Kisah Pekerja Kelas Menengah Jabodetabek

Ini cerita dua anak muda kelas menengah Jakarta, Lisa dan Reza. Lisa lulus kuliah setahun yang lalu dan sedang meniti karir sebagai copywriter di sebuah agensi di Jakarta Selatan. Sedangkan Reza adalah pekerja startup di bilangan Jakarta Pusat. Ia baru saja memulai keluarga bersama istrinya, yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga sembari menunggu kelahiran buah hati mereka.

Cerita mereka bukanlah cerita yang unik, bahkan bisa dibilang mereka adalah bagian statistik dari populasi kelas menengah Indonesia yang terus naik setiap tahun. Sayang, laporan tentang jumlah populasi kelas menengah Indonesia tak selalu sama. Boston Consulting Group (2013) mengklaim ada 74 juta kelas menengah, sedangkan World Bank (2020) mengklaim setidaknya ada 52 juta kelas menengah di tahun 2016. 

Walau angkanya bertabrakan, kedua laporan ini optimis populasi kelas menengah Indonesia akan terus naik. Boston Consulting Group (BCG) mengestimasi akan ada 54 daerah dengan populasi kelas menengah di atas 500.000 di tahun 2020, naik lebih dari dua kali lipat dari tahun 2013 yang hanya mencatat 25 daerah dengan populasi kelas menengah di atas 500.000. Sedangkan World Bank memperkirakan kenaikan kelas menengah sebanyak 10 persen setiap tahunnya. Artinya, 1 dari 5 orang Indonesia merupakan kelas menengah dengan kondisi ekonomi terjamin. Kemungkinan mereka jatuh ke lubang kemiskinan kurang dari 10%. 

Mari kita kembali lagi ke Lisa dan Reza. Lisa tahun ini akan merayakan ulang tahun yang ke-23. Ia masih lajang dan orangtuanya masih bekerja, otomatis membuat tanggungan Lisa hanya dirinya seorang. Setiap bulannya ia menerima gaji sebesar Rp 5,5 juta sebulan. Pos pengeluaran utamanya ada di makanan, lalu kos (termasuk token listrik), belanja bulanan, dan hiburan. Sisanya ia tabung.

Tentunya Lisa termasuk segelintir anak muda yang beruntung. Banyak kawan-kawannya terpaksa menjadi tulang punggung keluarga segera setelah bekerja alias generasi sandwich. Mayoritas gaji lari ke keluarga, menyisakan sedikit untuk mereka sendiri. Menabung? Self-healing? Apa itu?

Meski hidup mereka terlihat pas-pasan, gaji mereka yang di atas UMR Jakarta ini menempatkan mereka di kelas menengah. World Bank mendefinisikan kelas menengah Indonesia sebagai mereka yang mengeluarkan 1,5-6 juta rupiah per kepala tiap bulannya. Angkanya mungkin terlihat kecil, tapi kelompok ini terhitung stabil dengan kemungkinan jatuh miskin kurang dari 10 persen. Mereka pula pendorong nomor 1 perekonomian Indonesia: hampir 50% konsumsi penduduk berasal dari kelas menengah. 

Lalu bagaimana dengan Reza? Pendapatannya dua kali lipatnya Lisa, tapi hidupnya tidak semewah yang kita bayangkan. Reza adalah bagian dari generasi sandwichia harus membiayai kuliah adiknya dan membayar biaya kehidupan sehari-hari orangtuanya. Kehamilan istrinya membuat ia harus semakin mengetatkan pinggang. Untungnya, sebelum istrinya resign, mereka sudah memiliki tabungan yang sekiranya cukup untuk menangkal hal-hal di luar dugaan.

Dengan pendapatan sebesar itu, Lisa berada di [berapa persentil], sedangkan Reza berada di [berapa persentil]. Untuk ukuran Jakarta, pendapatan mereka terlihat biasa saja. Tapi apabila dibandingkan dengan pendapatan rata-rata pendapatan penduduk seluruh Indonesia, pendapatan mereka jadi luar biasa. Pasalnya, rata-rata pendapatan se-Indonesia raya per Februari 2022 hanya 2.892.537.

Walau bergaji besar, Reza harus menge-press pendapatannya ke berbagai pos pengeluaran. Ia harus membayar cicilan mobil, makanan (baik masak sendiri maupun makan di luar), bensin, tabungan, asuransi, dan terakhir membayar tagihan listrik, air, dan internet. Reza tidak mengeluarkan uang untuk kontrakan dan cicilan KPR karena mertuanya berbaik hati meminjamkan rumah kosong mereka. Namun karena jarak rumahnya jauh dari kantor, ia harus melaju 3-3,5 jam setiap harinya.

Pos-pos pengeluaran Lisa dan Reza memiliki kemiripan dengan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2013. Survei yang berjudul “Pola Pengeluaran dan Gaya Hidup Penduduk Kelas Menengah: Studi Empiris Perkotaan di Jabodetabek” menunjukkan pengeluaran nomor satu penduduk kelas menengah muda ada di makanan (bagi yang lajang) atau cicilan rumah dan kendaraan bermotor (bagi yang sudah menikah). Cicilan rumah bahkan bisa memakan 30-50 persen dari total penghasilan. 

