KERETA “PURBA”: TRANSPORTASI UMUM BAGI SI WARGA KOTA KREATIF
Oleh: Gadis Noer Hadianty (2023)
Bandung dan Transportasi Umum. Sebagian besar warga Bandung Raya mungkin sepakat bahwa kedua kata ini sedang jadi buah bibir. Kota yang katanya paling estetik ini masih saja berkutat dengan permasalahan yang sama, yaitu transportasi umum yang kualitasnya tertinggal dari kota-kota lain. Sedikit intro, Bandung memiliki BRT (Bus Raya Terpadu) yaitu Trans Metro Pasundan dan Damri. Selain itu, ada pula pelayanan KRD (Kereta Rel Diesel) Bandung Raya yang sudah beroperasi sejak 2000an.
Biarpun namanya KRD Bandung Raya, jalur rel pelayanannya hanya mencakup Padalarang (Bandung Barat)-Cimahi-Bandung Kota hingga Cicalengka (Bandung Timur). Cimahi yang notabene bukan Bandung malah terlewati. Sedangkan daerah yang lebih ‘kota’ dan padat aktivitas penduduknya malah tidak terjamah fasilitas publik yang vital ini. FYI, jalur rel arah Selatan ini memang sudah ditutup permanen sejak 1980an dengan alasan tidak menguntungkan dari segi bisnis. Sempat muncul wacana pemerintah untuk menghidupkan kembali rel-relnya. Tapi wacana ini terasa seperti angin lalu di tengah kemacetan yang sudah sangat parah.
Sebagai kota yang lokasinya dekat dengan Jakarta dan banyak diisi oleh kalangan kreatif, agak mengherankan ketika Bandung masih menggunakan KRD rangkaian lama. Pemerintah dan KAI baru akan mengkonversikan KRD menjadi KRL pada 2024. Jauh tertinggal dengan Jakarta (1925) dan Solo-Jogja (2021). Mungkin ini berkaitan dengan pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang menjadikan St. Padalarang sebagai titik akhirnya. Entah bagaimana jika lokasinya bukan di Bandung; apakah semua stasiun kecilnya akan tetap dirombak? Apa tetap menggunakan kereta purba?
Satu fakta menarik, ternyata tidak semua warga Bandung tahu akan keberadaan transportasi umum KRD ini. Sungguh kalah tenar dengan KRL di telinga warga Jakarta yang menjadikan kereta transportasi umum andalan semua kalangan. Sejauh ini belum menemukan imbauan dan ajakan pemerintah Bandung untuk menggunakan KRD sebagai sarana publik. Padahal hasil dari survey Asia Development Outlook 2019 (https://koridor.co.id/humaniorhttps://koridor.co.id/humaniora/tampaknya-bandung-bakal-mempertahankan-gelarnya-sebagai-kota-termacet-di-indonesia-mengalahkan-jakarta-dan-surabaya-meski-jumlah-kendaraan-di-dki-hampir-10-kali-lipat-dibanding-bandung/a/tampaknya-bandung-bakal-mempertahankan-gelarnya-sebagai-kota-termacet-di-indonesia-mengalahkan-jakarta-dan-surabaya-meski-jumlah-kendaraan-di-dki-hampir-10-kali-lipat-dibanding-bandung/) yang diterbitkan 2022 lalu, Bandung menempati posisi ke-14 sebagai kota termacet se-Asia, mengalahkan Jakarta.
Jenis dan bentuk KRD Bandung Raya sama dengan rangkaian kereta kelas ekonomi subsidi seperti KA Kahuripan. Berbeda dengan KRL yang memang memiliki desain dan material body yang khas, mungkin ini salah satu alasan kenapa banyak warga Bandung tak menyadari keberadaan kereta lokal.
KURSI GERBONG PEMERSATU DENGKUL WARGA BANDUNG
Dari segi fasilitas, KRD memiliki satu toilet di setiap gerbongnya. Di sisi kursi penumpang pun digantungkan sebuah plastik putih untuk membuang sampah, meski masih banyak penumpang yang memilih membuang bungkus makanan ke kolong kursi. Itulah mengapa di KRL Jakarta tidak diperkenankan membawa makanan dari luar. Petugas kebersihan yang berkeliling pun biasanya baru akan mulai mengambil sampah jika mendekati stasiun terakhir.
Kekhasan lainnya adalah desain jok kursi yang saling berhadapan dan cukup dekat– benar-benar desain untuk 2-3 penumpang dalam satu jajaran kursi di kereta ekonomi subsidi jarak jauh. Karena tidak ada nomor, jatah kursi yang harusnya diisi dua orang terkadang bisa ditumpangi lebih dari yang seharusnya.
