Koalisi Besar Parpol buat Siapa?

Koalisi Besar Parpol buat Siapa?

  • Koalisi politik Indonesia

  • Identitas partai politik

  • Kekuasaan dalam koalisi

  • Stabilitas pemerintahan koalisi

  • Kompromi politik

  • Dampak koalisi besar terhadap identitas partai politik

  • Efisiensi pemerintahan melalui koalisi besar

  • Perubahan ideologi partai dalam koalisi besar

  • Konflik kepentingan dalam koalisi politik Indonesia

  • Manfaat dan risiko koalisi politik multipartai

 

Penulis: Djoko Subinarto

Membangun koalisi politik bukanlah hal tabu, bahkan mungkin perlu. Meski demikian, koalisi dapat mengaburkan identitas dan ideologi partai.

Praktik bagi-bagi kekuasaan setelah kelar pemilihan umum (pemilu) adalah wajar. Kue kekuasaan memang biasa dibagi-bagi ke kelompok masyarakat maupun partai politik yang bergabung dalam koalisi besar. Ia ada untuk memastikan semua kepentingan dari berbagai kelompok ini bisa diakomodasi.

Ditilik dari sudut pandang pragmatisme, terbentuknya sebuah koalisi besar adalah respons pragmatis terhadap kondisi politik sekarang. Terutama dalam sistem multipartai, seperti yang dipraktikkan di negara kita saat ini.

Adapun ditilik dari aspek pluralisme, koalisi besar merupakan mekanisme untuk menyatukan beragam kepentingan ke dalam proses pembuatan kebijakan, yang mengarah pada tata pemerintahan yang lebih inklusif dan representatif.

Salah satu keuntungan koalisi besar yaitu memungkinkan peluang untuk menciptakan efisiensi dan stabilitas pemerintahan. Perencanaan kebijakan jangka panjang lebih mudah karena adanya dukungan dari partai-partai yang tergabung dalam koalisi. 

Tak hanya itu, koalisi besar juga bisa mengurangi ketegangan antar pihak yang berkontestasi dengan memberikan mereka kepentingan masing-masing. Hal ini dapat berkontribusi pada upaya pemeliharaan perdamaian dan mempromosikan rekonsiliasi antar faksi.

Menghilangkan identitas

Meskipun mampu mewujudkan efisiensi dan stabilitas pemerintahan serta berkontribusi terhadap perdamaian dan rekonsiliasi, koalisi besar dapat mengaburkan, bahkan menghilangkan identitas dan platform partai. Pasalnya, ketika partai-partai bergabung dalam sebuah koalisi besar, mereka seringkali harus melakukan kompromi untuk mencapai beberapa kesepakatan politik. Dalam konteks Indonesia, barangkali kita bisa melihat pada kasus bergabungnya partai Gerindra ke dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sebelum bergabung dengan KIM, Gerindra menunjukkan identitas yang tegas sebagai oposisi terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo. Partai ini menentang izin ekspor konsentrat PT Freeport dan menegaskan berpihak kepada kaum buruh. Namun, ketika partai ini akhirnya bergabung dengan KIM, segalanya berubah. Gerindra menyetujui perubahan UU Minerba yang memungkinkan ekspor konsentrat dilakukan. Begitu juga dengan RUU Cipta Kerja, yang dinilai tidak pro-buruh, Gerindra malah berakhir mendukung RUU tersebut.

Sudah barang tentu, perubahan sikap dan identitas Gerindra adalah bagian dari kompromi politik. Kompromi semacam ini yang mengaburkan garis-garis ideologi yang membedakan satu partai dengan partai lainnya. Partai yang pada awalnya memiliki prinsip-prinsip yang kuat dalam isu-isu tertentu mungkin harus berkorban demi kesepakatan bersama dalam koalisi.

Buntutnya, identitas partai menjadi kabur. Pemilih serta konstituen mungkin kesulitan untuk mengidentifikasi perbedaan nyata antara partai tersebut dengan partai lainnya. Pilih partai A, B, atau C ternyata tak ada bedanya alias sami mawon begitu partai-partai itu telah berada dalam sebuah perahu koalisi. Akhirnya, muncullah ketidakpercayaan pemilih dan konstituen terhadap partai. 