Dalam sehari, Lisa bisa menghabiskan Rp 50.000-Rp70.000 per hari. Pengeluaran utama habis di makanan–karena pekerjaannya yang lumayan banyak, ia sering memburu diskon makanan via aplikasi. Biaya transportasi bisa ditekan karena kantornya menerapkan WFH. Tapi uang transportasi ini akhirnya digunakan untuk WFC (working from cafe). Pengeluaran Reza sedikit lebih besar dari Lisa, mengingat ia sudah berkeluarga dan harus ke kantor setiap harinya. Sehari ia bisa menghabiskan Rp100.000-Rp150.000, dengan pengeluaran terbesar di makanan dan bensin.

Pengeluaran keduanya di bidang makanan dan transportasi masih selaras dengan pengeluaran responden. Ini menarik mengingat harga kebutuhan pokok terus naik, tapi kenaikan gaji stagnan.

Lalu bagaimana dengan pengeluaran tersier mereka? Sayangnya survei ini tidak mencatat kebiasaan jajan mereka. Tapi menariknya mereka mencatat kebiasaan responden pergi ke mal. 

Responden yang paling sering pergi ke mal adalah mereka yang telah menikah. Hanya sepertiga (31 persen) responden yang belum menikah yang mengunjungi mal sekali dalam sebulan, sementara 27 persennya pergi dua kali, 15 persen tiga kali, dan 23 persen lebih dari tiga kali. Sedangkan yang telah menikah hampir separuhnya (43 persen) mengunjungi mal lebih dari tiga kali sebulan. Hanya 16 persen yang mengunjungi mal satu kali dalam sebulan. 

Alasan terbesar orang-orang pergi ke mal adalah ingin mencari hiburan. Mal menjadi tujuan nomor satu karena minimnya tempat publik dan rekreasi di Jakarta. Tak hanya itu, tempatnya yang luas, ber-AC, dan berjajarnya restoran, toko, bioskop, dan ketersediaan supermarket membuat mal menjadi one stop destination favorit. 

Lisa termasuk ke kelompok muda lajang yang jarang ke mal. Ia paling banyak pergi ke mal dua kali dalam sebulan, itupun karena diajak temannya atau ketika ia butuh membeli makeup. “Buat belanja sebenernya gue lebih suka online di Shopee atau Tokped gitu,” ucapnya. “Tapi kalo beli makeup kan harus dicoba dulu, jadi gue ke offline store yang ada di mall. Cuma belinya tetep di online shop.” 

Alasan Lisa tidak suka mal sebenarnya cukup simpel. Menurutnya, mal terlalu berisik. “Kayak banjir orang,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Gue lebih suka cafe yang sepi gitu soalnya gue bisa fokus ngerjain kerjaan gue. Tapi gue ngerti sih kenapa orang suka banget pergi ke mal. Di mal bisa window shopping, terus tahu-tahu pulang udah bawa 2-3 shopping bag.”   

Ketika ditanya apakah ia pernah belanja dadakan seperti yang barusan ia bilang, Lisa menggelengkan kepalanya. “Duit gue abis di kebutuhan pokok sama bayar kos. Nabung aja cuma bisa dikit. Kalau mau keluar banyak harus di-plan dulu.” 

Ia diam sebentar, lalu terkekeh. “Lucu deh gue kerja bagaikan kuda dan kantong mata gue udah segede tas Birkin tapi gaji sama tabungan gue tipis banget.”

Sementara Reza mengaku sering ke mal. “Lokasi rumah sekarang mayan deket sama mal, terus istri gue juga suka bosen di rumah. Jadi komprominya gue nganterin dia ke mal tiap akhir minggu.” katanya. “Dulu sebelum hamil sering banget belanja, sekarang semua pengeluaran non-esensial distop. Dialihin ke tabungan untuk lahirannya si adek.” 

Pernikahan,  kehamilan, dan keputusan istrinya untuk resign memang membuat prioritas pengeluaran mereka berubah. Pengeluaran untuk hal-hal tersier harus dipotong dan sisa pendapatan langsung masuk ke rekening tabungan. 

Tapi apa yang dilakukan Reza bukanlah hal yang istimewa. Tren pengeluaran kelas menengah global memang terus menurun karena sepertiga sampai setengah pengeluaran mereka habis di cicilan rumah atau membayar sewa. Justru pengeluaran tersier seperti hiburan, liburan, dan lain-lain hanya 12 persen dari total budget, tulis OECD. Kecilnya pengeluaran untuk jasa dan barang tersier diakibatkan oleh pendapatan yang tidak bisa mengejar inflasi. 

Lalu apa artinya ini bagi Reza, Lisa, dan anak-anak muda kelas menengah lainnya? Secara garis besar, mereka sebetulnya jauh lebih rentan secara ekonomi dibanding orangtua mereka. Laporan OECD yang sama menunjukkan 4 dari 10 rumah tangga kelas menengah dari 18 negara Eropa rentan jatuh miskin karena hal-hal di luar kendali seperti terkena bencana alam. Bahkan 1 dari 5 rumah tangga lebih memilih untuk belanja daripada menabung, membuat risiko utang tak terbayar mereka jauh lebih tinggi. 

Memang penelitian ini dilakukan di Eropa, tapi kondisi yang serupa juga terjadi di Indonesia. Survei LIPI menunjukkan lebih dari separuh kelas menengah muda Indonesia menghabiskan 10-30% pendapatan mereka untuk membayar cicilan.

Kalau begini, jelas bahwa kemungkinan Lisa, Reza, dan kelas menengah muda lainnya untuk turun kelas terbuka lebar. Dan kemungkinan lebih buruknya lagi, kemungkinan anak mereka bertahan di kelas menengah dewasa nanti bisa jadi lebih kecil. Mengingat pendapatan orangtua mereka cenderung stagnan tapi pengeluaran mereka terus membesar dan utang yang menumpuk.