Ketika AI Menjadi Alat Pembunuh
Israel Menganggap Warga Palestina Sekadar 'Data Hidup'
“Matahari terbit dan tenggelam. Bulan muncul dan menghilang. Orang-orang tidur dan terbangun. Namun “ia” selalu ada di sana. Dan itu menyebalkan.
Jika aku mendongakkan wajahku ke langit, aku tidak melihat burung maupun awan. Hal pertama yang membuatku tercengang adalah zannana (sesuatu yang mendengung) atau kami di Gaza menyebutnya “gagak langit”.
–Nour Naim
Bagi warga Palestina, penggunaan drone oleh Israel adalah contoh nyata bagaimana teknologi dapat menjadi ancaman serius yang merugikan dan tidak menguntungkan manusia. Mereka menghadapi malam yang tak bisa mereka lewati dengan tenang, karena terganggu oleh suara drone yang begitu menggelegar—tak ada suara lain yang dapat menandingi kebisingannya. Berbeda dengan judul novel Sabda Armandio, Dekat dan Nyaring, suara-suara itu tak nyaring sama sekali, namun begitu dekat, banyak ledakan yang menghantui para warga setiap saat dan di manapun mereka berada.
Salah satu penulis, Nour Naim, dalam bab Light in Gaza: Writings Born of Fire, menggambarkan drone sebagai entitas yang selalu menembus sekat-sekat dinding rumah-rumah di Palestina. Sepertinya, drone memiliki kemampuan untuk memandang jauh ke dalam, memata-matai setiap momen, terutama dengan kebisingan suaranya dan kedekatannya yang nyaris menghantam. Tak hanya dapat dikendalikan dari jarak jauh, drone buatan Israel dilengkapi dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang menjadikannya sebagai senjata pembunuh yang paling 'diandalkan' oleh tentara Israel. Tidaklah mengherankan bahwa teknologi AI Israel begitu maju. Dalam tulisannya berjudul “Dibalik Konflik Israel-Palestina Penindasan Ekonomi terhadap Palestina,” terungkap bahwa ini adalah konsekuensi dari adopsi neoliberalisme yang diikuti oleh upaya mengembangkan 'negara start-up,' dengan perkembangan pesat industri teknologi mutakhir (hi-tech) sebagai salah satu sektor yang tumbuh pesat.
Di belahan dunia lain, seperti Eropa dan AS, yang sering dianggap sebagai "pusat" peradaban modern, regulasi terkait penggunaan kecerdasan buatan (AI) sedang menjadi perhatian serius. Sementara itu, warga Palestina menjadi korban dari dampak negatif perkembangan teknologi AI. Tidak ada ancaman bahwa teknologi AI ini akan menjadi "berkesadaran atau super-cerdas," sebagaimana diumumkan oleh tokoh-tokoh seperti Geoffrey Hinton, Yuval Noah Harari, dan Elon Musk. Namun, lebih tepatnya, seperti yang sering diungkapkan oleh Meredith Whittaker, ancaman nyata dari AI adalah ketika teknologi ini dikuasai oleh korporasi teknologi besar yang fokus pada keuntungan dan pertumbuhan, tanpa mempedulikan dampaknya pada banyak orang. Masa depan tidak dapat hanya diberikan kepada sekelompok kecil orang atau perusahaan.
Kenyataan ini kurang lebih mirip dengan salah satu pernyataan Hegel di dalam The Philosophy of Right, yang mengatakan bahwa filsafat itu selalu datang terlambat, tepatnya ketika dunia telah berubah.
Persis seperti itulah regulasi etis AI dirumuskan, ia datang terlambat, ketika sederet diskriminasi yang salah satunya disebabkan oleh teknologi AI terhadap warga Palestina sedang berlangsung. Serta sifatnya yang bertujuan pada keuntungan dan pengembangan terus menurus, perusahaan teknologi seperti Microsoft, Apple, Amazon, Google, tak peduli apakah kerja-kerja yang mereka hasilkan itu bagus untuk masa depan warga Palestina atau tidak, alias mereka tak memperdulikan pertimbangan etis baik dan buruk, selagi Israel bisa mendatangkan keuntungan, maka mereka bisa menjadi ‘rekan bisnis’.
Ada Microsoft di balik Pengawasan Warga Palestina
Thomas Brewster, seorang penulis senior di Forbes yang sering menangani liputan kejahatan siber, keamanan, dan pengawasan, mengulas dalam artikelnya 'kejahatan' yang melibatkan perusahaan teknologi yang menjadi donatur AnyVision, perusahaan sistem pengenalan wajah. Perusahaan ini telah terlibat dalam pengawasan terhadap warga Palestina dan menyediakan teknologi kepada Rusia dan Hong Kong di tengah-tengah pelanggaran hak asasi manusia.
