Konflik Israel-Palestina dalam Kesenjangan Narasi Berita

Konflik Israel-Palestina dalam Kesenjangan Narasi Berita
Dunia berduka atas pelanggaran hak asasi manusia di Palestina. Sebagai pembaca lintas negara, saya mendapati kesenjangan dan kontras di samping frame utama, yaitu fenomena keberpihakan pemberitaan antara media barat dengan media di Indonesia kala meliput konflik Israel-Palestina.
Peran media memang krusial di masa krisis. Namun, ketika mereka diharapkan menyampaikan situasi yang relevan berdasarkan fakta, objektivitas laporan justru dipertanyakan.
Selama beberapa dekade terakhir, kita menjadi saksi perubahan media komunikasi. Teks digital menyebar dengan intensitas, kecepatan, dan kesederhanaannya, membuka tabir era masyarakat informasi, yang menempatkan media pada posisi sentral di kehidupan kita.
Namun, perubahan ini bukannya tanpa masalah. Tekanan besar sungguh sedang dihadapi oleh industri media; persaingan yang semakin sengit mengejar berita dan pembaca, sementara pendapatan dari industri media semakin menurun. Di lain sisi, ada banyak campur tangan dari segi sosial, politik, ekonomi, maupun teknologi.
Tekanan-tekanan ini lantas memicu perdebatan tentang sejauh mana media dapat mempertahankan prinsip objektivitas saat menyampaikan informasi, terutama ketika isunya adalah konflik Israel dan Palestina. 
Misalnya, bukti-bukti empiris yang mengungkapkan bahwa media barat, terutama yang berbasis di AS dan Inggris, menunjukkan mereka cenderung memihak Israel dengan memojokkan Palestina sebagai pemicu konflik sejak 7 Oktober 2023. 
Sebaliknya, media di Indonesia memberi representasi yang lebih menguntungkan atau condong kepada Palestina dibandingkan Israel. 
Jika demikian, bagaimana bisa dari ideologi luhur jurnalis yang netral itu mampu menciptakan ragam pelaporan berbeda; bahkan bias, di atas gempuran konflik kemanusiaan yang terjadi?
Kompleksitas konflik Israel-Palestina dari dua kubu media
Sebuah studi dari mahasiswa Inggris yang diteliti Glasgow Media Grup pada tahun 2000, mewawancarai 12 kelompok pemirsa (usia 17-22 tahun) tentang pemahaman, keyakinan, dan sikap pemirsa televisi atas konflik Israel-Palestina, menunjukkan hanya sedikit dari para responden yang memiliki pemahaman terkait konflik tersebut.
Dari 300 responden anak muda, 9% responden mengetahui bahwa orang Israel menduduki wilayah Palestina, 71% menjawab tidak tahu bahwa Israel menduduki wilayah-wilayah Palestina tetapi menyadari berita utama konflik ini mengenai kekerasan dan tragedi. 
Dari temuan ini, Greg Philo, Profesor di Universitas Glasgow sekaligus Direktur Riset Glasgow Media Group, menyebutkan bahwa media barat telah bersalah karena mereduksi kebenaran atas sejarah dan asal-usul konflik, sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan pengetahuan di masyarakat.
Tidak mengherankan, ujar Philo, isu ini menjadi kontroversial karena Israel bersekutu erat dengan Amerika Serikat dan terdapat lobi-lobi pro-Israel yang sangat kuat sampai batas tertentu di Inggris.
Contoh lain adalah ketika The New York Times (NYT), surat kabar Amerika Serikat berbasis di New York City mempublikasi infografik dengan judul “Disinformation and False Claims Flood Social Media. Here’s the Reality.” 
NYT memaparkan temuan mereka mengenai disinformasi berupa gambar-gambar grafis dan rekaman video yang mereka sebut “berisiko mengaburkan bukti yang muncul ketika tentara Israel merebut kembali kendali atas tempat-tempat yang diserang.”
