Olimpiade selalu menjadi panggung di mana semangat kompetisi, ketangguhan, dan keunggulan atletik ditampilkan dengan megah. Namun, di balik gemerlap medali dan sorak-sorai penonton, Olimpiade Paris 2024 membawa kontroversi yang memperkeruh esensi olahraga wanita. Pertanyaan tentang gender dan keadilan dalam kompetisi atletik wanita mencuat, khususnya setelah pertandingan tinju yang melibatkan Imane Khelif dari Aljazair. Kasus ini memicu perdebatan panas tentang bagaimana kita mendefinisikan keadilan dalam olahraga dan dampak dari keputusan yang berkaitan dengan gender terhadap atlet wanita.
Imane Khelif, seorang petinju berusia 25 tahun dari Aljazair, mendapati dirinya berada dalam badai kontroversi setelah kemenangannya yang kontroversial melawan Angela Carini dari Italia pada babak 16 besar kelas 66 kg. Carini menyerah hanya 46 detik setelah pertandingan dimulai. Ini adalah sebuah keputusan yang tidak biasa. Carini mengatakan keputusan tersebut dibuat karena rasa sakit yang parah di hidungnya akibat pukulan Khelif.
Namun, permasalahan utamanya bukan di kekuatan pukulan Khelif. Tapi bagaimana Carini mengimplikasikan bahwa Khelif bukanlah perempuan.
Jika ditarik ke kejadian yang pernah terjadi dalam dunia olahraga sebelumnya, maka kontroversi Khelif ini bukan yang pertama terjadi. Sejumlah atlet seperti Stella Walsh juga pernah mengalami hal yang serupa. Hasil otopsi sang atlet yang meninggal di tahun 1980 membuat dunia gempar. Pasalnya, Stella ternyata memiliki alat kelamin yang ambigu.
Kontroversi ini muncul setelah hasil otopsinya disiarkan secara detail oleh sebuah tayangan TV lokal Amerika Serikat. Siaran tersebut menampilkan fakta bahwa Stella tidak memiliki rahim, uretra yang tidak normal, serta penis yang tidak berfungsi dan tidak berkembang. Laporannya juga menunjukkan mayoritas kromosomnya adalah X dan Y dan hanya sebagian kecil dari selnya yang mengandung kromosom X tunggal.
Kembali ke masa sekarang: baik Khelif dan petinju Taiwan Lin Yu-ting didiskualifikasi dari Kejuaraan Tinju Dunia di New Delhi tahun lalu karena gagal memenuhi tes kelayakan gender. Tes tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki kromosom XY, yang umumnya dikaitkan dengan laki-laki. Meski demikian, baik Khelif maupun Lin tidak mengidentifikasi diri sebagai laki-laki, transgender, atau interseks. Khelif selalu berkompetisi sebagai wanita, termasuk di Olimpiade Tokyo, dan tidak ada indikasi bahwa identitas gendernya telah berubah.
Adapun Lin juga sempat disinggung oleh lawan-lawan yang telah ia kalahkan di partai perempat final dan semifinal. Petinju asal Bulgaria, Svetlana Kamenova dan petinju asal Turki, Esra Yildiz, melakukan gestur huruf X yang merujuk pada XX yang merupakan kromosom milik perempuan dan bukan XY yang umumnya dimiliki oleh pria.
Kasus Khelif dan Lin ini menggarisbawahi kompleksitas biologi dan gender dalam konteks kompetisi atletik. Perdebatan ini bukan hanya tentang hukum, tetapi juga tentang etika dan keadilan. Dalam dunia yang semakin terbuka terhadap keberagaman identitas gender, bagaimana kita menentukan siapa yang berhak berkompetisi dalam kategori gender tertentu?
Sebuah argumen dari Georgiann Davis & Sharon Preves berjudul Intersex and the Social Construction of Sex menuliskan bahwa,yang mengatakan bahwa atlet dengan kromosom XY memiliki keuntungan fisik yang tidak adil dalam kompetisi wanita. Ini didasarkan pada asumsi bahwa laki-laki umumnya memiliki massa otot dan kekuatan yang lebih besar dibandingkan perempuan. Namun, argumen ini mengabaikan kenyataan bahwa tidak semua individu dengan kromosom XY memiliki keuntungan fisik yang signifikan. Variabilitas dalam karakteristik fisik individu jauh lebih kompleks daripada sekadar penentuan berdasarkan kromosom.
Keputusan untuk mendiskualifikasi Khelif dan Lin dari Kejuaraan Dunia Delhi diambil oleh Asosiasi Tinju Internasional (IBA) berdasarkan hasil tes kromosom. Namun, validitas dan transparansi dari tes ini dipertanyakan. IOC, yang mengawasi tinju di Olimpiade Paris 2024 melalui Paris 2024 Boxing Unit, telah menegaskan bahwa kelayakan atlet ditentukan berdasarkan paspor mereka. Keputusan IBA untuk mendiskualifikasi Khelif dan Lin dianggap tidak konsisten dan menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan keselamatan kompetisi.