Bagi pemilih, hal ini tentunya menimbulkan kekecewaan, terutama jika pemilih menganggap koalisi tersebut telah mengorbankan prinsip partai atau mengkhianati mandat elektoral mereka. Kekecewaan semakin berlipat kala partai yang mendaku diri sebagai oposisi selama pemilu malah bergabung dengan koalisi yang didukung petahana. Lebih pahit lagi kalau ternyata koalisi ini hanya sebagai kendaraan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan

Mari kita lihat apa yang terjadi pasca Pilpres 2024. Sebagaimana kita ketahui, selama kampanye Pilpres 2024, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) – yang mengusung pasangan Anies Baswedan & Muhaimin Iskandar sebagai capres-cawapres – getol menggaungkan isu perubahan

Di setiap kampanye akbarnya, Ketua Partai Nasdem, Surya Paloh, selalu menegaskan bahwa partainya konsisten membawa misi perubahan untuk Indonesia yang lebih baik, tanpa merinci lebih jauh ihwal perubahan-perubahan apa saja yang bakal dilakukan.

Sementara itu, pada saat tampil dalam salah satu sesi debat capres, Anies Baswedan mengungkapkan bahwa misi perubahan yang ingin dicapai yakni hidup sehat, tumbuh cerdas, keluarga sejahtera, warganegara yang bangga dengan budaya dan etikanya, serta  persatuan dalam keadilan.

Guna makin menguatkan pesan perubahan kepada khalayak pemilih, Nasdem, bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menamai koalisi mereka sebagai Koalisi Perubahan. Akan tetapi, apa yang terjadi? Begitu Pilpres 2024 kelar, Nasdem menjadi pihak paling pertama dari Koalisi Perubahan yang langsung merapat ke koalisi besar yang mengusung Prabowo-Gibran, yang notabene mewakili kelompok elite politik mapan, sementara misi perubahan yang selama kampanye Pilpres 2024 digaungkan mungkin saja telah menguap entah kemana.

Ketidakpuasan Konstituen

Tak hanya pemilih, konstituen pun juga bisa kecewa. Ini bisa terjadi ketika konstituen merasa kepentingan mereka tidak cukup diwakili oleh pemerintahan koalisi. Ambil contoh misalnya, sebuah faksi dalam koalisi mendorong adanya regulasi lingkungan yang ambisius untuk melawan perubahan iklim.

 

Di sisi lain, faksi lain, yang mewakili industri-industri yang bergantung pada penggunaan bahan bakar fosil, menentang habis-habisan regulasi yang ketat. Kompromi yang akhirnya dicapai mungkin saja dinilai tidak memadai oleh para aktivis lingkungan, dan ini menyebabkan ketidakpuasan di kalangan konstituen yang peduli akan aksi iklim.

 

Ilustrasi lain, misalnya, seperti kasus berikut. Setelah pemilihan, sebuah koalisi politik dibentuk oleh beberapa partai, yaitu Partai A, Partai B, dan Partai C dan menjadikan ketiganya sebagai pemilik mayoritas kursi parlemen. Awalnya, koalisi ini dengan meyakinkan berjanji untuk memprioritaskan kesejahteraan dan kepentingan seluruh penduduk tanpa kecuali.

 

Namun, seiring berjalannya waktu, eh, keputusan-keputusan koalisi tersebut cenderung menguntungkan agenda Partai A, Partai B, dan Partai C belaka, dan mengabaikan kebutuhan serta masalah yang lebih luas dari masyarakat. Misalnya, koalisi ini mungkin membuat undang-undang atau mengalokasikan sumber daya yang lebih menguntungkan industri atau wilayah yang diwakili oleh partai-partai tersebut – mengabaikan isu-isu penting yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang terpinggirkan.

 

Maka, supaya pemilih maupun konstituen tidak kecewa, partai-partai yang membangun atau bergabung dengan koalisi sebaiknya membangun komunikasi yang jelas dan transparan dengan para pemilih dan konstituennya terkait alasan melakukan keputusan tersebut.

 

Partai juga perlu menjelaskan bagaimana perjanjian koalisi sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai inti partai. Walau kompromi tidak bisa dihindari, partai sebaiknya tetap memprioritaskan untuk mempertahankan prinsip-prinsip partai. Ini dapat dicapai dengan menetapkan batasan yang tak bisa dilewati dalam perjanjian koalisi.

 

Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, partai-partai politik yang memilih berkoalisi diharapkan dapat mengurangi risiko kehilangan identitas, sembari tetap mendukung sistem politik yang lebih inklusif, responsif, dan juga akuntabel.