Atas unggahan tersebut, NYT justru menuai kecaman dari para netizen. Mereka menuding NYT ikut bertanggung jawab dalam menyebarkan disinformasi terhadap konflik Israel-Palestina. Jenan Matari melalui akunnya @jenanmatari, mengomentari:
“KAMU MELAKUKANNYA. KAMU MEMBANTU MENYEBARKAN KEBOHONGAN DAN SEKARANG GAZA SEDANG SEKARAT. Jurnalisme yang tidak bertanggung jawab akan menjadi kematian bagi kemanusiaan.”
Media organisasi advokasi global untuk orang-orang Yahudi, American Jewish Committee (AJC), tak ketinggalan menyorot artikel NYT berjudul, “U.S. and Israel Blame Palestinian Group for Hospital Blast.”
Mereka mengubah “blame Palestinian Group” menjadi “blame Palestinian Islamic Jihad terrorists.” AJC menuding NYT adalah satu dari sekian media yang buruk dalam meliput peristiwa yang terjadi. “Sejak awal, liputan media tentang situasi ini sangat buruk,” ungkap AJC, (19/10).
Bahkan ketika seorang wanita yang ditawan dan kemudian dibebaskan oleh Hamas membagikan kisahnya, terlihat beberapa media seperti The Washington Post, BBC News, dan The Wall Street Journal, berfokus pada penggunaan istilah-istilah "pengalaman yang menakutkan" dan "neraka" di judul liputan mereka. Padahal, jelas fokus itu tidak mencerminkan keseluruhan narasi yang dituturkan.
Aksi saling tuding antara pro-Israel dan pro-Palestina, semakin diperparah dengan peran media yang luput memberitakan sejarah ‘pendudukan’ dan asal-usul terjadinya konflik ini. Apabila disebutkan, sering tidak dieksplorasi secara mendalam mengapa konflik ini terus terjadi (Aziz, 2007; Dunsky, 2001; Journalism, Media and the Challenge of Human Rights Reporting by ICHRP International Council on Human Rights Policy :: SSRN, 2002; Philo et al., 2004).
Mengapa kesenjangan pemberitaan konflik Israel-Palestina terus terjadi?
Dari International Council on Human Rights Policy (ICHRP) dalam paper mereka berjudul, “Jurnalisme, Media dan Tantangan Pelaporan Hak Asasi Manusia,” ICHRP berpendapat:
“Pendudukan Israel merupakan inti dari konflik, namun, lebih sering jurnalis gagal mengingatkan pembaca mereka tentang hal ini-atau bahwa pendudukan itu ilegal di bawah resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB... Sebagian besar pemberitaan tidak menjelaskan pentingnya keberadaan pemukiman Israel di wilayah pendudukan, yang sebagian besar dianggap ilegal di bawah hukum internasional.”
Keterangan di atas sesuai dengan keterangan Husam Zomlot, Duta Besar Palestina di Inggris, ketika diwawancarai oleh jurnalis saluran televisi Channel 4 News, Cathy Newman, yang menanyakan apakah Husam mengutuk tindakan Hamas? Husam menolak menjawab pertanyaan penyiar TV tersebut.
Tetapi Husam mengatakan bahwa media sering melakukan pendekatan sepihak, di mana pihak yang menjadi korban justru diminta untuk mengutuk atau membenarkan tindakannya. Sedangkan, tindakan pihak penjajah tidak mendapat sorotan atau kecaman yang sama.
Bias pro-Israel yang dilakukan oleh media barat umumnya menggunakan tolak ukur kerangka liputan media, melalui penanganan suatu peristiwa, dalam mengambil sumber terpercaya, pemilihan gambar serta video, serta pembenaran yang disampaikan kepada Israel (Alkalliny, 2017).
Sehingga, fokus berita lebih sering menyoroti serangan roket Hamas dari Gaza dan mengabaikan serangan udara Israel yang menghancurkan banyak situs Palestina.
Media-media barat juga kerap menyajikan konflik Israel-Palestina sebagai dua aksi siklus balas-membalas seraya menghindari konteks ‘penjajahan.’ Mereka mengklaim bawa serangan Israel dilakukan sebagai respons pertahanan (Amer, 2017; Zanuddin, 2018).