IOC telah berupaya untuk menjelaskan bahwa regulasi kelayakan gender di IOC mencatat bahwa badan tinju internasional ini telah kehilangan pengakuan mereka karena masalah tata kelola dan transparansi keuangan. Olimpiade didasarkan pada standar yang berbeda dengan yang diterapkan oleh IBA. Ketegangan antara IOC dan IBA mencerminkan masalah yang lebih luas tentang bagaimana badan pengelola olahraga menangani isu-isu yang rumit seperti kelayakan gender.
Mengaitkan maskulinitas fisik langsung dengan identitas gender seseorang merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang mengakar dalam transfobia. Tes kromosom dan hormon yang dilakukan oleh badan olahraga seperti IBA telah mendapat kritik luas karena mereka cenderung memaksakan standar gender yang sempit dan tidak mencerminkan kompleksitas identitas gender serta variabilitas alami dalam karakteristik fisik manusia.
Para ahli telah menunjukkan bahwa pendekatan ini problematis karena tidak mempertimbangkan spektrum gender yang lebih luas dan variabilitas biologi. Sebagai contoh, ada individu dengan kromosom XY yang tidak menunjukkan karakteristik fisik maskulin yang jelas atau memiliki kadar testosteron yang tinggi, seperti pada sindrom insensitivitas androgen. Menggunakan kriteria seperti kromosom XY atau kadar testosteron sebagai dasar untuk mengecualikan atlet dari kompetisi wanita mengabaikan kenyataan ini dan malah memperkuat stereotip bahwa maskulinitas fisik adalah indikator dari identitas laki-laki .
Tes semacam ini juga berisiko mempermalukan dan mendiskriminasi atlet yang terlihat maskulin, tanpa memandang identitas gender mereka yang sebenarnya. Penilaian yang dangkal ini dapat merugikan perempuan yang kebetulan memiliki penampilan atau karakteristik yang dianggap "tidak sesuai" dengan norma gender tradisional. Kasus Khelif menunjukkan bagaimana perempuan dengan tubuh yang lebih berotot atau maskulin seringkali dianggap tidak "cukup perempuan", yang merupakan pengurangan identitas gender menjadi sekadar penampilan fisik. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip inklusivitas dan keadilan yang seharusnya menjadi dasar dalam olahraga.
Alih-alih memaksakan norma gender yang sempit, regulasi seharusnya menghormati keragaman biologis dan identitas gender, serta memastikan bahwa semua atlet diperlakukan dengan adil dan setara. Perlu ada reformasi dalam kebijakan tes gender dalam olahraga yang tidak hanya fokus pada aspek biologis tertentu, tetapi juga mempertimbangkan etika, hak asasi manusia, dan kebutuhan untuk menjaga martabat semua atlet.
Penting untuk diakui bahwa kebijakan ini juga seringkali dipengaruhi oleh bias rasial, di mana atlet perempuan berkulit hitam atau dari kelompok minoritas sering kali lebih dicurigai atas identitas gender mereka dibandingkan atlet kulit putih. Atlet berkulit hitam sering kali menjadi sasaran diskriminasi berbasis gender yang didorong oleh stereotip rasial dan kolonial yang mengakar dalam sejarah olahraga internasional.
Contohnya adalah Caster Semenya, seorang atlet lari jarak menengah dari Afrika Selatan yang memenangkan medali emas di Olimpiade dan Kejuaraan Dunia. Kemenangannya ditentang karena kondisi hyperandrogenism-nya yang menyebabkan tingginya kadar testosteron dalam tubuh. Tes gender yang dihadapinya dianggap oleh banyak pihak sebagai bentuk diskriminasi yang didorong oleh bias rasial dan seksisme.
Di luar aspek teknis dan regulasi, kontroversi ini juga memiliki dampak sosial dan emosional yang signifikan bagi atlet yang terlibat. Kritik keras dari tokoh publik seperti J.K. Rowling dan Elon Musk mencerminkan bagaimana isu ini telah menjadi medan pertempuran dalam perang budaya yang lebih luas tentang gender dan hak-hak transgender. Rowling menyebut pertandingan Khelif sebagai "ketidakadilan brutal," sementara Elon mengkritik dukungan terhadap Khelif sebagai bentuk ketidakadilan terhadap atlet wanita. Elon me-retweet postingan X dari perenang asal Amerika Serikat, Riley Gaines yang mengunggah tulisan atas ketidaksetujuan “Pria” yang mengikuti kompetisi olahraga “Wanita”, seraya menyertakan hashtag #IStandWithAngelaCarini
Di sisi lain, dukungan juga datang dari tokoh-tokoh seperti Ismaël Bennacer, pemain sepak bola nasional Aljazair, yang memuji Khelif atas bakat dan kerja kerasnya. Dukungan ini penting untuk menunjukkan bahwa meskipun ada banyak suara kritis, ada juga pengakuan terhadap kemampuan dan pencapaian Khelif dalam ranah kesesuaiannya sebagai seorang atlet.
