Nasib Laut Natuna Utara yang Was-Was Dicaplok Tiongkok

Nasib Laut Natuna Utara yang Was-Was Dicaplok Tiongkok

Dunia sedang dibuat riuh dengan perang Israel-Palestina. Asumsi akan meletusnya Perang Dunia III terus bermunculan. Ramainya Israel-Palestina bahkan membuat masyarakat Indonesia cukup lalai dengan konflik yang terjadi di dekat wilayahnya sendiri, yakni Laut Cina Selatan. Padahal, Desember 2023 lalu, gejolak konflik semakin menjadi-jadi. Konflik kian memasuki babak baru dengan tembakan meriam air dari Tiongkok.

Konflik Laut Cina Selatan: Antara Tiongkok, Taiwan, Negara-Negara Asia Lain
Konflik ini hampir seumur negara Indonesia. Setelah Jepang menyerah pada 1945, wilayah bekas jajahannya segera mendeklarasikan kemerdekaannya. Dua tahun setelahnya, Tiongkok, salah satu wilayah jajahan Jepang, mengklaim wilayah Laut Cina Selatan—yang dulu bekas wilayah Jepang—sebagai wilayah miliknya.

Pada 1947, Tiongkok menunjukkan sebuah peta yang menjadi acuan untuk mengklaim Laut Cina Selatan. Klaim itu menunjukkan dua pulau tak berpenghuni yang dianggap masuk ke wilayah Tiongkok, yaitu kepulauan Paracel dan Spartly. Wilayah yang digunakan acuan pada peta disebut dengan Nine Dash Line. Garis yang diciptakan sepihak oleh Tiongkok itu membentang sejauh 2.000 km dari daratan Tiongkok hingga beberapa ratus km dari Filipina, Malaysia, dan Vietnam.

Nine Dash Line juga memicu pertikaian sengit dua negara, yakni Tiongkok dan Taiwan yang sama-sama mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan. Menengok sejarahnya, pada 1947, Angkatan Laut Republik Tiongkok—yang dipimpin kelompok nasionalis—menguasai beberapa pulau di Laut Cina Selatan yang sebelumnya dikuasai Jepang. Wilayah itu awalnya disebut Eleven Dash Line karena memiliki 11 wilayah sebelum 2 wilayah dihilangkan. Setelah Republik Tiongkok kalah, rakyat Tiongkok golongan nasionalis melarikan diri ke Formosa (Taiwan) dan memerintah di sana. Sementara wilayah Tiongkok dikuasai oleh partai komunis. Pecahnya wilayah tapi masih satu nenek moyang inilah yang membuat keduanya merasa punya hak atas wilayah itu.

Sementara, pertikaian Tiongkok dengan negara seperti Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam diakibatkan karena wilayah laut mereka yang tercaplok oleh klaim Nine Dash Line. Gesekan dengan Filipina terjadi pada Desember 2023 lalu. Pada September-Oktober 2023, armada Tiongkok memenuhi Laut Cina Selatan. Alasannya sekadar memancing, tapi kedatangan mereka dilengkapi dengan meriam air, roket, granat. Dua bulan setelahnya, Tiongkok menembaki kapal-kapal Filipina yang membawa bantuan untuk tentara-tentara Filipina yang sedang mempertahankan teritori mereka di kepulauan Spratly. 

Pertikaian dengan Indonesia
Menengok tabiat Tiongkok, rasanya tak mungkin Indonesia diam saja. Selain karena tindakan Tiongkok dapat memperparah konflik antar negara, wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yakni Laut Natuna Utara turut dilahap oleh Nine Dash Line.

Hubungan Tiongkok dan Indonesia semakin tegang pada Mei 2016. Saat itu, kapal-kapal nelayan Tiongkok berlayar memasuki wilayah ZEE Indonesia dan melakukan sejumlah kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing). Hal itu kembali terulang pada 2019 dan 2020. Tentu saja ini menyeramkan untuk kedaulatan Indonesia, bukan?

Pasalnya, salah satu sumber perekonomian Indonesia terletak pada Laut Natuna Utara. Diketahui Laut Natuna Utara sendiri menghasilkan berbagam biota laut seperti: ikan (667,8 ribu ton), udang dan lobster (63,8 ribu ton), cumi-cumi (23,5 ribu ton), serta kepiting dan rajungan (12 ribu ton). Angka-angka itu tercatat pada 2020, saat Tiongkok melakukan IUU fishing di sana. 

Belum lagi Tiongkok juga protes saat Indonesia melakukan pengeboran minyak di Laut Natuna, padahal wilayah itu adalah legal milik Indonesia. Tiongkok meminta Indonesia memberhentikan aktivitas sebut karena dianggap melakukan pengeboran di laut milik Tiongkok. Padahal, menurut hukum laut internasional yakni UNCLOS, Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi sumber daya alam di ZEE dan landas kontinennya.  Masih mengacu pada hukum itu, Indonesia juga memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum dan peraturan nasionalnya terhadap kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal di ZEE Indonesia tanpa persetujuan Indonesia.

Meski surat sudah dilayangkan Tiongkok, Indonesia tak perlu menghentikan aktivitas perekonomiannya karena toh yang dilakukan Indonesia juga sesuai dasar hukum. Tapi tak bisa dipungkiri, peristiwa semacam ini tak bisa dipandang sebelah mata. Bagaimanapun juga, jika Tiongkok mengambil sikap gegabah, Indonesia akan kena getahnya. Apalagi Tiongkok adalah mitra dagang Indonesia yang hubungannya harus dijaga baik.

Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?
Dalam menghadapi konflik antar tetangga, pada dasarnya ada beberapa hal yang perlu ditekankan Indonesia di kancah internasional. Sejauh ini, tindakan Indonesia sudah cukup konkret yakni dengan mengubah nama Laut Natuna menjadi Laut Natuna Utara untuk semakin mempertegas kepemilikan Indonesia.

Sementara, ada langkah tambahan yang bisa dilakukan. Sebagai negara beracuan politik bebas aktif, Indonesia bisa mengambil sikap untuk menghimbau negara-negara di Asia agar tetap mengingat persamaan sejarah sebagai bangsa yang pernah dijajah. Seyogyanya memori kelam akan penjajahan Jepang dijadikan pelajaran agar peperangan serupa tak terulang kembali. Jangan sampai sebaliknya, wilayah yang dipecah belah Jepang justru menjadi ‘makanan’ untuk diperebutkan.

Selanjutnya, Indonesia sepatutnya membangun perjanjian militer dengan Tiongkok dan pihak-pihak berkonflik lainnya untuk mempertegas secara hitam dan putih untuk wilayah Laut Natuna Utara. Misalnya, perjanjian untuk tidak mengedepankan saling serang, tetapi mengedepankan diplomasi. 

Dibutuhkan ketegasan dalam mengatur batasan-batasan jenis kapal apa yang boleh lewat di wilayah tersebut serta diberlakukan waktu operasional di wilayah tersebut. Dengan begitu, negara-negara tetangga akan pikir-pikir dua kali untuk melintasi wilayah ini. Jangan sampai Laut Natuna Utara dipenuhi riuh “tenggelamkan!”