Microsoft, dalam konteks ini, tidak hanya memberikan pendanaan senilai 78 juta dolar kepada AnyVision. Perlu dicatat bahwa AnyVision adalah perusahaan teknologi internasional berbasis di Israel. Salah satu produk unggulannya, Better Tomorrow, memungkinkan pelacakan lokasi orang atau objek dari video atau gambar.
Perlu diketahui jika software pengenalan wajah merupakan projek utama militer untuk upaya pengawasan kawasan Tepi Barat. Hannah Brown menulis setidaknya IDF berencana untuk terus menambah titik dipasangnya teknologi pengenalan wajah di 27 tempat antara Israel dan Tepi Barat dengan memasang 1,700 kamera sepanjang wilayah yang telah mereka ambil alih.
Dengan pendanaan ini, AnyVision setuju untuk menggunakan enam prisnsip dari Microsoft. Bahkan kita bisa melihat jika Microsoft ikut memasarkan produk aplikasi dari AnyVision. Melihat ini saya semakin setuju dengan artikel dari Make no mistake--AI is owned by Big Tech yang kurang lebih ingin mengatakan bahwa masa sekarang dan masa depan kita ditentukan atau dibentuk sesuai dengan apa yang para big tech hendaki: mulai dari menentukan bagan untuk penelitian dan pengembangan AI mana yang boleh dilakukan
Sedari awal ingin mendorong terciptanya teknologi yang lebih kontroversial lagi, dengan dalih 'gimmick' sebagai perusahaan yang progresif, transparan sesuai dengan etika ketika menyangkut pengenalan wajah (facial recognition) jika dibandingkan pesaingnya Amazon dan Google. Padahal tak ada bedanya kesemua itu dan perlu disadari bahwa para tech-bro yang dekat dengan korporat teknologi besar tak bisa dibiarkan untuk terus mengatur, menentukan dan mendefinisikan apa dan siapa kita.
Paling mengherankan dari abainya regulasi Uni Eropa dan negara-negara Barat sana adalah ketika Israel membuat Undang-udang (UU) terkait privasi tahun 2018 ini posisinya lebih tinggi daripada peraturan Uni Eropa. Bunyi dari UU yang diperbarui di antaranya sebagai upaya perlindungan warga negara Israel yang tercantum dalam hak konstitusional atas privasi, untuk database pengumpulan informasi harus didaftarkan pada pemerintah, dan informasi yang dibutuhkan tersebut harus disepakati oleh warga Israel itu sendiri.
Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat? Kabar buruknya, mereka tidak mendapatkan status warga Israel. Dengan demikian, seluruh warga Palestina tidak dilindungi oleh UU privasi dan banyak warga biasa yang menjadi target atau sasaran dari teknologi pengenalan wajah yang tak jelas objektifnya selain ingin menggenosida semua warga Palestina.
Ketika Israel Menggunakan AI untuk Represi Warga Palestina
Israel, sebuah negara yang tumbuh dari kolonialisme penjajahan, terus merajai dan menjajah tanah warga Palestina dengan menerapkan kebijakan apartheid dan diskriminasi yang menyengsarakan. Tidak hanya dalam ranah fisik, namun penjajahan ini merambat ke dunia digital, sebagaimana diungkap oleh Nour Naim yang menyoroti bagaimana Israel menjadikan Gaza, dengan luas hanya 365 kilometer persegi, sebagai 'laboratorium ujicoba pengembangan teknologi AI.'
Israel tidak hanya membatasi kebebasan warga Palestina secara fisik, namun juga mampu merinci profil dan merampas privasi mereka melalui teknologi AI yang sangat canggih. Pertanyaannya, kemana perginya pengawasan internasional? Aturan-aturan nampaknya tidak berlaku untuk Israel, yang terus leluasa melanggar regulasi dan batasan etis penggunaan teknologi AI.
Istilah 'laboratorium ujicoba' bukan sekadar hiperbola, melainkan gambaran nyata bagaimana Israel menggunakan teknologi sebagai alat pengawasan terhadap warga Palestina. Mereka tidak hanya mencuri informasi rahasia warga, tetapi juga menyimpannya sebagai bahan bakar untuk sumber data besar yang dapat dimanfaatkan dengan algoritma AI.
Dari tindakan picik itu, Israel mengembangkan teknologi militer dan mempromosikan hasil atau teknologi untuk perang dan meraup profit dengan cara: menciptakan ekonomi yang berkepanjangan dan menjadikan Gaza sebagai bahan ujicoba, lalu dengan cara menjadi negara yang mendominasi pengembangan teknologi AI untuk kepentingan militer--menjadikan Israel sebagai negara terdepan untuk urusan keamanan siber dan juga pusat pengadaan untuk banyak perusahaan-perusahaan keamanan.
Beberapa lembaga yang menjadi terdepan dalam bidang manufaktur militer dan teknologi mutakhir di antaranya adalah Elbit Systems, Israel Aerospace Industries, dan Rafael Advanced Defense Systems. Perusahaan inilah yang menyuplai drone, milis, jet tempur yang diproduksi oleh Israel.
