Krisis Kesehatan Mental Pekerja dan Ongkos Ekonominya

Krisis Kesehatan Mental Pekerja dan Ongkos Ekonominya

 

Sebuah panggilan telepon masuk ke gawai saya kemarin pagi. Dari Ibam, teman kecil saya. “Aku kepingin curhat,” katanya di telepon. Selama lebih kurang satu jam saya mendengarkan ceritanya. 

 

Ibam telah mengizinkan saya menuliskan ulang ceritanya yang kira-kira sebagai berikut:

 

Setelah empat tahun bekerja, Ibam merasa tak mendapat apresiasi dari atasannya di kantor. Ia merasa kariernya tak berkembang. Gajinya pun tak naik sejak tiga tahun lalu, ketika diangkat menjadi pegawai tetap. Sementara pekerjaan yang dibebankan kepadanya semakin banyak. 

 

Ia menyampaikan kondisi ini kepada atasannya dengan harapan mendapat keringanan dan apresiasi pengembangan karier. Namun, sang atasan justru menuduhnya “kebanyakan minta.” Ia ingin keluar dari kantor, tapi takut tak mendapat pekerjaan lain dan akhirnya tak menafkahi keluarganya.

 

Pada akhirnya Ibam mengalami stres dan sering sakit. Ia sering izin tak masuk dan pekerjaannya berantakan. Alih-alih mendapatkan pertolongan dari atasan seperti yang diharapkannya, ia justru menerima teguran. Ia pun semakin stres.

 

Saat mendengar cerita Ibam, saya teringat pendapat Karl Marx dalam Critique of the Gotha Programme yang ditulis pada 1875 berikut ini: 

 

“Dalam fase yang lebih tinggi dari masyarakat komunis, setelah subordinasi yang memperbudak individu-individu di bawah pembagian kerja, dan dengan demikian juga antitesis antara kerja mental dan fisik, telah lenyap; setelah kerja, dari sekadar sarana hidup, telah menjadi kebutuhan utama kehidupan, masyarakat [dapat] menuliskan di panjinya: dari masing-masing sesuai kemampuannya, untuk masing-masing sesuai kebutuhannya.” 

 

Saya menganggap pendapat Marx tersebut sebagai impiannya tentang dunia. Saya pikir, seandainya impian Marx kini telah terwujud, barangkali Ibam tak perlu terbebani terlalu banyak pekerjaan di luar kemampuannya dan mengalami kondisinya saat ini. 

 

Sayangnya, impian Marx belum juga terwujud. 

 

Dunia dalam Krisis Kesehatan Mental Pekerja

 

Kondisi Ibam masuk dalam kategori risiko gangguan kesehatan mental di tempat kerja menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sayangnya, pengalaman ini bukan cuma milik Ibam. 

 

WHO mencatat 15% pekerja dewasa di seluruh dunia mengidap gangguan kesehatan mental pada 2019. Jumlah tersebut pun berpeluang meningkat, karena berdasarkan survei termutakhir Gallup terdapat 44% pekerja global mengalami stres di tempat kerja pada 2021. Angka ini yang tertinggi selama satu dekade ke belakang. 

 

 

 

Di Amerika Serikat (AS)--negara industri terbesar di dunia–berdasarkan survei Gallup, 19% persen pekerja pun mengaku mengalami kesehatan mental yang buruk dan sangat buruk di tempat kerja. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja berusia muda dan perempuan, seperti bisa dilihat dalam grafik berikut ini: 

 

 


 

Bagaimana dengan di Indonesia? Pada 2017 lalu, Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia mencatat 60,6% pekerja industri kecil dan menengah mengalami depresi dan 57,6% mengalami insomnia. 

 

Ongkos Ekonomi Gangguan Kesehatan Mental Pekerja

 

Di tengah situasi itu, rupanya kesehatan mental pekerja belum sepenuhnya menjadi perhatian pemerintah global. WHO mencatat rasio program promosi kesehatan mental pekerja hanya 12% dari total program promosi kesehatan mental global. 

 

Di tempat kerja pun serupa. Di AS misalnya, laporan McKinsey pada 2020 mencatat 67% pekerja dengan gangguan kesehatan mental mengaku kesulitan mengakses bantuan perawatan dari perusahaan. Demikian pula hanya 51% pekerja yang mengaku bos mereka mendukung kesehatan mental. 

 

Hal itu tentu saja sikap yang salah dari pemerintah dan pengusaha. Gangguan mental bukan hanya bencana bagi kesehatan, tapi juga ekonomi yang stabilitasnya selalu ingin dijaga pemerintah dan pengusaha. 

 

Gallup mencatat, rata-rata pekerja AS dengan kondisi mental yang buruk kehilangan produktivitasnya selama 12 hari dalam setahun. Hampir enam kali lipat dibandingkan pekerja dengan kondisi mental baik yang hanya kehilangan 2,8 hari produktif dalam setahun. Lembaga ini pun memperkirakan ekonomi AS kehilangan US$ 6,7 miliar dalam setahun akibat hal ini. 

 

Di Inggris, seperti dalam laporan Forbes, gangguan kesehatan mental pekerja menyebabkan kehilangan total 91 juta hari kerja dengan estimasi kerugian mencapai 70 miliar poundsterling per tahun. Sementara Dewan Pelayanan Sosial New South Wales (NCOSS) memperkirakan kerugian mencapai US$ 7,4 miliar pada 2025 akibat isu kesehatan mental dan depresi. 

 

Secara global, Forum Ekonomi Dunia (WEF) memperkirakan gangguan kesehatan mental pekerja merugikan ekonomi mencapai US$ 1 triliun per tahun. Kerugian tersebut berasal dari 12 miliar hari kerja produktif yang hilang. 

 

Keuntungan menjadi panglima di dunia bisnis. Maka sudah semestinya para bos lebih memperhatikan kesehatan mental para pekerjanya. Begitu juga para pemerintah yang menempatkan ekonomi sebagai jangkar stabilitas dunia sampai perlu membuat pelbagai badan dan rembug tahunan demi menyelesaikan masalah-masalah perekonomian. 

 

Harus dimulai dari mana? Saya pikir mereka lebih tahu. Selama ini mereka cuma mengabaikannya.