Krisis Kesehatan Mental yang Tak Kunjung Usai

Dua hari sebelum Hari Kesehatan Mental Sedunia, seorang mahasiswa UGM lompat dari lantai 11 sebuah hotel. Sehari setelahnya, ada media yang dengan kurang ajarnya men-doxing korban dengan menampilkan nama lengkap, jurusan, asal sang korban, dan nama hotel tempat korban lompat. Lebih sialnya lagi, hasil berita tersebut muncul di laman paling pertama Google. 

 

Sehari setelahnya, The Jakarta Post menerbitkan ulang artikel mereka soal bahaya mendiagnosa diri sendiri (self-diagnosing) akan kesehatan mental. Artikel ini berargumen bahwa mendiagnosa diri sendiri bisa memperparah kondisi mental; dari menyebabkan panik sampai ke depresi dan keinginan bunuh diri.

 

Serendah itukah cara media (dan juga orang-orang tanpa masalah kejiwaan) melihat orang dengan gangguan jiwa dan masalah kejiwaan (ODGJ dan ODMK)?

 

Mitos Kesehatan dan Media Saling Berhubungan

 

Pandangan buruk orang-orang sehat jiwa akan ODGJ dan ODMK pada hakikatnya berasal dari dua sumber: mitos soal gangguan jiwa yang sudah begitu mengakar dan penggambaran media yang buruk. Keduanya saling berhubungan dan saling memperkuat satu sama lain; media mengambil mitos lalu menyebarkannya ke khalayak umum. Karena media dianggap sebagai sumber kredibel, orang-orang pun mengamini sehingga mitos tadi semakin menguat. Ketika hal ini terjadi, semakin sulit untuk mematahkan mitos tersebut dan menegakkan kebenaran.

 

Dari pengalaman saya ada beberapa mitos soal kesehatan jiwa yang tak hanya aneh, tapi juga memperburuk stigma serta kondisi para ODGJ dan ODMK, yaitu: 

 

Pertama, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap tenaga kesehatan (nakes) jiwa. Banyak keluarga membawa pasien untuk diruqyah atau lebih buruk lagi, mengisolasi pasien dari dunia luar dan bahkan memasung mereka. Seolah gangguan yang pasien alami merupakan gangguan setan yang bisa diusir lewat ritual doa atau bisa diredam dengan isolasi dari dunia luar. Tindakan ini tak hanya tak menyelesaikan masalah, tapi juga gagal memanusiakan penderita. Kemanusiaan mereka dinihilkan karena mereka tidak bersikap ‘normal’ dan keluarga tak tahu harus melakukan apa. 

 

Ketidaktahuan kerap kali menjadi kunci dari isu ini. Ruqyah dan isolasi penderita menjadi jawaban karena kerap kali dua tindakan ini merupakan solusi terdekat, tercepat, dan yang paling bisa dijangkau oleh keluarga pasien. Tentunya ini sangat berbeda dengan pengobatan ke nakes yang seringkali jauh dari rumah pasien, mahal, dan harus dilakukan rutin selama bulanan atau bahkan bertahun-tahun. 

 

Belum lagi banyak orang masih keukeuh menganggap gangguan jiwa itu tidak ada dan nakes jiwa ada untuk memoroti dompet mereka. Gangguan jiwa dianggap sebagai aib; bukti bahwa keluarga gagal merawat dan melindungi anggota mereka dari kejamnya dunia. Apalagi masyarakat kita selalu menganggap diri sebagai masyarakat kolektif, sehingga kegagalan dalam merawat dianggap sebagai noda yang harus disembunyikan. 

 

Hal ini diperparah dengan tingginya ketidakpercayaan masyarakat terhadap nakes dan sistem kesehatan negara. Ketidakpercayaan ini tidak muncul secara tiba-tiba, tapi sudah tumbuh bertahun-tahun lamanya. Penelitian yang dilakukan oleh Sokang, Westmaas, dan Kok (2019) di Jakarta menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap puskesmas karena oleh nakes yang tak ramah, waktu tunggu yang panjang, waktu buka yang pendek, dan antrian yang panjang. Belum lagi obat-obatan dan kualitas layanan yang diberikan oleh puskesmas dan RS pemerintah dianggap kurang ‘tokcer’ dibanding klinik swasta.  

 

Kedua, akses kesehatan mental yang sangat terbatas. Sejauh ini, Indonesia hanya memiliki 1.053 psikiater dan 1.143 psikolog klinis yang berpraktek di bidang kesehatan dan rumah sakit. Jumlah ini tentunya jauh dari ideal karena artinya, 1 psikiater dan 1 psikolog harus melayani 250.000 orang. Padahal menurut WHO, 1 psikiater atau psikolog hanya melayani 30 ribu orang. Belum lagi Indonesia hanya memiliki 51 rumah sakit jiwa (RSJ), dengan 32 RSJ milik pemerintah dan 19 RSJ dimiliki oleh swasta. Memang ada rumah sakit umum (RSU) yang memiliki poliklinik jiwa dan menyediakan ruang untuk pasien rawat inap jiwa, tapi itu pun hanya sepertiga dari total RSU se-Indonesia (Idaiani dan Riyadi, 2018). 


