Ketakutan Erlend Øye Membuatku Memahami Scene Black Metal di Norwegia

Kings of Convenience Membuatku Memahami Scene Black Metal di Norwegia

 

Dalam sebuah wawancara beberapa tahun lalu, Erlend Øye pernah bilang kalau dia takut kelak tangannya tak bisa main gitar dan telinganya menjadi tuli.

 

Ketakutan Øye ini belum terjadi. Sejauh ini ia bersama rekannya Eirik Glambek Bøe masih membawa bendera Kings of Convenience terbang jauh dari kampung halaman mereka di Bergen, Norwegia, ke negara antah berantah bernama Bali Indonesia.

 

Pada 9 Maret 2023, duo folk ini kembali menggelar konser di Indonesia. Ini adalah lawatan ketiga dari Kings of Convenience setelah sebelumnya di 2007 dan 2010 mereka menyambangi Jakarta dan Bandung. Kayaknya betah banget ni bg Øye.

 

Malam itu, lebih dari 5.000 orang memadati Ritz-Carlton, Pacific Place, Jakarta demi menyaksikan grup ini. Sebelum Kings of Convenience tampil, Bilal Indrajaya dan Kurosuke membuka konser yang digelar oleh Aksara Records ini.

 

Butuh waktu 15 menit menunggu duo ini naik panggung. Penonton tampak tak sabar dan meneriakkan Kings of Convenience berulang kali. Akhirnya yang ditunggu datang. Dengan santai Erlend Øye dan Eirik Glambek Bøe naik ke atas panggung dan membawakan deretan lagu jagoan seperti Rocky Trail, Mrs. Cold, Fever, Cayman Islands dan tentu saja Homesick

 

Sepanjang penampilan selama lebih dari satu setengah jam, penonton bernyanyi bersama. Selepas manggung, Erlend Øye dan Eirik Glambek Bøe menyempatkan menandatangani tumpukan piringan hitam yang dibawa penggemar di atas panggung.

 

Duo ini kemudian bergegas ke belakang panggung untuk istirahat. Sesampainya di belakang, duo ini masih dikerubuti banyak orang yang meminta foto bareng–termasuk musisi dan panitia. 

 

“Sabar, semua kebagian,” kalimat tersebut berulang kali saya dengar.

 

Duo ini melayani dengan tersenyum ajakan foto bareng penggemar. Dari jarak yang cukup dekat, saya lihat Erlend Øye duduk berbincang dengan Eirik Glambek Bøe. 

 

Sesekali ia juga berbicara dengan Ricky Virgana dari White Shoes & The Couples Company. Setelah itu, ia duduk di atas kursi sambil menyandarkan tubuhnya yang jangkung itu.

 

Saya mau bilang ke dia, “Hey Øye, letih dalam bermusik jauh lebih baik daripada harus hidup dalam ketakutanmu: tak bisa main gitar, bernyanyi dan kehilangan pendengaran.” Tapi lagi-lagi saya harus sadar diri. Siapalah saya.

 

Saya kemudian memendam hasrat berceramah itu dengan mengajukan pertanyaan dalam hati: Seperti apa, ya, skena musik di negara Kings of Convenience lahir? Musik apa yang paling digandrungi?

 

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala. Sesampainya di rumah, saya mencari jawaban atas pertanyaan itu.

Makin Bahagia Makin Gelap

 

Kita yang lahir dan hidup di negara dunia ketiga ini cuma bisa iri saat membaca berita betapa makmurnya hidup di negara Skandinavia seperti Norwegia–negara asal Kings of Convenience.

 

Kemakmuran ini dimulai sejak Norwegia melangsungkan eksploitasi minyak lepas pantai dan gas alam pada akhir tahun 1960-an yang dibarengi kebijakan menyalurkan uang secara merata kepada masyarakat.

 

Kebijakan Nordic Model, dengan demokrasi sosial progresif mereka, sering membuat negara-negara seperti Denmark, Finlandia, Islandia, Swedia hingga Norwegia mendapat pujian. Tetapi, Norwegia juga terkenal dengan siswa-siswa yang malas karena kekayaan minyak negara, dan warga yang terobsesi dengan selebritas dan reality show. Selain itu, Norwegia, dan semua negara di bawah Nordic model juga menjadi sumber bencana ekologis karena tingkat penggunaan sumber daya dan emisi CO2 yang tinggi.

 

Fun fact: Jika semua orang mengonsumsi seperti orang-orang Skandinavia, kita akan membutuhkan hampir lima Bumi buat bisa survive sebagai manusia.

 

Atas kemajuan negara mereka (dan kesengsaraan yang mereka bawa buat planet ini) hal itu dengan sendirinya menciptakan kelas menengah yang signifikan. Masyarakatnya hidup sejahtera seperti di cerita-cerita dongeng. Sudah hidup sejahtera, masyarakat Norwegia memiliki banyak waktu luang yang banyak pula. Enak banget, bukan?