Sebenarnya, setelah pertandingan antara Khelif melawan Carini, melalui surat kabar Italia, Gazzetta dello Sport. Carini telah menyampaikan permohonan maafnya karena telah menyebabkan kontroversi dan pengadilan di media sosial kepada Khelif. Carini menegaskan jika sikapnya untuk meninggalkan pertandingan dan tidak berjabat tangan dengan Khelif merupakan bentuk kekecewaan atas dirinya sendiri yang telah gagal pada pertandingan tersebut.
Kasus Khelif telah mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam dunia olahraga wanita di era modern. Pertanyaan tentang kelayakan gender, keadilan kompetisi, dan integritas badan pengelola olahraga akan terus menimbulkan diskursus. Apalagi besar kemungkinan kasus seperti Khelif akan lebih sering muncul seiring dengan peningkatan kesadaran dan penerimaan terhadap keragaman identitas gender.
Badan pengelola olahraga perlu mengembangkan kebijakan yang adil dan transparan, yang mempertimbangkan berbagai aspek biologi dan identitas gender. Hal ini bukan hanya tentang memastikan bahwa kompetisi berlangsung dengan adil, tetapi juga tentang menghormati hak-hak individu dan menghindari stigmatisasi.
Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan literasi publik tentang isu-isu ini. Banyak perdebatan yang terjadi saat ini dipengaruhi oleh ketidaktahuan atau misinformasi. Pendidikan dan dialog terbuka dapat membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas gender dalam olahraga.
Sebuah laporan dari Human Rights Watch (HRW) pada tahun 2020 menyatakan bahwa aturan yang mengatur partisipasi atlet transgender dalam olahraga sering kali tidak didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, melainkan pada ketakutan dan stereotip yang berakar pada transfobia. Laporan tersebut menyoroti bagaimana kebijakan yang diskriminatif, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, membatasi partisipasi atlet transgender di sekolah. Hal ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga menciptakan lingkungan yang berbahaya bagi atlet muda.
Kesimpulan dari argumen mengenai fisik atlet transgender yang seolah lebih unggul dalam olahraga perempuan memang sangat dilebih-lebihkan. Faktor-faktor seperti pelatihan, kondisi fisik individual, dan motivasi memiliki peran yang jauh lebih signifikan dalam menentukan prestasi olahraga daripada karakteristik gender atau hormon saja. Namun, banyak badan olahraga tetap berpegang pada pandangan yang transfobik dengan menerapkan kebijakan yang secara langsung mendiskriminasi atlet yang penampilannya tidak sesuai gender (gender non-conforming).
Meskipun mengalami banyak kontroversi dan pertentangan, tapi nyatanya Imane Khelif akhirnya berhasil mendulang medali emas setelah mengalahkan petinju China, Yang Liu. Pada pertandingan tersebut, Khelif menang telak dengan skor 5-0. Itu merupakan raihan emas pertama bagi Aljazair dari cabang olahraga Tinju Wanita. Hari berikutnya pada Minggu, 11 Agustus 2024, Lin Yiu Ting mengikuti jejak Khelif dengan meraih emas setelah menumbangkan petinju asal Polandia, Julia Szeremeta pada partai final Tinju Wanita di kelas 57 kg.
Setelah berhasil mengalungi medali emas, Khelif berkali-kali menegaskan jika dirinya adalah wanita dan dia berhak menerima hak yang sama untuk mengikuti kejuaraan tanpa harus menghadapi perdebatan dan kontroversi yang tengah ia alami. Ia pun menanggapi fitnah yang dilayangkan J.K. Rowling dan Elon Musk dengan menuntut mereka. Melalui pengacaranya, Nabil Boudi, Khelif sudah melayangkan gugatannya ke otoritas Prancis. Boudi mencurigai jika ada banyak pihak yang mengambil keuntungan tertentu melalui kampanye misoginis, rasis, dan seksis ini untuk kepentingan dan tujuan tertentu yang merugikan reputasi dan pengadilan tak berdasar secara online.
Kontroversi yang melibatkan Khelif dan Lin di Olimpiade Paris 2024 adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar untuk menentukan keadilan dalam olahraga wanita. Perdebatan tentang kelayakan gender menggarisbawahi kompleksitas biologi, etika, dan regulasi dalam kompetisi atletik. Atlet-atlet dari latar belakang minoritas sering kali menjadi sasaran kebijakan yang tidak hanya mempertanyakan identitas mereka, tetapi juga menempatkan mereka dalam posisi yang tidak adil. Menjaga keadilan dalam olahraga berarti memastikan bahwa semua atlet, terlepas dari ras, gender, atau latar belakang, bisa diperlakukan dengan setara.