 

Puskesmas yang diharapkan menjadi benteng pertama kesehatan mental juga kurang banyak. Belum semua puskesmas melayani masalah kesehatan mental. Data Rifaskes 2019 menunjukkan dari 9.831 puskesmas yang tersebar di seluruh Indonesia, baru 9.084 memiliki klinik khusus jiwa. DKI Jakarta contohnya, sebagai ibukota hanya 85,3% puskesmas melayani pasien jiwa. Papua dan Papua Barat lebih sedih lagi; hanya sekitar 30% puskesmas yang punya layanan kesehatan jiwa. Untuk kasus DKI Jakarta, kita bisa mencoba maklum karena banyak psikolog dan psikiater yang membuka praktek pribadi. Tapi untuk kasus Papua dan Papua Barat yang daerahnya kerap menjadi tempat konflik?

 

Ini baru isu infrastruktur. Bagaimana dengan kualitas staf dan perawatan kesehatan jiwanya? Berdasarkan pengalaman pribadi, jauh dari layak—kalau tak mau dibilang buruk. Sebagai penderita depresi yang kemudian didiagnosis sebagai bipolar tipe 2 dua tahun setelahnya, saya punya banyak keluhan soal penanganan nakes jiwa.

Keluhan pertama, tidak menyasar nakes jiwa secara spesifik, tapi ke betapa merepotkannya sistem BPJS. Surat rujukan yang hanya berlaku tiga bulan memaksa pasien jiwa untuk mendaftar ulang ke faskes 1. Belum lagi ada beberapa dokter umum yang suka menganggap enteng atau menyangsikan gangguan jiwa yang dialami oleh pasien. Seorang dokter faskes 1 menyangsikan saya depresi hanya karena hidup saya dari luar terlihat baik-baik saja, kemudian menceramahi saya soal resiliensi mental masyarakat Jepang (andai dia tahu…). Belum lagi psikolog yang mendorong pendekatan agama, padahal saya sudah menolak dari awal atau psikiater yang malah menyepelekan masalah saya. 

 

Sedihnya, saya tidak sendiri. Banyak yang mengeluhkan perlakuan buruk, terutama dari dokter-dokter BPJS, sehingga mereka terpaksa merogoh kocek lebih dalam. Apa yang menyebabkan hal ini? Apa karena BPJS dianggap sebagai asuransi orang miskin sehingga tidak patut mendapat pelayanan yang baik, atau ada alasan lain?   

 

Keluhan kedua, sulitnya mendapatkan obat kejiwaan. Pada 2019 saya terpaksa mengitari Jakarta Selatan sampai Jakarta Barat untuk mencari obat escitalopram. Sudah jarang distok oleh rumah sakit, harganya mahal pula—stok sebulan minimal seharga Rp1.000.000. Ujung-ujungnya saya harus mencari di marketplace. Untungnya ada! Tapi pengalaman ini juga membuat saya ketar-ketir—untuk berjaga-jaga, saya juga mengirimkan foto resep dokter ke toko. Ya bagaimana tidak, membeli obat keras di marketplace sangat berisiko. Kalau tidak hati-hati, ujung-ujungnya bisa dibui.  

 

Ya bayangkan saja saya, kelas menengah di Jakarta, sudah kesulitan cari obat, harus merogoh kocek dalam-dalam. Itu baru obat, belum biaya konsultasi yang bisa mencapai Rp400.000-600.000 per jamnya. Harus dicatat pula kalau biaya ini harus rutin dikeluarkan selama… minimal setahun. Saya sendiri sudah jalan tiga tahun, jadi bisa dibayangkan uang terapi yang keluar selama tiga tahun itu setidaknya bisa dipakai buat DP rumah di kota kecil Jawa.

 

“Tapi kan ada BPJS?” Ya! Tapi tidak semudah itu Ferguso, karena obat-obatan yang dibayar BPJS itu sangat terbatas. Sepengalaman saya, BPJS hanya menanggung sebagian antidepresan (sertraline, fluoxetine, amitriptyline, maprotilin, clomipramine), sebagian benzodiazepine, sebagian antipsikosis (quetiapine, risperidone, clozapine, olanzapine, haloperidol, chlorpromazine, dan trifluoperazine), dan sebagian mood stabilizer (lithium dan sodium valproate). Obat yang saya konsumsi dulu dan sekarang tidak masuk ke coverage BPJS, dan tentunya hal serupa juga dialami banyak orang. Padahal mendapatkan obat yang tepat merupakan 

 

Keluhan ketiga, saking terbatasnya psikiater, rasanya mendapat giliran konsultasi seperti perang tiket konser Kpop. Saya pernah harus menunggu lima jam di RS sampai dapat giliran konsultasi karena saat itu hanya bisa mengakses psikiater via BPJS. Lelah? Pasti. Tapi lebih lelah lagi sang psikiater yang kalau dihitung harus mengurus lebih dari 10 pasien sebelum saya. Meskipun begitu, sang psikiater masih sabar mendengar cerita saya selama 30 menit, memberi solusi dan resep obat. 

 

Namun, saya pikir psikiater tadi adalah pengecualian. Lain waktu ketika saya menggunakan BPJS di kota yang berbeda, sang dokter hanya memberi saya waktu 10 menit untuk bercerita, lalu memberi saya resep untuk ditebus ke apotek. Di pertemuan kedua, sang dokter mengatakan sehari harus mengurus minimal 50 pasien, sehingga ia hanya menanyakan keluhan pasien, lalu meresepkan obat. Total waktu yang dihabiskan per pasien? lima menit.


Maka tak mengherankan kenapa kualitas perawatan kesehatan jiwa Indonesia jauh dari ideal. Nakesnya saja saja burn out. Imbasnya lagi-lagi ke pasiennya, yang alih-alih sembuh, malah trauma. Media juga tak luput dari masalah ini karena ikut memperparah stigma dan mitos salah soal kesehatan jiwa. Sulit!