Beberapa kekejaman telah mereka lakukan dengan bantuan dari teknologi modern untuk membunuh para warga Palestina tak berdosa, kita bisa melihatnya mulai dari 'pembantaian' Israel terhadap warga Palestina di tahun 2014 dan hingga detik ini. Mereka menggunakan roket kendali (guided missiles) untuk menarget dan membunuh warga Palestina yang tak bersalah, sejarah mencatat ini adalah kali pertama tindakan 'perang' yang menggunakan fasilitas teknologi AI. Sebuah laporan investigasi terbaru yang dilakukan oleh +972 Magazine and Local Call, terhadap tindakan pemboman Israel yang intens di Gaza menunjukkan bagaimana AI berkontribusi terhadap penargetan secara luas dan telah meratakan seluruh lingkungan di wilayah pesisir dan menurut data dari otoritas kesehatan yang dikelolah Hamas, tindakan keji Israel itu telah menewaskan hampir 15.000 orang.
Bahkan jika dibandingkan sebelum perang 11 hari dengan Hamas pada Mei 2021, IDF hanya menargetkan 50 target warga Gaza per tahunnya. Kini dengan pemanfaatan AI, mereka mampu menghasilkan 100 target yang menurut mereka pantas untuk dibunuh per harinya.
Hal ini ditegaskan oleh Perwira senior Korps Intelijen IDF:
"Ini pertama kalinya, AI merupakan komponen penting dan [sekaligus] pengganda kekuatan untuk menumpas musuh [Hamas]."
Dalam artikel yang di muat oleh The Jerusalem Post, tampak mereka telah mengumpulkan semua data yang mereka anggap sebagai kelompok teroris yang ada di Jalur Gaza. Data ini nantinya mereka masukkan ke dalam satu sistem untuk dianalisis dan nantinya berguna untuk melancarkan serangan.
Mari kita bayangkan dari sederet cara yang tentara Israel lakukan untuk 'meneliti warga Palestina' dengan bantuan teknologi AI.
1. Pertama, cara mereka mengumpulkan data warga Palestina menggunakan signal intelligence (SIGINT),
2. Kedua, terkait mereka gunakan visual intelligence (VISINT),
3. Ketiga, berkaitan dengan kecerdasan manusia mereka gunakan human intelligence (HUMINT)
4. Keempat, berkaitan dengan geografis, ruang mereka gunakan geographical intelligence (GEOINT).
5. Kelima, menggunakan generatif AI bagi para tentara yang bertujuan untuk memberitahu mana saja 'target' yang bisa dihabisi.
Terlihat dari alat dan teknologi yang Israel memiliki implikasi bahwa ruang gerak warga Palestina makin terhimpit. Seolah-olah semua lokasi, nama, wajah, telah teridentifikasi ke dalam satu sistem data. Hal ini mengindikasikan bahwa tentara Israel ketakuan jika warga Palestina diberikan keleluasaan bergerak dan ternyata berada di luar kendala mereka.
Dengan penerapan pengawasan massal telah melanggar hak keamanaan data diri, melanggar kebebasan untuk berekspresi dan menghargai dasar-dasar kemanusiaan. Serta apa yang telah dilakukan oleh Israel dengan teknologi AI, dan dibantu oleh para perusahaan teknologi, melanggar prinsip 'asa praduga tak bersalah'.
Para perusahaan besar teknologi seperti Google, Apple dan Amazon pun bekerjasama menjadi siapa yang terdepan untuk melanggengkan praktek genosida atas warga Palestina. Selain di sebut di atas Microsoft memberikan investasi sebesar 78 juta dollar, Microsoft secara sembunyi-sembunyi mengembangkan chip elektronik. Kemudian Google berencana untuk mendirikan pusat data regional di Israel untuk layanan penyimpanan komputasi. Lalu tahun 2021, pemerintah Israel mendapat kontrak kerjasama dengan Google dan Amazon senilai 1.2 milyar dollar untuk membangun pusat cloud computing yang disebut Project Nimbus.
Kita bisa sepakat bahwa regulasi ini dan itu yang dicanangkan oleh UNESCO hanyalah bersifat normatif dan tak berarti apa-apa di hadapan negara seperti AS yang mendukung genosida abad 21 yang juga dibantu oleh perusahaan besar teknologi seperti Microsoft, Google, Amazon dan Apple. Teknologi AI yang mereka kembangkan itu sangatlah eksploitatif dan tengah digunakan untuk menewaskan warga Palestina yang tak bersalah dengan mekanisme 'otomasi' dan dengan mempertahankan status-quo seperti bias, abuse dan bersifat tak adil kepada siapa saja yang mendukung warga Palestina.
Selain itu, kerjasama perusahaan-perusahaan teknologi AI dengan pemerintahan sayap kanan di Israel menyebabkan kebijakan penindasan terhadap pendudukan militer oleh Israel meningkat, dalam beberapa tahun terakhir, pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.