 

Dengan sendirinya, masyarakat mulai mengenal berbagai aktivitas seperti olahraga dan budaya populer. Hidup makmur juga membuat panggung musik dengan berbagai genre berkembang pesat yang beriringan dengan antusiasme terhadap semua yang baru.

 

Saking tingginya antusias terhadap hal baru, maka jangan kaget di pengujung 1980-an muncul pula musik setan alias black metal ke negara ini. Band-band yang muncul antara lain Dark Throne, Mayhem, Immortal dan Emperor. Band-band ini sering disebut sebagai "gelombang kedua black metal” dan melanjutkan mimpi band metal di periode awal 80an. 

 

Mereka membawa semangat yang jauh lebih muram: pemujaan terhadap setan dan aksi panggung yang horror. Tak cuma sebatas gimmick, gerombolan ini juga mencuri perhatian masyarakat lewat aksi di luar musik seperti membakar gereja, pembunuhan dan rangkaian tindak kriminal.

 

Meski sebagian masyarakat menentang genre musik ini lantaran rentetan peristiwa tersebut, alih-alih memudar semangat black metal di Norwegia bahkan terus berkembang hingga saat ini dengan kehadiran band-band seperti Gjendod atau Kaldvard.

 

Kamu enggak usah bingung kenapa musik metal mendapat tempat begitu luas di hati masyarakat Norwegia. Udah hidup enak, ngapain sih mainin musik dan aksi setan-setan segala. Musikolog asal Amerika, Nate Sloan menyebut pada dasarnya dikatakan bahwa semakin bahagia suatu negara, semakin gelap pula musiknya. 

 

Ucapan Nate bukan isapan jempol, lihat saja Finlandia yang dinobatkan sebagai negara paling berbahagia selama lima tahun berturut-turut, pada praktiknya menjadi negara dengan populasi pecinta metal terbanyak pula.

 

“Idenya adalah bahwa orang yang sedih menginginkan musik yang bahagia untuk membantu mereka melarikan diri, sementara orang yang bahagia harus menemukan hal-hal gelap mereka sendiri untuk mengimbangi kebahagiaan yang mematikan pikiran mereka,” ujar Nate Sloan

 

“Jadi, banyak pecinta metal berasal dari negara-negara Nordik yang hidup bahagia, sementara di Amerika, di mana banyak orang yang tidak bahagia, kami dikenal dengan musik pop dan dance yang ceria.”

 

Semua Bermula dari Revolusi Bergen

 

Bergen adalah ibu kota musik muram yang dibahas Nate Sloan. Bergen adalah kota yang selalu bersaing dengan Oslo, ibu kota Norwegia. Jika Oslo menjadi rumah bagi band hard rock kontroversial yang mendaku death punk Turbonegro dan band screamo JR Ewing, musik-musik yang lebih dekat dengan gaya hedon dan glamor, Bergen membesarkan black metal. Setidaknya, ada tiga kejadian besar di era awal black metal yang terjadi di Bergen:

 

23 Mei: percobaan pembakaran Gereja Storetveit

6 Juni: pembakaran Gereja Fantoft stave - Varg Vikernes, musisi Mayhem dan Burzum, yang aktif mempromosikan politik neo-nazi dan esoterisme, sangat dicurigai sebagai pelakunya, namun tidak dihukum

24 Desember: pembakaran Gereja Åsane - Varg Vikernes dan Jørn Inge Tunsberg dihukum atas tindakan ini

 

Siapa menduga dari kota semuram itu, musik pop bersemi di sana. Band-band seperti Röyksopp, Ephemera, Magnet, dan tentu saja Kings of Convenience mulai dikenal dunia dan merepresentasikan kota Bergen dalam wujud lain.

 

Kini, ketika orang seusia saya membicarakan Norwegia mungkin orang akan merujuk pada melodi yang indah serta perpaduan unik antara suara folky dan indie pop dari Kings of Convenience, yang terdengar amat berbeda dari kebanyakan musik indie pop di mana porsi gitar terasa rumit, selipan instrumen-instrumen lain yang cerdik, dan harmoni yang memukau. Mendengarkan lagu-lagu mereka membuat kamu bisa membayangakan kamu tengah berpelukan di dekat perapian, atau di suatu senja–

 

Eh, tunggu deh. Mungkin ini asal mula kedigdayaan frasa ‘senja dan kopi’ yang berusaha ditiru oleh penyanyi-penyanyi hipster nanggung yang membawakan folk dan indie pop? Entahlah. Tetapi, yang jelas untuk bisa meniru suasana lagu Kings of Convenience rasanya tak cukup bermodal bisa metik gitar, atau mengakses KBBI online dan rimakata.com.