaraan bensin punya efek yang besar untuk ekonomi negara-negara berpendapatan menengah-rendah, tulis Bank Dunia. Studi yang melibatkan 20 negara berkembang dari Asia, Afrika, Karibia, Eropa, Oseania, dan Amerika Latin menunjukkan mobil bertenaga listrik bisa menghemat $5000 (setara Rp 75,5 juta) selama masa penggunaannya berkat subsidi listrik dari pemerintah. Laporan ini juga optimis akselerasi kendaraan listrik akan meningkatkan mobilitas masyarakat yang nantinya akan berimbas positif ke pertumbuhan ekonomi.

 

Lebih lanjutnya lagi, motor, bus, dan taksi kemungkinan menjadi kendaraan listrik yang paling cepat diadopsi oleh negara-negara berkembang. Motor karena harga beli dan penggunaannya paling murah dibandingkan mobil. Bus juga dianggap sebagai opsi yang menarik karena jauh lebih efisien dalam meningkatkan mobilitas dibandingkan mobil. Tak hanya itu, produksi kendaraan listrik sekarang tersebar di beberapa negara berkembang seperti Brasil, Meksiko, Thailand, Rusia, dan Turki. Indonesia juga sedang menggenjot pembukaan pabrik mobil listrik baru. Strategi ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. 

 

Alasan lainnya adalah kendaraan listrik lebih ramah lingkungan. Dilihat dari grafik ini, jelas emisi PHEV dan HEV lebih rendah daripada mobil konvensional. 

 

 

Sumber: Adu Emisi Mobil Listrik VS Konvensional (katadata.co.id)

 

Namun klaim soal ‘ramah lingkungan’ ini mulai dipertanyakan, terutama oleh para aktivis lingkungan. Mereka mengatakan proses pembuatan kendaraan listrik membutuhkan penambangan nikel, aluminium, besi, tembaga yang mengeluarkan banyak energi dan punya efek negatif ke lingkungan dan masyarakat. Ini juga terlihat pada penambangan nikel dan kobalt di Indonesia, yang dianggap jauh dari kata ramah masyarakat dan lingkungan.

 

 Hal ini tentunya bisa berakibat negatif ke citra agi perusahaan-perusahaan yang mengklaim sebagai perusahaan yang peduli lingkungan dan masyarakat. Ini juga yang menjadi alasan kenapa Tesla sempat kehilangan ketertarikan terhadap tambang Indonesia. Pilihannya akhirnya jatuh ke negara-negara Pasifik. 

 

Belum lagi masalah sumber listrik yang masih menggunakan sumber-sumber ‘kotor’ seperti minyak bumi dan batubara. Kendaraan bertenaga listrik baru bisa benar-benar dianggap ‘bersih’ ketika produksi dan bahan bakarnya berkelanjutan. Komitmen ini juga tak bisa berkelanjutan kalau subsidi pajak pemerintah untuk kendaraan listrik rencananya hanya berlaku sampai 2025, di mana kemungkinan harga kendaraan listrik masih belum begitu terjangkau untuk banyak masyarakat. 

 

Ambisi Indonesia Percepat Pengembangan Mobil Listrik - Analisis Data Katadata.co.id

Electric Vehicle Myths | US EPA

Electric cars in facts, stats, and figures | RAC Drive

Fast facts about electric cars: Your EV questions answered (synergy.net.au)

Like Musk, nickel-rich Indonesia has high electric vehicle ambitions | Reuters

Alternative Fuels Data Center: How Do All-Electric Cars Work? (energy.gov)

Wireless charging offers hope for mass electric vehicle use | Financial Times (ft.com)

Electric Cars vs. Gas Cars | NRDC