Suatu hari, saya membuka Twitter untuk curhat soal permasalahan hidup. Kebetulan topiknya hari itu adalah betapa susahnya menabung, meskipun sudah punya sampingan kanan-kiri. Hanya dalam waktu hitungan jam cuitan ini panen interaksi. Ada pula yang mengatakan mereka merasa kalau perjuangan mereka tervalidasi–bahwa kesulitan yang mereka rasakan dalam menabung bukan hanya masalah mereka sendiri, tapi juga dirasakan oleh pekerja-pekerja lain.
Cerita-cerita tentang pekerja yang mengambil sampingan satu, dua, bahkan tiga mengalir masuk. Semuanya mengeluhkan efek kerja rodi tanpa henti: dari tidur hanya 4 jam, pusing, kepala tegang, mood buruk, sampai sakit parah. Sekalipun sakit, tetap stres memikirkan pekerjaan.
<blockquote class="twitter-tweet"><p lang="in" dir="ltr">Prediksi gue akhir taun ini gue baru bisa nabung setara 6,5 bulan UMR Karawang. Buat dapet jumlah segitu gue double job 2 taun, selama itu jg harus cari sampingan lain. Rekor gue sebulan kerja di 4 tempat berbeda.<br><br>Its not ur fault if u cant save. The system is just broken.</p>— annya taylor joke (@kimjongann) <a href="https://twitter.com/kimjongann/status/1563825426912358401?ref_src=twsrc%5Etfw">August 28, 2022</a></blockquote> <script async src="https://platform.twitter.com/widgets.js" charset="utf-8"></script>
Gila, pikir saya. Tapi itu juga yang saya rasakan ketika mengambil kerja sampingan. Rasanya kepala mau meledak setiap mendengar notifikasi WhatsApp dan Slack. Kepala sampai leher tegang tiap rapat terus berjalan lebih dari satu jam. Puncaknya GERD saya kumat, memaksa saya untuk tidur dalam keadaan duduk selama hampir seminggu. Omeprazole dan lansoprazole tidak begitu mempan. Hanya sedikit nasi dan air putih yang bisa masuk ke kerongkongan. Sisanya? Jadi diare yang membuat saya ke toilet tiap 2 jam sekali.
Itu baru sebagian penderitaan saya. Sebagai pengidap bipolar, saya juga harus berjuang melawan depresi dan hypomania yang datang seenak jidat. Melawan tekanan depresi supaya bisa bangkit dari kasur, mengabaikan pikiran-pikiran untuk melukai diri sendiri, sampai memaksa diri untuk tidur dan tidak melakukan hal-hal impulsif ketika hypomania menghinggap.
Hal ini luput saya ceritakan dalam utas tersebut. Fokus orang-orang juga terpaku pada jumlah pekerjaan dan uang yang bisa saya kumpulkan dalam dua tahun. Beberapa orang mengatakan mereka salut dengan perjuangan saya. Tapi yang lebih bikin sedih adalah jumlah pertanyaan tentang bagaimana cara mendapatkan kerja sampingan dan membagi waktu kerja yang masuk tiap jamnya.
Di satu sisi saya jengah–apa orang-orang ini tidak membaca cuitan saya dan pekerja lain soal bagaimana kerja berlebihan menghancurkan badan kita? Tapi di sisi lain saya juga paham akan kekhawatiran mereka. Situasi sekarang memang semendesak itu: harga sembako terus naik, naik ke puncak gunung tapi gaji tetap tiarap.
Kesenjangan Pendapatan
Saya memiliki privilese untuk menabung dan mendapat kerja sampingan berkat portfolio dan koneksi. Pendidikan universitas dan kepemilikan laptop juga berpengaruh dalam besaran gaji yang saya dapatkan. Hal ini divalidasi oleh survei BPS yang menunjukkan lulusan universitas memiliki pendapatan yang jauh melampaui lulusan SMA.
Sumber: Badan Pusat Statistik (bps.go.id)
Statistik ini memberikan kenyataan yang pedih: menjadi sarjana memberikan kesempatan pendapatan hampir dua kali lipat daripada mereka yang hanya lulusan SMA/SMK atau lebih rendah. Perbedaan besar pendapatan berbanding lurus dengan total jam kerja per minggunya, tapi lagi-lagi kenaikan paling besar terlihat di lulusan universitas. Para sarjana bisa mendapatkan tambahan hampir Rp 500 ribu apabila bekerja >60 jam/minggu, tapi keuntungan yang sama tak bisa didapatkan lulusan SMA/SMK. Justru jam kerja yang lebih panjang tak banyak mengubah jumlah pendapatan mereka.