“Dalam jurnalisme, seperti halnya di banyak bidang kehidupan politik dan publik, keseragaman hak asasi manusia menjadi kabur ketika ada pihak-pihak yang lebih kuat. Pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang lemah ditonjolkan, sementara pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang kuat diabaikan” (ICHRP, 2002)
Bias ini semakin kontras dari penyampaian berita-berita media barat yang menggunakan istilah ‘Wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur’, alih-alih mengacu pada definisi PBB: ‘Wilayah Palestina yang Diduduki’ (Aziz, 2007; Panayotova & Rizova, 2021).
Dimulai dari 1970-an, bukti empiris telah mengarah kuat pada bias pro-Israel, yaitu adanya tindakan melegitimasi dan mendelegitimasi pembunuhan yang dilakukan dalam konflik Israel-Palestina, dan memojokkan pihak Palestina dalam pusaran konflik (Alkalliny, 2017; Aziz, 2007; Elmasry et al., 2013; Panayotova & Rizova, 2021; Philo et al., 2004; Zanuddin, 2018).
Pada 2001, Al Jazeera masuk ke arena media internasional. Sejak itulah mereka memberikan pemahaman yang lebih kaya terkait konflik Israel-Palestina. Tak jarang mereka menampilkan Israel sebagai pelaku utama atas situasi krisis yang dialami warga Palestina (Panayotova & Rizova, 2021).
Sementara media-media non-barat menyajikan perspektif pro-Palestina, media barat lebih condong pro-Israel. Kedua kubu ini mencerminkan betapa rumitnya jaringan hubungan internasional dan perpecahan historis yang mendasari konflik, sehingga berimbas pada cara peristiwa direpresentasikan kepada masyarakat.
Bahkan di Indonesia, melalui penelitian yang dilakukan oleh Arrosyid dan Halwat (2021), Ibrahim & Linh (2019), dan Suwarno & Sahayu (2020), menunjukkan kalau ternyata media Indonesia cenderung memberi pelaporan yang lebih menguntungkan atau lebih memihak kepada Palestina daripada Israel.
Salah satu contoh yang menonjol adalah ketika penyiar TV One mengenakan syal bendera Palestina saat memberitakan aksi bela Palestina, walau kemudian dikomentari oleh wakil ketua dewan pers bahwa hal ini tidak melanggar kode etik jurnalistik.
Contoh di atas sebetulnya menjadi cermin dari mayoritas suara di Indonesia yang sepakat mendukung Palestina dan menolak segala bentuk-bentuk penjajahan. Melalui kebijakan ini, tampaklah alasan mengapa peliputan di tanah air condong di satu sisi kala memberitakan konflik Israel-Palestina.
Pertama, karena media mengambil realitas setempat untuk mewakili mayoritas suara di masyarakat. Kedua, media sebetulnya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, atau intervensi-intervensi tertentu di lain kasus. 
Contoh kasus: Israel memiliki media dan operasi PR sekaligus kekuasaan, yang dapat mengontrol apa yang bisa dilakukan oleh Palestina sehingga berdampak pada keterbatasan akses pencarian narasumber untuk wawancara atau akses untuk peliputan secara langsung (Afaghani & Rubenstein, 2011; Philo dkk., 2005).
Dari keseluruhan artikel, kita menyadari bahwa kesenjangan dalam pemberitaan konflik Israel-Palestina tak hanya mencerminkan dinamika geopolitik dan sejarah yang kompleks, tetapi juga merupakan hasil dari campur tangan media dan faktor-faktor eksternal lainnya. Meskipun media diharapkan menjadi pilar objektivitas, tekanan ekonomi, persaingan ketat, dan pengaruh politik tampaknya telah membentuk narasi yang bersifat bias.
Namun, di tengah berbagai sudut pandang dan perbedaan representasi, pembaca diingatkan untuk bersikap kritis dan menyelidiki secara mendalam. Kompleksitas konflik Israel-Palestina memerlukan pemahaman yang komprehensif, dan seringkali, media menjadi sarana untuk menyampaikan narasi yang bersifat subjektif.

Rahma Kahayani Ihsan
Penulis dan pengamat media.