MERANTAU
Kengiluan Meninggalkan Kampung hingga Ambisi Mati di Tanah Rantau
DISCLAIMER
Naskah ini adalah hasil wawancara dengan Arif (52 tahun), saat ini membantu kakaknya di rumah makan di basement Blok M Square, pada 2 Januari 2023. Dalam proses redaksional kami meleburkan tanya-jawab selama proses wawancara dengan Arif ke dalam cerita dari sudut pandang Arif, atas izin dan di bawah otoritas editorial Arif sebagai pemilik cerita.
Saya Arif.
Itu 1985 saat saya meninggalkan Nagari Sumanik, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Saya masih 15, tak memiliki pengalaman apa-apa, tetapi nyanyian dari tanah rantau lebih merdu ketimbang akal sehat.
Terasa berlebihan, mungkin, jika saya bilang waktu bergerak aneh di tanah rantau. Namun, itulah yang saya rasakan. Rasanya baru kemarin saat saya meninggalkan kampung halaman. Klise, tapi benar.
Ingatan masih segar. Saya melihat diri saya sendiri, seorang lelaki berusia remaja yang merasa sekolah sudah tak lagi menyenangkan. Sebagai remaja yang masih sempit pikirannya, saya ingin langsung kerja saja tanpa harus bersusah payah di kelas dengan buku-buku pelajaran yang membosankan. Belum lagi celetukan teman-teman yang pulang dari rantau kadang mengganggu isi kepala.
“Buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh, nanti ujung-ujungnya bakal cari duit juga!”
Mancaliak nan ka sudah (melihat apa yang sudah dilewati) kalau kata orang kampung saya. Melihat gaya mereka yang parlente dengan pakaian mentereng sambil traktir makan teman-teman di kampung saat pulang lebaran, rasanya semua kalimat mereka laik jadi petuah yang mesti dijalankan. Saya lantas menyusun keberanian dan tekad.
Saya minta izin kepada orang tua. Saya bilang ingin berhenti sekolah dan pergi merantau ke Jakarta. Awalnya, orang tua sempat meragukan keputusan saya:
“Kamu yakin?”
“Kerja di kampung saja. Masih banyak kok yang bisa digarap di sini.”
Saya tegas menolak.
Sebagai lelaki Minangkabau saya sadar, di kampung tak ada warisan yang akan diturunkan kepada saya di kemudian hari. Karena itulah, saya harus berjuang sendiri untuk hidup dan berkeluarga kelak.
“Saya nggak bisa ke sawah. Terlalu sedikit yang bisa dikerjakan di sini. Mending di Jakarta, siapa tahu nasib berubah. Teman-teman yang merantau ke sana hidupnya sudah enak,” saya berusaha meyakinkan diri.
Akhirnya kedua hati orang tua saya luluh. Di satu sisi saya memahami ketakutan mereka. Saya masih terlalu anyir untuk merantau dan menempuh hidup di kampung orang. Tapi di sisi lain, merantau menjadi sesuatu yang tak terhindarkan bagi kaum lelaki di kampung kami. Seperti kata pepatah Minang: “Ka rantau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun.”
Arti dari pepatah ini adalah anak laki-laki di Minangkabau dianjurkan pergi merantau meninggalkan kampung halaman karena merasa belum diperlukan di rumah atau
kampungnya. Setelah berhasil di rantau, barulah lelaki Minang dianjurkan pulang untuk membangun kampung halaman serta memberi manfaat untuk orang di rumah.
Akhirnya hari yang saya nantikan tiba. Saya ingat Ibu menyediakan rendang untuk bekal saya di perjalanan. Sesampainya di terminal bus air mata Ibu tumpah. Melihat ibu yang tak kunjung berhenti menangis, air mata saya ikut jatuh. Tak tahan rasanya. Saat bus bersiap untuk berangkat, Ibu membisiki sebuah kalimat yang menjadi panduan hidup saya hingga sekarang.
“Baik-baik di rantau orang. Kamu harus jujur dan jangan mengambil yang bukan hakmu.”
Kamu mungkin tersenyum mendengar betapa dramatisnya peristiwa kepergian saya. Tapi, di tahun-tahun segitu, Sumatra Barat ke Jakarta terasa sangat jauh. Kalau sekarang, tiket pesawat sudah jauh lebih terjangkau. Dulu hanya orang yang kaya banget bisa naik pesawat. Makanya, kepergian itu terasa begitu pilu. Dengan berbagai misteri di depan, saya bertanya-tanya bagaimana nasib hidup saya di rantau orang.
Setelah menempuh perjalanan lima hari lima malam, sampailah saya di Teminal Pulo Gadung. Hari masih siang saat saya pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Saya kemudian merogoh saku jaket untuk mencari secarik kertas berisikan tempat usaha salah seorang kerabat: Blok M, Jakarta Selatan.
Ya, tempat itulah yang akan saya tuju.
Setelah bertanya kepada salah seorang penumpang, saya langsung menuju Blok M dengan menumpang bus PPD jurusan Pulo Gadung-Blok M. Sepanjang perjalanan menuju Blok M, saya terkagum-kagum melihat gedung-gedung yang menjulang tinggi sejauh mata memandang.