Dengan harga tiket Rp5.000 sekali jalan untuk jarak jauh-dekat, seharusnya KRD ini menjadi pilihan transportasi paling murah meriah anti macet untuk warga Bandung. Hanya saja ada beberapa kekurangan KRD sebagai sarana publik. Salah satunya adalah persoalan jadwal keberangkatan yang hanya bisa melayani satu jam sekali perjalanan. Sungguh kurang fleksibel. Dengan semakin padatnya penduduk dan aktivitas, jelas ini menjadi pertimbangan utama bagi para pengejar waktu. Belum lagi nasib kereta lokal yang seringkali harus mengalah dengan kereta luar kota, sehingga menyebabkan keterlambatan. Kecepatan KRD ini pun masih terbilang lambat jika dibandingkan dengan KRL.
Masalah lainnya adalah jumlah tiket dan kursi yang tersedia. Memang, resiko naik kendaraan umum adalah berdesak-desakan. Jumlah penumpang yang berdiri dan duduk nampaknya tidak diperkirakan secara cermat. Beberapa kali, saya terpaksa berdiri di dalam toilet kereta saking penuhnya area gerbong.
JALUR TRAIL MENUJU STASIUN HAURPUGUR
Semua stasiun yang menjadi rute singgah KRD memiliki kesan dan tingkat kenyamanan yang berbeda. Bisa dibilang, jauh sebelum adanya perombakan besar di semua stasiun area Bandung tahun ini, ada satu stasiun yang cukup bikin greget dari segi lokasi, fasilitas serta akses, yaitu Stasiun Haurpugur.
Siapa sangka dalam jarak hampir 3 km, alias jauh dari jalan raya utama, ada sebuah stasiun dengan akses jalan yang berlubang sana-sini, serta becek, bahkan sedikit banjir setelah hujan. Betul, jalannya belum full diaspal. Sebagian masih memperlihatkan tanah merah dan batu-batu kerikil yang sering membuat slip ban motor.
Hanya ada dua akses menuju ke sana: naik kendaraan pribadi atau ojek pangkalan yang tidak selalu standby. Belum lagi kondisi lingkungan sekitar menuju stasiun ketika malam hari, sepi dan cukup gelap. Padahal, di sana terdapat beberapa perumahan menengah dengan sawah di sisi kanan dan kirinya. Menimbang lokasi yang jauh dari jalan utama dan berada di area perumahan warga, rasanya Stasiun Haurpugur lebih cocok jadi stasiun pribadi warga kompleks perumahan.
Stasiun Haurpugur berubah total pada 2023. Ia bukan lagi stasiun mini yang hanya diisi loket, ruang duduk tunggu penumpang yang mungkin hanya bisa diisi 10 orang, ruang petugas sederhana, dan toilet. Tampilannya Haurpugur kini lebih modern dan besar dengan penambahan skybridge layaknya Stasiun Bandung. Bedanya, tak ada eskalator. Fasilitas lift pun belum bisa digunakan, meskipun sudah beberapa bulan rampung. Membawa orang tua lansia yang tidak kuat berjalan jauh masih menjadi PR besar akibat perkara lift ini.
Lokasi parkir juga masih jadi masalah. Jangan harap menemukan lahan untuk parkir mobil. Anda juga akan kesulitan menemukan mesin loket parkir. Para pengendara motor terkadang masih kebingungan mencari tempat parkir. Sebenarnya di bagian depan sebelum ke ruang loket ada lahan kosong memanjang dengan atap terbuka. Namun kurang jelas apakah area itu ditujukan sebagai tempat parkir motor umum karena tidak ada penanda apapun. Tak ada pula pagar stasiun dan penjaga parkir. Walhasil, areanya terasa kurang aman.
Tak heran, para penumpang yang membawa kendaraan memilih parkir di halaman rumah-rumah warga dengan membayar Rp5.000/hari karena jelas ada penjaga dan kendaraan pun tidak kepanasan-kehujanan. Meski demikian, penumpang masih harus berjalan kaki sedikit lebih jauh ke area loket Stasiun Haurpugurnya.
Terlepas dari kekurangannya, perkembangan KRD Bandung Raya ini perlu diapresiasi. Terutama pada 2023 ini, ketika banyak sekali pembenahan guna menarik khalayak untuk pindah ke transportasi umum.
Sumber:
Hasil Survey Asia Development Outlook 2019