Kisah “Barter” Patung Gajah dan Sembilan Pedati Artefak pada 1871-1896

Kisah “Barter” Patung Gajah dan Sembilan Pedati Artefak pada 1871-1896

Pada 15 April 1871, koran lokal di Bangkok memberitakan kepulangan Raja Chulalongkorn yang usai menempuh lawatan ke luar negeri selama 37 hari. Raja Siam kelahiran 1853 yang bertakhta sejak 1868 itu pergi mengunjungi tiga kota bandar di dua negeri tetangga: Singapura yang masih dimiliki oleh Inggris, juga Batavia dan Semarang di Jawa yang menjadi bagian Hindia Belanda. Raja serombongannya berlayar dalam kapal kerajaan yang dinamai Pitthayamronnayuth. 
Sesampainya kembali di Bangkok, sang raja menitahkan pembuatan dua patung gajah perunggu. Satu dikirimkan ke Singapura, satu lagi dikirimkan ke Batavia.  Itu merupakan cenderamata yang mewakili ucap terima kasih raja kepada mereka yang telah menerimanya dengan baik selama lawatan. 
Ringkasan bersifat kronologis perihal lawatan Raja Chulalongkorn pada 1871 dapat dibaca dalam buku karya Imtip Pattajoti Suharto, Journeys to Java by a Siamese King (2001). Hasil publikasi Kementerian Luar Negeri Thailand ini terbit perdana pada 2001. Isinya meringkaskan pula dua kunjungan lain Raja Chulalongkorn ke Jawa pada 1896 serta 1901.
Di Batavia, gajah perunggu hadiah Raja Chulalongkorn dari 1871 lantas dipasang di atas suatu pedestal berukir bergaya ala candi Jawa Kuna. Penempatannya adalah di halaman depan dari sebuah bangunan neoklasik yang serambinya dibarisi pilar-pilar dorik , kantor lembaga Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen (Perhimpunan Masyarakat Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan). 
Sejak sekitar tiga perempat abad lalu, Batavia telah berganti nama resmi menjadi Jakarta. Kantor Bataviaasch Genootschap telah diwarisi oleh Museum Nasional. Namun, patung gajah asal Siam tetap tegak di muka kompleks bangunan megah itu, mengikuti penempatan sebagaimana 152 tahun lalu. Keberadaan gajah perunggu itu menjadikan orang masih saja menyebut museum di Jalan Medan Merdeka Barat itu sebagai Gedung Gajah atau Museum Gajah.  
Balasan Hadiah Berlimpah
Seperempat abad setelah menghadiahkan patung gajah perunggu, Raja Chulalongkorn dalam kunjungan kali keduanya di Jawa lantas berkesempatan memanen balasan hadiah berlimpah. Dalam hal jumlah berlipat-lipat lebih banyak. Dalam hal nilai pun bisa ditaksir berlipat-lipat lebih mahal. Pasalnya Pemerintah Kolonial Belanda mengizinkan Raja Chulalongkorn membawa pulang begitu banyak arca, relief, serta karya seni peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Jawa. Total jenderal sampai perlu sembilan pedati untuk mengangkut benda-benda itu ke pelabuhan.
Bab 20 buku Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu karya P. Swantoro menukilkan daftar ringkas “oleh-oleh” benda peninggalan bersejarah dari Jawa yang dibawa pulang Raja Chulalongkorn ke Siam. Ada delapan kelompok arca, relief, makara, serta artefak-artefak lain dari berbagai titik di Candi Borobudur. Lalu ada lima fragmen relief yang diperkirakan berasal dari Percandian Prambanan. Lalu ada lagi sekitar sebelas arca pantheon dewa-dewi Hindu dan Buddha yang tersimpan di Museum Nasional Bangkok. Dalam hal ini, Swantoro merujuk kepada laporan arkeolog Utami Ferdinandus, yang sebelumnya telah termuat menjadi salah satu artikel pengisi buku Monumen, persembahan untuk Prof Dr R Soekmono yang diterbitkan pada 1990.   