Gedung-gedung itu, bagi saya kala itu, seakan melambangkan kemewahan dan kesejahteraan. Baru di kemudian hari saya sadar Jakarta punya boroknya sendiri.
Menjelang sore, saya sampai di tempat usaha milik kerabat di Blok M. Saya baru tahu jika di sana ia memiliki toko yang menjual pakaian perempuan dan daster. Singkat kata, saya diajak bekerja menjadi pelayan di toko tersebut.
Hari-hari berjalan seperti yang saya bayangkan dulu. Sebagai pelayan toko, sedikit banyak saya mengerti seluk-beluk bisnis ini. Kerabat saya juga bukan orang yang pelit ilmu untuk membagikan ilmu dagang yang ia miliki.
Setelah merasa cukup ilmu, saya akhirnya memberanikan diri untuk membuka usaha sendiri. Tapi karena keterbatasan modal, saya hanya mampu menggelar dagangan di emperan. Belum mampu menyewa toko seperti kerabat saya.
Berdagang di emperan punya tantangan sendiri. Kadang-kadang, kami harus kucing-kucingan dengan pihak keamanan saat ada razia. Kadang kami nakal juga, sih. Padahal sudah disuruh dagang di jam yang sudah ditentukan, kami malah memulai lebih dulu dari jam perjanjian. Untunglah, dengan uang pelicin, kami bisa kembali dagang seperti semula.
Tapi tak apa, setidaknya saya bisa jadi majikan untuk diri saya sendiri. Meski hanya menjajakan dagangan di emperan, usaha saya mulai menemukan titik terang. Jika biasanya saya hidup mengandalkan upah bulanan, kini saya sudah sedikit-sedikit menabung.
“Oh indahnya Jakarta saat punya uang.”
Alih-alih fokus mengembangkan usaha di saat sudah punya uang, saya malah hanyut dalam pergaulan yang menjerumuskan. Punya uang di usia muda memang banyak cobaan. Bisnis saya sempat hancur. Dalam keadaan terpuruk itu, saya merasa gagal dan sedih bukan main. Teringat wajah Ibu saya melepas saya pergi. Beberapa teman yang melihat saya gagal lantas menyuruh saya pulang ke kampung saja.
Tidak. Pulang di saat gagal, apa kata orang kampung? Sekali rantau dipijak, pantang rasanya untuk pulang. Seandainya saya pulang, tentu saja ejekan orang kampung menjadi hal terhindarkan. Ngeri membayangkan ejekan yang membuat kuping panas. Setelah melewati perenungan panjang, saya bangkit kembali.
Setelah menata hidup dan meninggalkan pergaulan nakal, usaha saya kembali lancar. Tahun 1993, delapan tahun setelah merantau, saya bisa pulang ke kampung. Selama sebulan di sana, saya dikenalkan dengan seorang gadis yang kemudian menjadi istri saya. Setelah menikah, saya memboyong istri dan menetap di Jakarta.
Mati di Rantau
Seperti kata lagu Minang, hidup ini seperti roda pedati. Kadang di atas, kadang di bawah. Berbagai pekerjaan sudah saya lakoni mulai dari berdagang hingga menjadi supir. Kehidupan rumah tangga dengan istri pertama pun tak berjalan seperti yang saya bayangkan. Kami memutuskan berpisah. Saya kemudian menikah kembali dengan seorang perempuan asal Bogor.
Apakah saya ini orang yang kalah? Tidak, saya tak merasa kalah, apalagi menyerah.
Saat ini, saya bekerja membantu kakak saya berjualan di salah satu rumah makan di basement Blok M Square. Memasuki tahun ke-38 sejak pertama menginjakkan kaki di Jakarta, Blok M seakan menjadi rumah kedua.
Di sini, mayoritas pedagang berasal dari Sumatra Barat. Dengan latar belakang itu teman-teman di sini sudah saya anggap seperti saudara sendiri. Kerinduan akan kampung halaman itulah yang membuat kami merasa senasib sepenanggungan. Saya ingat pesan orang tua waktu kami masih kecil; carilah saudara nanti di rantau.
Pesan itu selalu terngiang. Blok M adalah rumah saya sekarang.
Di umur saya yang sudah lewat setengah abad, saya tak berpikir untuk pulang dan menetap di kampung.
Merantau dan tak ingin pulang di kampung sering disebut dengan frasa “marantau cino”. Kalaupun harus pulang ke kampung, paling hanya sebentar untuk menjalin silaturahmi dengan sanak saudara dan kerabat yang terputus karena hidup di rantau. Setelah silaturahmi singkat, kami pergi lagi ke rantau.
Di Jakarta, saya masih meyakini apa saja bisa jadi uang. Selain itu, saya tak terbebani kalau lagi susah. Tak punya ketakutan. Sebab di kampung jika kantong lagi kering, orang-orang bakal tahu. Alih-alih dibantu, orang-orang malah meledek.
“Jauh-jauh merantau, ujung-ujungnya pulang dan hidup susah. Buang-buang umur saja.”
Saya tak ingin mendengar kalimat itu. Perjalanan hidup membuat saya memutuskan untuk menghabiskan sisa umur di kota ini. Saya ingin mati dan dikuburkan di sini.