Perlu dicatat pula bahwa data statistik ini hanya mencakup rata-rata pendapatan dan jam kerja di pendapatan utama. Sayangnya, BPS tidak memiliki data tentang pekerjaan sampingan sehingga tulisan ini tidak bisa memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang seberapa banyak pekerja, terutama pekerja muda Indonesia, yang bekerja lebih di satu tempat.
Berkaca dari pendapatan saya sendiri, tentunya gaji saya jauh melampaui rata-rata nasional, yaitu 2,89 juta. Rata-rata ini didukung oleh pendapatan rata-rata pekerja laki-laki yang sebesar Rp 3.138.000/bulan, sedangkan rata-rata pekerja perempuan jauh di bawah dengan pendapatan Rp 2.434.000/bulan. Lagi-lagi kesenjangan pendapatan berbasis gender.
Melihat data ini dan membaca balasan-balasan cuitan saya membuat saya berpikir, bisa jadi jumlah tabungan saya ada di atas rata-rata nasional. Atau bahkan saya adalah sedikit orang yang bisa menabung. Dan asumsi saya ini ada benarnya–masyarakat Indonesia rata-rata hanya bisa menabung sebanyak 8,5% dari pendapatan mereka. Masyarakat miskin-kelas menengah bawah rata-rata hanya bisa menabung 5,2% pendapatan mereka, sedangkan masyarakat kelas menengah-menengah atas rata-rata hanya menabung sebesar 12,6%. Angka ini jauh dari saran analis keuangan yang menyarankan menabung 20% dari total pendapatan.
Data tadi merupakan data tahun 2016. Survei terkini menunjukkan 21% penduduk Indonesia tidak menabung dan 33% menabung kurang dari 10% pendapatan mereka. Sedikitnya jumlah penduduk yang menabung menunjukkan pendapatan masyarakat tidak mengikuti laju inflasi. Kurangnya literasi finansial juga membuat masyarakat kurang menyadari pentingnya memiliki tabungan dan menginvestasikan tabungan tersebut alih-alih hanya menyimpannya. Namun, tetap saja permasalahan ini akarnya ada di pendapatan yang stagnan.
Kesenjangan kemampuan untuk menabung juga secara tidak langsung disadari oleh banyak orang. Survei World Bank dan pemerintah Australia tahun 2014 menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia menganggap distribusi pendapatan tidak adil-sangat tidak adil. Survei tahun 2018 menunjukkan perbaikan, dengan 41,1% menganggap distribusi pendapatan sudah adil-sangat adil dan 42,4% menganggap tidak adil-sangat tidak adil.
Sumber: ISEAS_Perspective_2019_10.pdf
Besarnya kesenjangan pendapatan merupakan permasalahan yang serius. Ini karena sebagian besar pertumbuhan ekonomi utamanya didorong oleh masyarakat miskin dan menengah bawah. Masyarakat miskin dan kelas menengah bawah merupakan populasi terbesar sekaligus menghabiskan uang lebih banyak untuk konsumsi dibandingkan masyarakat kelas menengah dan menengah atas yang biasanya lebih fokus ke menabung dan investasi. Apalagi mayoritas GDP Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga.
Kesenjangan pendapatan yang jauh juga memiliki efek politik dan sosial yang besar. Dari segi kualitas hidup, masyarakat miskin dan menengah-bawah banyak yang kesulitan mengakses pendidikan tinggi, kesehatan, dan hampir tak mungkin memiliki properti. Efeknya mereka akan terjebak ke kemiskinan struktural yang sangat sulit dipecahkan.
Masalah ini hanya bisa diselesaikan apabila pemerintah lebih serius menyelesaikan kesenjangan ekonomi ini. Beberapa cara yang sepatutnya dilakukan adalah dengan meningkatkan industri manufaktur dan tidak terlalu mengandalkan sektor jasa yang biasanya menggaji rendah pekerja, memperluas lapangan kerja yang membutuhkan keterampilan menengah-atas, dan memperkuat serikat buruh agar gaji tak terus-terusan stagnan.
Sayangnya, kebijakan yang diambil pemerintah justru berkebalikan dari solusi-solusi ini. Pemerintah malah menggalakkan turisme dan UMKM yang tak punya banyak kesempatan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Memang sektor ini membuka lebih banyak pintu bagi masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tidak terlalu tinggi, tapi karena sifatnya yang berketerampilan rendah inilah yang membuat gaji dan pertumbuhan profesional pekerjanya sulit tumbuh.
Selama gaji stagnan dan pertumbuhan pekerjaan berketerampilan tinggi lambat tumbuhnya, kesempatan masyarakat untuk hidup sejahtera dan menabung akan sangat sulit untuk diwujudkan.