Diangkutnya 9 pedati artefak dari Jawa ke Siam alias Thailand pada 1896 itu kini menjadi sesal dan gerutu tak sedikit orang Indonesia, terutama para peminat sejarah dan budaya. Berbagai artefak itu tentu berkelayakan untuk disebut benda cagar budaya sebagaimana disyaratkan sejumlah pasal dan ayat dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Terlebih jika mengingat umur berbagai artefak itu yang telah mencapai hitungan beberapa abad, bukan cuma lebih dari 50 tahun. Sebagai peninggalan peradaban Jawa Kuno, khususnya Kemaharajaan Medang, benda-benda itu tentu memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, hingga kebudayaan. 
Alhasil, kita hanya bisa getir mengingat histori penghadiahan dan balasannya, patung gajah di depan Museum Nasional bisa dianggap salah satu patung termahal di Indonesia. Gajah perunggu itu bisa pula dianggap penanda dari suatu proses “barter” yang timpang pada 127-152 tahun silam.    
Memori yang Terpenggal 
Namun, harus diakui bahwa arca-arca serta aneka artefak peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha Jawa Kuno itu lebih mendapatkan penghormatan di Negeri Gajah Putih ketimbang di negeri asalnya. 
Umumnya orang Jawa pada peralihan abad 19 ke abad 20 adalah orang-orang telah lama hidup dalam pengaruh kuat agama Islam. Mereka pun terpenggal memori kolektifnya tentang para leluhurnya yang hidup pada zaman eksisnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. 
Kala itu, catatan sejarah dari Jawa Kuno berupa prasasti dan kitab kuno belum banyak yang dapat kembali dibaca. Alhasil,perkara menjelaskan asal-usul Kompleks Percandian Prambanan saja, penduduk sekitarnya maupun masyarakat Jawa umumnya merujuk kepada legenda Roro Jonggrang serta Bandung Bondowoso. 
Raja Chulalongkorn mencatat kesimpulannya saat berbincang dengan salah satu pemuka masyarakat Tengger. Kepada Chulalongkorn, sang pemuka itu menyebut masyarakatnya adalah pemeluk salah satu aliran Buddha. Namun, Chulalongkorn dari cerita sang pemuka lebih bisa mengidentifikasi aliran kepercayaan lokal masyarakat Tengger itu condong ke arah agama Hindu ketimbang Buddha.
Orang-orang Belanda yang bermukim di Jawa pada abad 19 pun memperlakukan arca-arca peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha secara kurang terpuji. Umumnya mereka belum sampai kepada pemahaman bahwa ikon-ikon itu adalah warisan bersejarah yang perlu dihormati dan dijaga kelestariannya. Dimabuk oleh antusiasme antikuarian kehidupan di Timur, arca-arca Hindu-Buddha lebih dipandang sebagai pajangan. 
Pun hal yang sama juga terjadi ke arca Buddha di rumah kediaman Residen Yogyakarta yang sekarang menjadi Istana Kepresidenan Gedung Agung. Ada banyak arca Buddha dicat bagian badannya serta dilukisi bagian wajahnya. 
Menanti Tergeraknya Hati
Orang-orang di Negeri Gajah Putih tentu memiliki pemahaman lebih baik soal agama Buddha dan Hindu, ikonografi dua agama tadi, juga lain-lain seputar pengaruh Indianisasi. Bahkan beberapa arca asal Jawa malah ditempatkan di sejumlah  kuil pemujaan, yakni di Wat Rajathiwas, Wat Baworn Nives, juga bahkan di empat sudut dari Wat Phra Kaew alias Emerald Buddha Temple. 
Status “oleh-oleh” sembilan pedati artefak asal Jawa di Thailand tidak persis sama seperti berbagai benda bersejarah lain dari Nusantara di museum-museum di Belanda serta Inggris. Ini mestinya bisa mengurangi sesal dan gerutu orang Indonesia perkara “barter patung gajah dengan sembilan pedati artefak”. Toh orang-orang Thailand tidak pula mengingkari bahwa benda-benda bersejarah itu berasal dari Jawa, Indonesia. 
Untuk saat ini, orang Indonesia agaknya mesti mengikhlaskan benda-benda hasil boyongan Raja Chulalongkorn. Kita bisa mengutamakan dahulu sikap kalem lagi sopan, memandang benda-benda itu sebagai sejumlah pengikat persahabatan antara Thailand dan Indonesia. Dengan tetap terjaganya persahabatan, siapa tahu kelak justru pihak Thailand yang tergerak hati, membuka peluang repatriasi alias mengembalikan mereka ke Indonesia. Kalau tidak semuanya, setidaknya sebagian.