Ketika Nina Tidak Bisa Bobo

Masalah tidur Nina sudah dimulai sejak ia masih duduk di bangku SD. Awalnya ia susah tidur karena takut gelap dan sering mengalami mimpi buruk. Orangtua mengakui Nina punya masalah tidur. Solusi yang mereka berikan? Menyuruh Nina tidur lebih cepat. Seiring bertambahnya umur, permasalahan tidurnya semakin memburuk. Puncaknya terjadi di masa kuliah; sehari-harinya mahasiswi FISIP ini hanya bisa tidur 2-3 jam sehari karena combo insomnia dan tugas yang menumpuk. Nina menyebutnya “sudah jatuh, tertimpa tangga pula.”

 

Kekurangan tidur ini membuat mood Nina naik turun dengan cepat. Ia juga sering lupa tanggal dan jam janjian dengan teman-temannya. Dua hal ini membuat hubungannya dengan teman-teman kampus memburuk. Perasaan terisolasi inilah yang membuatnya jatuh ke lubang depresi. Tak jarang ia akan menangis tiba-tiba—di kelas, kamar mandi, dan paling sering di kasur ketika tidur tak kunjung datang. 

 

Tahun ketiga kuliah ia memutuskan untuk ke psikiater. Dalam pertemuan pertama, dokter belum melakukan penegakan diagnosis, tapi ada dugaan ia menderita insomnia yang melahirkan depresi dan gangguan cemas berat. Ia diberi resep obat anti-depresi, antipsikotik, dan anti-cemas. Hari pertama ia meminum obat-obatan itu adalah hari pertama ia bisa tidur tenang selama 8 jam.   

 

Nina hanyalah satu dari lautan manusia yang menderita insomnia. Statistik menunjukkan setidaknya 10-30% populasi di berbagai negara menderita insomnia. Mayoritas penderitanya adalah orang-orang tua, perempuan, dan pasien sakit fisik dan jiwa. Orang-orang dari kelas sosio-ekonomi yang rendah juga lebih sering menderita insomnia daripada mereka yang lebih mapan.

 

Besarnya angka penderita insomnia merupakan bentuk krisis kesehatan. Ini karena insomnia bisa memicu penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan jiwa seperti depresi dan gangguan cemas. Tak jarang penderita insomnia akan mengonsumsi obat-obatan narkotika untuk bisa tidur, menaikkan kemungkinan mereka untuk menjadi pecandu narkoba.  

 

Potret penderita insomnia Indonesia

 

Pada 2018, The Jakarta Post melaporkan setidaknya 28 juta penduduk Indonesia yang didiagnosa menderita insomnia. Namun penelitian tentang insomnia yang dilakukan oleh Peltzer dan Pengpid (2019) menunjukkan kemungkinan penderita insomnia Indonesia jauh lebih tinggi dari itu. 

 

Survei yang dilakukan kepada 31.432 partisipan menunjukkan 33,3% penduduk yang berpartisipasi dalam survei berada di ambang insomnia dan 11% penduduk sudah memenuhi diagnosa klinis insomnia. Prevalensi insomnia terlihat di partisipan laki-laki berusia 15-34 tahun, diikuti oleh perempuan 45-64 tahun dan perempuan berusia 15-34 tahun. 

 

Faktor seperti status sosio-ekonomi yang rendah, tinggal di kota, kurang beriman, pernah mengalami kelaparan di masa kecil, dan pernah mengalami bencana  juga memperbesar kemungkinan menderita insomnia. Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap tingkat stres yang tinggi, sehingga bisa memicu insomnia. 

 

Partisipan yang diduga menderita insomnia memiliki karakteristik perokok, jarang mengkonsumsi buah dan sayur, tapi sering makan junk food dan minum soda. Mereka yang memiliki kondisi artritis, asma dan/atau kondisi paru-paru kronis lainnya, penyakit jantung, kolesterol tinggi, penyakit ginjal dan liver, masalah pencernaan, dan stroke lebih mungkin mengidap insomnia daripada mereka yang tidak. 

 

Inilah portret penderita insomnia di populasi umum. Bagaimana dengan populasi mahasiswa seperti Nina yang sering dibuat pusing tujuh keliling dengan tugas?

 

Penelitian yang dilakukan Peltzer dan Pengpid (2014) menunjukkan 39% dari 750 partisipan studi Indonesia mengalami insomnia. Angka ini sangat tinggi dibandingkan Thailand; hanya 3% mahasiswanya yang mengalami insomnia. Sayangnya karena studi ini merupakan studi besar yang melibatkan mahasiswa dari 26 negara berkembang, tidak ada data spesifik tentang Indonesia.

 

Meski begitu, penelitian yang dilakukan oleh Herawati dan Gayatri (2019) pada 450 mahasiswa Universitas Indonesia menunjukkan mahasiswa dari kluster sosial dan humaniora paling banyak terindikasi insomnia dibanding mahasiswa dari kluster kesehatan dan sains dan teknologi. Tingkat insomnia ini juga berbanding lurus dengan tingkat stress yang dialami; 84% mahasiswa sosial-humaniora melaporkan tingkat stress menengah-parah, paling tinggi dibandingkan mahasiswa kesehatan (72,7%) dan mahasiswa sains dan teknologi (73,3%). 

 

Hasil penelitian ini mematahkan pandangan bahwa jurusan-jurusan sosial-humaniora adalah jurusan yang santai. Buktinya, banyak mahasiswa mengalami stres dan susah tidur—Nina salah satunya. Bahkan dalam kasus Nina, insomnia kronis yang tak segera disembuhkan berakibat ke munculnya diagnosis depresi dan gangguan cemas. 

 

Permasalahan tidur merupakan permasalahan yang serius. Jika tak segera ditangani, ia bisa berkembang menjadi depresi, gangguan cemas, dan penyakit-penyakit serius lain. Walau data menunjukkan prevalensi insomnia Indonesia cukup tinggi, gaung inisiatif publik untuk tidur yang lebih baik jarang atau bahkan tidak pernah terdengar.